Melihat Kritik Pemburuan Primata Melalui Karya Seni Modern di Museum Macan
Ahad, 8 Desember 2024 | 13:00 WIB
Pengunjung melintasi karya seniman Natasha tentang pemburuan primata di Madado pada sebuah pameran di Museum Macan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Sabtu (7/12/2024). (Foto: NU Online/Suwitno).
Suwitno
Kontributor
Jakarta, NU Online
Museum Macan selalu menghadirkan karya baru setiap enam bulan sekali. Kali ini, museum yang terletak di Jalan Panjang Nomor 5, Kebon Jeruk, Jakarta Barat ini menyuguhkan karya seorang seniman bernama Natasha Tontey.
Putra Fauzan, seorang pemandu di Museum Macan, menjelaskan bahwa Natasha Tontey merupakan seniman asal Manado, Sulawesi Utara.
Menurutnya, karya-karya yang dibuat berangkat dari keprihatinan Natasha soal pemburuan primata spesies langka bernama Yaki (makaka jambul hitam).
“Natasha sering melihat Yaki di Pasar Tomohon, Manado yang sering diburu untuk diperjualbelikan dan kemudian dikonsumsi. Sebagai seniman dia prihatin, karena Yaki ini berhak hidup seperti primata lain,” katanya kepada NU Online, pada Sabtu (7/12/2024).
Selain itu membuat karya seni lukisan, Natasha juga membuat film berjudul ‘Primate Visions: Macaque Macabre’.
“Ya, film ini menceritakan ahli primatologi yang membuktikan bahwa primata Yaki dengan manusia memiliki hubungan kekerabatan genetik yang dekat,” kata Putra.
“Untuk itu, Natasha ingin mengajak kita semua supaya bisa hidup berdampingan dengan primata,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Putra menjelaskan bahwa pameran ini berlangsung sejak November 2024 hingga Maret 2025.
Pada keterangan salah satu karya seni yang dibuat Natasha tertulis bahwa karya tersebut bernama cellular being. Tertulis bahan-bahanya adalah vinil jahitan tangan, dakron, busa spandeks, lateks, cat akrilik, stoking, dan kamera endoskopi.
Ada juga karya yang menggambarkan karakter primatologi yang bernama Imago Organella. Dengan busana ala koboi perempuan, Imago merupakan karakter ilmuwan yang mempelajari primata termasuk kera dan monyet.
Kemudian ada karya seni yang menggambarkan dua Yaki si primata jambul hitam yang terbuat dari bulu hitam sintetis, dengan ciri khas jambul dan bokong merah jambu serta menampilkan fitur manusia bergaya fantastis.
Di sudut pameran juga terdapat karya sebuah tempat untuk menampung Yaki si jambul hitam. Bentuknya semacam sel penjara berwarna perak.
Di lain bagian pameran, beberapa pengunjung sedang menikmati film karya Natasha yang ditampilkan di layar proyektor.
Kesan para pengunjung Museum Macan
Seorang pengunjung Museum Macan, Nur Damayanti mengungkapkan perasaan sedih dan takjub setelah melihat karya yang dipamerkan.
“Sedihnya tuh dapat sampai tidak bisa mengeluarkan yang dirasa. Selepas dari itu kagum saja sih, bisa kepikiran membuat karya yang sebagus itu,” ujarnya.
Pengunjung yang lain, Lukman Nur Hakim mengatakan bahwa pameran karya tersebut menarik. Namun ia merasa kasihan terhadap primata Yaki yang diburu dan dibunuh.
“Menarik sih, tapi kasihan Yakinya diburu dan dibunuh, sangat disayangkan sih primata itu diburu,” katanya.
Lukman berpesan agar semua pihak dapat lebih bijak ketika berdampingan dengan satwa yang dilindungi.
“Ya harus lebih bijak saja sih jangan memburu sembarangan binatang yang dilindungi,” harapnya.
Karya seniman Thailand
Berbarengan dengan karya Natasha Tontey, ada pula karya seorang seniman Thailand bernama Korakrit Arunanondchai.
Dilansir dari situsweb resmi Museum Macan, Arunanondchai adalah seorang perupa yang seringkali memanfaatkan konteks budaya yang berakar dari pengalaman pribadinya, serta ruang-ruang yang ditandai oleh trauma pascakolonial.
Pameran ini menampilkan berbagai karya artistik Arunanondchai, mulai dari instalasi video ikoniknya, lukisan, hingga instalasi terbaru yang mencirikan jejak karyanya.
Pameran ini dirancang sebagai panggung bagi entitas non-manusia yang mewujud dalam bentuk antropomorfis dan hadir melalui cahaya, suara, dan gambar.
Arunanondchai, yang dikenal dengan pendekatan naratif dalam karyanya, menggali kebutuhan manusia akan cerita sambil mengkritisi dan merekonstruksi narasi-narasi yang sudah tidak relevan dalam memahami dunia saat ini.
Berkaca pada perasaan kehilangan, kecemasan, dan ketidakpastian, Arunanondchai menggabungkan gagasan-gagasan animisme dan fiksi ilmiah untuk menciptakan karya yang menggali emosi manusia.
Dalam pameran ini, ia juga menyoroti simbol burung dan ular, yang sering muncul dalam mitologi di berbagai budaya.
Simbol-simbol tersebut digunakan sebagai metafora untuk mengeksplorasi cara manusia menghubungkan sistem sosial mereka dengan alam, melebihi sekadar wujud fisik atau cerita-cerita yang ada.
Terpopuler
1
Resmi Rilis, Unduh Logo Harlah Ke-102 NU Di Sini
2
Harlah Ke-102 NU Digelar di Jakarta, Ini Rangkaian Agendanya
3
Melihat Antusiasme Haul Guru Sekumpul, 32 Ribu Relawan Layani Jamaah yang Membludak
4
Terhimpun Rp18 Miliar Dana ZIS NU Care Pringsewu di 2024, Rp1,5 Miliar Berasal dari Koin
5
Turun, Biaya Haji 2025 Rata-Rata Jadi 55,43 Juta Rupiah Setiap Jamaah
6
Pro-Kontra Wacana Libur Sekolah Selama Ramadhan, Bagaimana Seharusnya?
Terkini
Lihat Semua