Jakarta, NU Online
Sekretaris Jenderal PBNU A Helmy Faishal Zaini menyayangkan adanya sebagian pihak yang menghadap-hadapkan antara agama dengan budaya, sehingga terkesan agama tidak hadir dalam nilai luhur masyarakat Indonesia.
Karenanya dengan pagelaran wayang kulit dalam peringatan harlah ke-95 NU, Sekjen mengatakan sebagai hal yang tepat.
“Dengan wayangan (pagelaran wayang) hari ini kita meneguhkan kembali, klau kita ingin kuat, ingin bersatu maka jadikan budaya ini sbegaai insfrastruktur agama dalam transformasi memasuki masyarakat yang lebih adil lebih sejahtera,” kata Sekjen kepada NU Online di sela-sela pagelaran wayang kulit dengan lakon Jamus Kalimasada, di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (8/4) malam.
Ia menambahkan pagelaran wayang dengan dalang Ki Cahyo Kuntadi, sebagai bagian harlah menuju satu abad NU, sebetulnya untuk mengingat kembali sejarah dakwah Walisongo dalam mengenalkan Islam melalui budaya, bukan dengan menabrak budaya.
“Dengan lakon-lakon dalam perwayangan, sehingga menjadikan tontonan menjadi tuntunan,” ujarnya.
Tontonan yang berfungsi sebagai tuntunan menurut Sekjen Helmy, terasa kering pada saat ini, terbukti dengan adanya orang yang menghadap-hadapkan antara agama dengan budaya seperti disebutkan di atas.
Sekjen Helmy mengaku dirinya terkesan dengan pertunjukan wayang.
“Wayang sebagai kebudayaan nasional dan bahkan mendunia. Kita pasti punya pengalaman dalam konteks budaya,” Sekjen Helmy menegaskan.
Perihal tokoh wayang, Sekjen Helmy mengaku menyukai Bima.
“Bima sosok yang berani mengambil tanggung jawab dan bersahaja,” katanya.
Sekjen menilai pengenalan budaya kepada anak-anak penting dilakukan.
"Hari-hari ini anak anak jauh dari menyukai budaya. Ini membutuhkan peran orangtua di rumah. Jangan menggantungkan hanya pada kurikulum sekolah," papar Sekjen Helmy.
Menurut Sekjen jika diprosentase, ada 95 persen peran orangtua di rumah yang dapat dilakukan untuk mengenalkan budaya kepada anak-anak. (Kendi Setiawan)