Nasional

Penanganan Napiter harus Dikerjakan Lintas Sektor

Selasa, 13 November 2018 | 21:00 WIB

Jakarta, NU Online
Terorisme disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang memiliki faktor dan dimensi yang sangat kompleks terutama faktor motivasi ideologi. Dalam sebuah tulisan di NU Online berjudul ‘Terorisme: Irasionalitas Kekerasan Agama’ Ahmad Zainul Hamdi, Dosen UIN Surabaya menulis bahwa perilaku kejahatan ini tidak bisa dijelaskan kecuali ia adalah sebentuk tindakan yang, pada akhirnya, irasional. 

Maka dari itu, penanganan pada kasus tindak pidana terorisme disebut-sebut bukan perkara mudah. Sebab selain bersentuhan dengan sejumlah faktor penyebab, ia juga berhubungan dengan masalah ideologi kelompok teror. 

Mengubah cara berpikir seorang napiter memerlukan serangkaian pekerjaan yang relatif tidak instan. “Menangani napiter ini membutuhkan kewenangan, penanganan, dan kebijakan khusus dalam upaya penanggulangannya termasuk dalam menjalankan program pembinaan pelakunya,” kata Deputi I bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT, Mayjen TNI Hendri Paruhuman Lubis, di Jakarta, Selasa (13/11). 

Karena pekerjaan membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan cenderung berhubungan dengan sejumlah lembaga, maka diperlukan sinergitas bersama antara lembaga yang menangani napiter terutama BNPT dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) dalam menangani napiter. Menurutnya, proses deradikalisasi bukan proses yang instan, yang lalu bisa mengubah seseorang yang tadinya radikal menjadi tidak radikal. 

Ia mengatakan banyak tantangan dan permasalahan dalam pelaksanaan deradikalisasi mulai dari persoalan koordinasi, identifikasi, penempatan, fasilitas hingga persoalan perntingnya meningkatkan kapasitas SDM dalam menangani program pembinaan ini.

Tingginya tingkat kesulitan akan penanganan kasus terorisme dialami langsung oleh Wali Pemasyarakatan (Pamong) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) karena Pamong yang bersentuhan langsung dengan narapidana terorisme. 

Tantangan itu disampaikan Hendri Paruhuman Lubis saat memberikan sambutan dalam Rapat Koordinasi Pendampingan Napiter oleh Wali Pemasyarakatan (Pamong) di Lapas dan Rutan di Jakarta, Selasa (13/11).

“Saya kira inilah urgensi dari kegiatan kali ini sebagai wadah koordinasi, sinergi dan penyamaan persepsi antara BNPT dengan petugas lapas, khususnya Pamong yang merupakan garda terdepan yang bersentuhan langsung dengan narapidana terorisme agar napiter tersebut bisa berubah menjadi lebih baik,” katanya.

Dengan adanya pertemuan ini BNPT, Kepala Lapas dan para pamong bisa saling berbagi informasi menggenai tantangan dan hambatan yang terjadi dalam proses penanganan napiter. 

Tantangan Pamong Napiter
Secara khusus, ia mengatakan pentingnya peran Pamong sebagai petugas ‘terdekat’ dengan napiter.  Pamong menjadi unsur yang penting dalam pelaksanaan program deradikalisasi di dalam Lapas. Para pamong yang secara langsung bersentuhan dengan napiter. 

“Mereka (Pamong) yang menjadi rekan terdekat, teman curhat dan keluh kesah napi teroris selama menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan,” ujarnya.

Kendati ditugaskan untuk membangun hubungan dekat dengan napiter, Hendri Lubis juga mengingatkan Para Pamong untuk selalu waspada agar jangan sampai pamong sendiri malah justru terpapar paham ideologi radikal yang disebarkan oleh napiter yang ditanganinya. 

Masalah lemahnya koordinasi dan Pamong juga menjadi perhatian CSAVE, sebuah NGO yang bergerak di bidang radikalisme terorisme. Dalam catatannya yang dipublikasi pada tahun 2018, CSAVE menemukan bahwa terkadang Pamong yang mendampingi napiter tidak dibekali profil lengkap si napiter.

"Bahkan informasi mengenai napiter bagi petugas Lapas sangat minim. Berkaitan dengan narapidana teroris, para petugas Lapas dan Bapas masing sangat minim informasi tentang latarbelakang napiter, terutama berkaitan bagaimana seorang napiter mengalami radikalisasi, jaringannya (ideolog dan perekrutnya), peranan dalam kelompok aksi teror dan tingkat radikalisme mereka. Para petugas lapas tidak dapat atau seringkali terlambat untuk mengidentifikasi faktor risiko (risk assessment) dan faktor kebutuhan (need assessment) napiter" tulisnya dalam blog CSAVE.org.

Sehingga menyebabkan para Pamong gagal mengidentifikasi dan memberikan tindakan pada napiter. Hal buruk lain yang mungkin terjadi adalah napiter ini bahkan bisa melakukan radikalisasi baik terhadap napiter sendiri maupun narapidana lain, atau bahkan si Pamong. (Ahmad Rozali)