Jakarta, NU Online
Budayawan Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) Sastro Adi mengatakan, hanya orang yang bisa keluar dari gaya berpikir mainstream itulah yang bisa main jazz. Menurut dia, jazz itu tidak teratur dalam keteraturan. Jazz membebaskan seluas-luasnya untuk berekspresi, bergerak, tapi dalam satu koridor, itulah yang disebut harmoni.
Menurut dia, NU sering dipandang orang sebagai organisasi yang tidak teratur, tidak modern. NU selalu diibaratkan sebagai lambang kaum tradisional yang tidak intelektual. Itu salah besar. NU ya memang gayanya begitu. Siapa yang yang meragukan intelektualnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)? Siapa yang meragukan kealiman KH Maimoen Zubair? Dan kiai-kiai lain.
“Tapi kalau mau jujur, siapa yang terdepan dalam menjaga keragaman? NU! NU bukan bergerak secara ilmiah, tapi secara alamiah,” jelasnya selepas tampil di Haul H. Mahbub Djunaidi ke-22 bertajuk "Jazz dan Esai-esai H. Mahbub Djunaidi" yang digelar Omah Aksoro dan PMII UNUSIA di lapangan parkir UNISIA, Jakarta, Kamis malam (5/10). .
Orang banyak menyebutkan jazz musik kaya improvisasi. Saat improv itulah pemain memiliki kebebasan mengeksplorasi kemampuannya, keunikannya, cara bermainnya sendiri-sendiri. Bahkan tidak jarang, di tengah-tengah permainan, mereka menemukan satu bentuk gaya yang sama, itu bisa ritme, yang disebut unison.
“Namun, mereka sadar sepenuhnya bahwa mereka harus menjaga tempo, dinamika, harmonisasi,” lanjutnya.
Tokoh-tokoh NU seperti H. Mahbub Djunaidi dan KH Abdurrahman Wahid misalnya, adalah pemain-pemain jazz NU. Mereka punya gaya dan karakternya sendiri dalam bergerak.
“Tapi tujuan dan cita-citanya untuk lebih baik. Kritis pada keadaan. Dengan sadar mereka tetap dalam fikrah (pemikiran) dan harakah (pergerakan) NU yang Aswaja dan dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika dan NKRI,” tegasnya.
Itu bisa terjadi karena jiwa seorang jazzer itu adalah fasilitator, saling memberikan apresiasi masing-masing. Berbagai macam cara masing-dengan gaya masing, pergerakannya masing, tapi mereka tetap ketemu dalam satu koridor, sesuai dengan kata santri, harus ngemong, rendah hati, tawadhu, tapi dengan tetap mengoptimalkan potensi lokalitas, dan asas barokah dan manfaat.
Dari sisi teknik, menariknya di dalam jazz ada yang dikenal dengan jame session. Kendati dilakukan tanpa latihan, kemudian mereka langsung ketemu di panggung, mereka bisa berkolaborasi.
“Di NU, kiai satu dengna kiai lainnya jarang ketemu, tapi karena punya kesamaan ghirahnya, bisa ketemu dalam satu titik,” pungkas pemusik yang terampil pencak silat itu.
Sastro Adi turut bermain jazz yang menggawangi keybord yang berkolaborasi dengan Komunitas Jazz Kemayoran (KJK) yang digawangi Beben Jazz. Dua anak H. Mahbub Djunaidi, Isfandiari dan Yuri Mahatma juga tampil.
Pada acara itu hadir Menteri Pemuda dan Olahraga H. Imam Nahrawi. Ia membacakan Manakib H. Mahbub Djunaidi. Hadir pula Sekretaris Jenderal PBNU H. Helmy Faishal Zaini, Waketum PBNU yang juga Rektor UNUSIA KH Maksum Mahfudz, Ketua PBNU Sulthan Fatoni, dosen-dosen UNUSIA dan para aktivis PMII. (Abdullah Alawi)