Nasional

Penyamarataan Masa Tunggu Haji 26 Tahun Dinilai Rugikan Provinsi Padat Jamaah

NU Online  ·  Sabtu, 8 November 2025 | 21:30 WIB

Penyamarataan Masa Tunggu Haji 26 Tahun Dinilai Rugikan Provinsi Padat Jamaah

Anggota DPR RI Habib Syarief Muhammad diwawancarai media, Sabtu (8/11/2025) (Foto: NU Online/Fathur)

Jakarta, NU Online 
Penyeragaman masa tunggu haji menjadi 26 tahun untuk seluruh provinsi dinilai tidak mencerminkan kondisi riil antrean di lapangan. 

 

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Habib Syarief Muhammad menegaskan bahwa kebijakan itu berpotensi menggerus jatah keberangkatan provinsi dengan jumlah calon jamaah yang sangat besar.

 

Habib menegaskan bahwa informasi terkait rencana regulasi itu sudah berkembang di berbagai forum.

 

“Informasi yang sementara ini berkembang, pemerintah sudah melakukan regulasi bahwa semua calon haji maksimal waiting list-nya 26 tahun. Yang tadinya dari 43, 45, sampai 49 tahun,” ujarnya dalam rapat Baleg di Kompleks Parlemen, Jakarta, Sabtu (8/11/2025).

 

Habib menilai kebijakan tunggal 26 tahun tidak mempertimbangkan realitas lapangan. Daerah dengan jumlah jamaah yang besar, seperti Jawa Barat dan Jawa Timur, akan menerima dampak pengurangan kuota.


"Ada beberapa provinsi besar yang mungkin daftar tunggunya sangat banyak jumlahnya. Tetapi dengan kebijakan 26 tahun ini, konsekuensinya provinsi tersebut diturunkan,” tegasnya. 

 

Ia mencontohkan Jawa Barat yang sebelumnya memiliki masa tunggu 49 tahun. Setelah kebijakan baru, angka itu turun menjadi 48 tahun, namun dengan pengurangan kuota signifikan.

 

“Dengan kebijakan ini, yang mestinya berangkat sekian puluh ribu, 46 atau apa, dengan kebijakan ini mungkin akan berkurang antara 6 sampai 5 ribu. Jawa Barat otomatis dirugikan untuk yang diporsikan 2026,” jelasnya. 

 

Sementara itu, provinsi lain dengan antrean lebih pendek justru diuntungkan. “Provinsi-provinsi tertentu, terutama provinsi yang Sulawesi, itu malah jadi semakin cepat,” tambahnya. 

 

Habib mengingatkan bahwa perubahan masa tunggu tidak bisa diberlakukan secara serampangan tanpa kajian komprehensif. “Kita masih belum sampai kepada formula yang fix,” ujarnya. 

 

Daya tunggu atau waktu tunggu yang cukup panjang tersebut mungkin bisa diperbaiki, tetapi menurutnya tidak sesederhana itu."Kita masih memerlukan analisa dan pendalaman," tuturnya.

 

Habib secara khusus menyinggung ketidakadilan yang mungkin muncul akibat sistem tunggal 26 tahun, terutama bagi jamaah lanjut usia. "Bayangkan, ada orang yang sudah berusia 70, tapi daya tunggunya masih 20 tahun. Sementara orang yang berusia 30, karena punya umat, dia bisa langsung berangkat hanya dengan tunggu satu tahun,” ujarnya.

 

Ia mendorong agar jamaah lansia diberi prioritas keberangkatan. “Bagaimana yang rata-rata usia sudah di atas 65, bagaimana kalau diberikan kesempatan lebih awal… Yang 65 ini diberikan kesempatan 10 atau 5 tahun,” sarannya. 

 

Menurutnya, aspek fisik dan kemanusiaan harus menjadi pertimbangan utama. “Setelah usia semakin tua, kesiapan fisiknya sudah menurun,” ujarnya. 

 

Habib menilai persoalan masa tunggu tidak bisa dilepaskan dari tata kelola haji yang lebih luas, mulai dari distribusi kuota hingga pengawasan sistem. “Jadi persoalan haji ini sangat kompleks,” tandasnya. 

 

Ia kembali mengingatkan bahwa dana haji yang mengendap bertahun-tahun harus dikelola dengan akuntabel. “Setiap sen atau rupiah dari uang haji harus betul-betul dipertanggungjawabkan,” katanya. 

 

Baleg DPR RI tengah membahas revisi UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, di mana salah satu fokusnya ialah pemerataan nilai manfaat sesuai masa tunggu calon jamaah serta transparansi pengelolaan anggaran.

 

Habib berharap revisi UU ini dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang selama ini menumpuk dalam penyelenggaraan haji, termasuk masalah antrean panjang dan potensi ketidakadilan antar provinsi.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang