Nasional

Merebut Masjid dari Kampanye Kelompok Teror 

Rabu, 30 Oktober 2019 | 20:00 WIB

Merebut Masjid dari Kampanye Kelompok Teror 

masjid kairo (pinterest)


Brebes, NU Online

Pada tahun 2018 Wahid Foundation menyampaikan paparan sebuah hasil survei bertajuk ‘Tren Toleransi Sosial-Keagamaan di Kalangan Perempuan Muslim Indonesia’. Hasil survei menyatakan bahwa masjid merupakan sumber utama bagi masyarakat dalam menerima informasi keagamaan dengan skor 28, 5 persen, lebih besar dari pada ceramah kiai, ceramah di televisi atau sekolah.

Dari catatan tersebut, terlihat pentingnya menyebarkan paham anti-radikalisme dan anti-terorisme melalui mimbar agama di dalam rumah ibadah seperti masjid dan mushola.

Hal itulah yang dilakukan oleh lembaga Kanzul Ilmi Center (KIC) Talok Bumiayu, Brebes. Dalam sebuah pelatihan, KIC membekali para imam masjid dan mushalla dengan khotib dengan materi anti-radikalisme dan anti-terorisme yang memadai, dengan harapan akan terhindar dari paham kekerasan. 

"Radikalisme, transideologi dan terorisme telah merasuk ke berbagai lini, maka kita harus bergerak, menangkal meski agak terlambat," ujar Direktur KIC, Ahmad Najib Affandi di kantor KIC, Brebes, Selasa (29/10). Ia mengatakan, langkah ini diambil dalam rangka ikut serta bersama semua pihak dalam menanggulangi gerakan tersebut. 

Islam Nusantara

Dalam pelatihan tersebut, kepala Seksi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Pontren Kantor Kementerian Agama Kabupaten Brebes Akrom Jangka Daosat menjelaskan pentingnya para dai memahami ancaman radikalisme dan terorisme. 

Salah satu alat yang efektif untuk melawan gerakan radikalisme dan terorisme di tanah air adalah gagasan Islam Nusantara. Secara sederhana, Akrom menjelaskan Islam Nusantara sebagai "Islam yang menghargai kearifan lokal, seperti yang pernah dilakukan oleh para Wali Songo dan ulama-ulama pendahulu”, ungkapnya. 

Ajaran itu dapat membentengi Indonesia dari ajaran islam radikal yang mengajak pada kekerasan, karena ajaran radikalisme pada dasarnya bertentangan dengana kearifan lokal yang diakomodir oleh Islam Nusantara. 

“Karenanya, kita harus bersyukur sebagai jamaah Nahdlatul Ulama. Karena NU tak goyah dan menjadi garda terdepan yang membentengi Indonesia, dari ulah kaum radikalisme, transideologisme dan terorisme," kata Akrom.
 
Radikalisme di kalangan pemerintah 

Kata ‘agak terlambat’ yang diungkapkan Ahmad Najib Affandi, tidak berlebihan. Sebab saat ini, ajaran radikalisme kekerasan dan terorisme telah banyak mewabah di masjid-masjid di tengah masyarakat, termasuk masjid di kalangan pemerintah. 

Tahun 2017 lalu, publik diramaikan oleh banyaknya masjid di lingkungan pemerintah yang dimasuki paham radikal. Menurut hasil survei Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), sebanyak 41 dari 100 masjid di lingkungan pemerintah terinfiltrasi paham radikal. Secara rinci, Ke-41 masjid yang dimaksud adalah 11 masjid di kalangan kementerian, 11 masjid di lembaga negara, dan 21 masjid BUMN. 

Di tahun yang sama, lembaga survei Alvara Research Center menyebut sebanyak 19,4 persen Aparat Sipil Negara (ASN) menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila dan lebih percaya dengan ideologi Islam. 

Pada tahun selanjutnya, 2018, terdapat dua temuan radikalisme di kalangan perguruan tinggi. Pertama, Badan Intelejen Negara menyebut tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia terpapar paham radikalisme. Kedua, 39 persen mahasiswa dari tujuh perguruan tinggi di Indonesia bersimpati pada gerakan radikalisme. 

Fenomena keterpaparan masjid di kalangan pemerintahan dan ASN menjadi sorotan kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Suhardi Alius. Dalam sebuah forum bertajuk “Menangani Radikalisme di Kalangan ASN” yang diselenggarakan oleh  Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB), Suhardi mengimbau agar Kemen PAN-RB secara khusus membentuk tim khusus (taskforce) untuk melakukan penanganan terhadap upaya radikalisasi di lingkungan ASN.

“Dengan adanya taskforce diharapkan agar ASN ini betul-betul tergambarkan dan terpetakan dengan baik apakah ada yang sudah terpapar dan juga proses rekrutmen kedepannya seperti apa. Ini untuk mereduksi tingkat radikalisasi di lingkungan ASN dan kemudian juga untuk mencegah perkembangannya, termasuk pasca rekrutmen,” kata Suhardi. 

Upaya penenyaringan ideologi radikal di kalangan ASN dapat dilakukan dalam beberapa tahapan, Pertama yakni pada calon ASN lalu kedua pada ASN yang memiliki indikasi keterpaparan terhadap paham radikal. 

Ideologi radikal, menurut Suhardi juga dapat tumbuh dan berkembang bersamaan dengan makin diminatinya fasilitas informasi digital seperti website dan media sosial. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya orang yang teradikalisasi secara online. Sehingga, proses radikalisasi di era digital tidak bisa dianggap enteng. 
 
Pewarta: Wasdiun
Editor: Ahmad Rozali