Nasional

Menag: Keragaman Adalah Jati Diri Bangsa

Sabtu, 9 April 2016 | 14:04 WIB

Bogor, NU Online
Keragaman, termasuk dalam keragaman beragama, adalah jati diri bangsa. Demikian disampaikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang hadir sebagai pembicara utama dalam Temu Kebangsaan Orang Muda, Sabtu, (9/4) di Cico Resort, Bogor. 

Sejak dulu, papar Menag, Indonesia sudah kaya akan  ritual keagamaan, terbukti ada selamatan kelahiran warga di masyarakat Indonesia. Dan jauh setelah meninggal dunia pun, seseorang masih dikirimi doa-doa. Dan itu dilakukan oleh banyak agama.

Menag mengatakan bangsa Indonesia telah mengalami proses yang panjang. Sejarah menunjukkan, bahwa bangsa Indonesia sangat beragam. 

“Kalau ditarik dari perspektif agama, Tuhan memang menciptakan kita dalam wujud keberagaman. Keragaman adalah sunnatullah, atau dengan bahasa lain memang begitulah kehendak Tuhan Yang Maha Esa,” terang Menag di hadapan sekitar seratus hadirin yang mememuhi ruangan.

Selanjutnya Menag menyebut dalam perumusan UUD 1945, terjadi perdebatan, tetapi nilai-nilai agama yang dipegang oleh para pendahulu bangsa dijadikan sesuatu yang mampu menyatukan Indonesia. Dengan demikian religiusitas menjunjung tinggi nilai agama. Dan nilai-nilai keagamaan lah yang sesungguhnya menyatukan bangsa Indonesia.

Melengkapi paparannya, Menag membuat gambar sebuah bangun persegi panjang berukuran besar. Lalu Menag membuat garis-garis vertikal dan horisontal sehingga di dalam persegi panjang itu, terbentuk persegi panjang-persegi panjang lainnya.

“Menurut Anda berapa jumlah persegi panjang yang ada sekarang?” tanya Menag kepada peserta. Langsung saja para peserta menebak jumlah segi panjang yang ada.

Menag lalu menjelaskan satu gambar bisa melahirkan banyak persepsi atau pemahaman. Dari analogi itu terungkap bahwa dalam beragama Tuhan adalah satu. Kitab suci yang dipegang oleh penganut masing-masing agama juga satu. Orang suci yang diutus Tuhan juga ada satu. Tetapi, pemahaman keagaamaan itulah yang beragam.

“Islam misalnya banyak ahli tafsir yang menerjamahkan Al-Quran, memiliki pemahaman-pemahaman tergantung  cara pandang, paradigma, dan seterusnya. Demikian juga Alkitab, saya pikir tidak tunggal. Terbukti ada sekte-sekte,” kata Menag.

Menag melanjutkan, keragaman ini muncul sesungguhnya karena keterbatasan manusia. Manusia melihat sesuatu berdasarkan perspektif atau sudut pandang yang tak sama, karena memang manusia memiliki keterbatasan. Tuhan menciptakan keragaman agar manusia yang terbatas bisa saling melengkapi, sehingga bisa saling memperkaya dalam memahami kebenaran yang mutlak. 

Keberagaman agama tampak dalam sisi luar atau ritual. Tetapi bermuara pada pada satu hal sama. Agama apa pun pasti menjunjung misalnya hak asasi manusia, keadilan, dan upaya menyejahterakan manusia.

Oleh karena itu, Menag mengimbau agar kita tidak terjebak pada persoalan konflik, karena melihat sisi luar kebaragaman yang memang berbeda dan tak mungkin disatukan. 

“Tetapi kita dijalin oleh nilai-nilai agama, atau sisi dalam dari agama, sehingga tidak perlu terlalu fanatik yang berlebihan. Sisi dalam itulah yang menjadi esensi beragama,” ungkap Menang. (Kendi Setiawan/Mukafi Niam)