Nasional

Pakar Hukum Pidana Kritik Ketiadaan Asas Keadilan dalam Revisi UU ITE Jilid II

Rabu, 10 Januari 2024 | 22:00 WIB

Pakar Hukum Pidana Kritik Ketiadaan Asas Keadilan dalam Revisi UU ITE Jilid II

Ilustrasi tentang hukum. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Setya Indra Arifin mengkritik ketiadaan asas keadilan dalam Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau dikenal dengan UU ITE Jilid II. Ia menyoroti satu pasal mendasar terkait asas keadilan yang tidak diakomodasi di dalam UU tersebut. 


"Ada satu asas yang sampai hari ini bagi saya yang entah ini sesuatu yang terlewat atau memang sengaja dibiarkan yakni asas keadilan. Tentu saya tidak punya penilaian sejauh itu tapi faktanya ada dua pasal yang tidak menyebut asas keadilan," ungkap Indra kepada NU Online, Selasa (9/1/2023).


Menurut Indra, ketiadaan asas keadilan dalam UU ITE Jilid II itu memunculkan pertanyaan mengenai keseriusan pemerintah dalam mengakomodasi nilai keadilan serta penegakan hukum di dunia maya dalam undang-undang tersebut. 


Ia menjelaskan bahwa sejak UU ITE pertama kali diberlakukan pada 2008, hingga revisi terakhir pada 2024, tidak pernah ada satu pun asas keadilan yang disoroti dalam undang-undang tersebut. 


“Misalnya, dalam UU Nomor 1 Tahun 2024, Pasal 2 mengenai keberlakuan UU ITE ini bagi siapa dan di mana? Ini yang sering disebut sebagai pasal pemberlakuan ekstrateritorial. Selanjutnya, Pasal 3 membahas dasar-dasar UU menggunakan asas apa? Ini masuk bab asas dan tujuan,” jelas Indra. 


Ia mengatakan, apabila dicermati baik-baik maka pemanfaatan teknologi informasi elektronik itu akan dilaksanakan berdasarkan beberapa asas. Di antaranya asas kepastian hukum, asas kebebasan memilih teknologi, dan asas itikad baik. 


“Tetapi tidak ada satu pun asas yang berbunyi asas keadilan," terang Indra.


Padahal, kata Indra, dalam UU lain khususnya undang-undang sektoral hampir bisa dipastikan asas keadilan selalu ada. Norma hukum dibangun oleh asas, asas dibangun oleh berbagai macam teori dan konsep baik terkait dengan hukum itu sendiri.


"Bagi saya sekalipun ranahnya asas yang sangat abstrak tapi tidak boleh sekalipun dilupakan nilai keadilan dalam hukum itu," ungkapnya.


Hal ini menjadi kritik mendasar terhadap UU ITE dan revisinya, karena keadilan dianggap sebagai nilai fundamental yang seharusnya tidak boleh diabaikan dalam pembentukan undang-undang, terutama dalam penegakan hukum di ruang maya.


"Sekali lagi bahwa ketiadaan asas ketidakadilan dalam UU ITE ini menjadi pertanyaan bagi kita semua apakah memang para pembentuk UU tidak ingin menghadirkan keadilan dalam penegakan hukum di ruang maya sehingga tidak ada satu pun bunyi asas keadilan dalam Undang-undang ini," tandasnya.


Pasal Karet UU ITE

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). UU tersebut merupakan hasil perubahan kedua yang disahkan oleh DPR RI pada 5 Desember 2023. 


Dilansir dari salinan lembaran UU Nomor 1 Tahun 2024 yang telah diunggah di laman resmi Sekretariat Negara, Kamis (4/1/2024), beleid itu diteken Presiden pada 2 Januari 2024. UU ini mengubah sejumlah aturan yang sebelumnya ada di UU Nomor 11 Tahun 2008 dan UU Nomor 19 Tahun 2016.


Salah satu poin revisi UU ITE yang menjadi sorotan adalah keberadaan pasal karet. Revisi UU ITE tak lagi mengandung pasal 27 ayat (3) yang mengatur pidana penghinaan atau pencemaran nama baik melalui saluran elektronik. Namun UU ITE Jilid II mencantumkan pasal 27A dan 27B. Dua pasal itu dinilai banyak pihak sebagai pasal karet baru dalam UU ITE.


Pasal 27A UU ITE berbunyi, "Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik."


UU ITE Jilid II yang ditandatangani Jokowi juga menambahkan ayat (3) pada pasal 28. Ayat itu mengatur larangan menyebarkan berita bohong. Ayat ini berbunyi, "Setiap orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat."


UU ITE Jilid II juga memberi wewenang bagi penyidik kepolisian menutup akun media sosial seseorang. Ketentuan itu ditambahkan melalui pasal 43 huruf (i) yang berbunyi, "Memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses secara sementara terhadap akun media sosial, rekening bank, uang elektronik, dan atau aset digital."