Nasional

Matinya Paus dan Buruknya Pengelolaan Sampah Negara Kita

Jumat, 23 November 2018 | 10:40 WIB

Matinya Paus dan Buruknya Pengelolaan Sampah Negara Kita

Seorang Petugas Memeriksa Bangkai Paus (Antara)

Jakarta, NU Online

Kejadian matinya seekor Paus Sperma di Wakatobi, Sulawesi Tenggara karena mengonsumsi 5.9 kilogram sampah yang terdiri dari gelas dan botol plastik, plastik keras, serpihan potongan kayu, sandal jepit, nilon dan tali rafia menyita perhatian Indonesia bahkan dunia. Kejadian ini seolah mengonfirmasi temuan Jenna R Jambeck tahun 2015 lalu yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara terbesar kedua yang menyumbang sampah di laut.

Ini bukan kejadian kali pertama yang memalukan bagi negara kita tentang banyaknya sampah plastik di perairan Indonesia. Beberapa waktu sebelumnya seorang pelancong asing merekam saat dirinya menyelam di perairan pulau bali dengan lautan yang dipenuhi dengan sampah plastik. 

Direktur Bank Sampah Nusantara LPBI-NU Fitria Ariyani mengatakan bahwa fenomena itu adalah dampak buruk lemahnya pengetahuan pengelolaan sampah dari berbagai level, baik minimnya kesadaran atas pengeloaan sampah di level masyarakat dan lingkungan industri serta lemahnya regulasi di level pemerintah.

Dari level industri misalnya, salah satu penyumbang sampah terbesar adalah industri penjualan produuk yang menggunakan bungkus kecil atau sachet. Alih-alih untuk menjadikan dagangannya ekonomis dan menjangkau pembeli kelas bawah penggunaan sachet melahirkan sampah kantong plastik dengan jumlah yang besar. 

“Dulu orang beli kopi dalam kiloan, tapi sekarang kopi sachet diproduksi besar-besaran. Sampo, makanan anak-anak, mie instan dan barang lain yang menggunakan sachet menyumbang banyak sampah sekarang,” ujar Fitriana Ariyani pada NU Online di Jakarta, Jumat (23/11). 

Seharusnya, perusahaan tidak boleh abai pada sampah yang dihasilkannya. Cara mengukur perhatian sebuah perusahaan pada sampah yang dihasikannya adalah dengan melihat apakah perusahaan tertentu memiliki program pengelolaan pada sampah yang dihasilkan. 

Biasanya, kata Magister Management Trilogi Jakarta ini, perusahaan hanya peduli pada sampah botol saja yang relatif memiliki nilai jual. Mereka memiliki program membeli kembali ‘buy back’ sampah botolnya. Namun sebenarnya, tanpa program itu pun, masyarakat akan mengumpulkan botol-botol sampah karena memiliki nilai ekonomis. 

“Masalahnya adalah sampah plastik yang bukan botol. Sebab kalau sampah botol akan otomatis dikumpulkan karena bisa dijual lagi. Nah yang sampah tak bernilai ekonomis seperti sampah sachet itu yang minim pengaturannya,” jelasnya. Karena itu, sampah jenis ini bertaburan di mana-mana tanpa disambut program pengelolaan yang jelas.

Tak hanya produsen, namun menurutnya perusahaan ritel seperti Indomart, Alfamart, Carrefour, Ramayana dan perusahaan lain bisa menawarkan kantong non-plastik sebagai alternatif untuk bungkus barang-barangnya, bisa berupa kardus atau kantong lain. Para perusahaan ini sebaiknya memperketat penjuaan plastik, dengan cara menaikkan harga kantong plastik dan memperbaiki kualitasnya  agar bisa dipakai berulang-ulang.

Perusahaan retail tersebut juga memiliki peluang untuk melakukan edukasi mengenai penggunaan kantong platik pada masyarakat melalui kampanye singkat atau dengan memajang alat kampanye bahaya sampah plastik bagi lingkungan. 

“Namun perusahaan tersebut lebih dulu harus mengedukasi staffnya terutama yang ada di front line yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Sehingga mereka nanti bisa memberikan penawaran bagi masyarakat untuk menggunakan kantong non-plastik,” kata dia.

Dengan cara itu, dia yakin bahwa sampah akan berkurang dengan sendirinya. Bersamaan dengan itu, masyarakat akan terdukasi lambat laun oleh para front liner perusahaan ritel tersebut. 

Laporan Jeanna R Jambeck dkk dalam sciencemag 2015 mengungkap sebanya 275 juta metrik ton (MT) sampah plastik dihasilkan di 192 negara pantai pada tahun 2010, dengan 4,8 hingga 12,7 juta metrik ton memasuki lautan.

Ukuran populasi dan kualitas sistem pengelolaan limbah sangat menentukan negara mana yang menyumbang limbah terbesar yang tidak terbungkus yang tersedia untuk menjadi puing laut plastik. Dalam laporannya, Indonesia berada di peringkat kedua setelah China yang menyumbang sampah ke lautan. 

Ia berkesimpulan bahwa tanpa perbaikan infrastruktur pengelolaan limbah, kuantitas kumulatif dari sampah plastik yang tersedia untuk memasuki lautan dari daratan diprediksi akan meningkat dengan urutan besarnya pada tahun 2025. 

Laporan Kompas edisi hari ini (Jumat, 23/11) yang berjudul ‘penengakan hukum pembuangan sampah ke laut masih lemah’ juga mendukung lemahnya peraturan yang mengatur pembuangan sampah di negara kita. Walaupun sudah terdapat Peraturan presiden nomer 83 tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut, Permen Perhubungan 29 tahun 2014, PP NO 21/2010 dan UU No 32/2009 serta UU No 12/2008 namun kesadaran membuang sampah di laut tampaknya masih tinggi. (Ahmad Rozali)