Sejarah perkembangan Islam dari masa ke masa tidak dapat dipisahkan dengan dimensi tasawuf yang mengambil peran penting di dalamnya. Di Nusantara, sejak kali pertama masuknya Islam hingga kini, tasawuf memberi warna yang cukup signifikan. Kita dapat menyebut tokoh seumpama Abd al-Shamad al-Palembani (wafat 1203), Hamzah Fansuri (wafat 1590), Nuruddin Arraniri (wafat 1658) sebagai ikon sufi Nusantara.
Beberapa tokoh yang saya disebutkan itu memiliki andil yang cukup besar dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara. Tokoh-tokoh tersebut dengan tegas dapat diklaim sebagai penyebar ajaran Islam yang berlatang priyayi.
Bersamaan dengan itu, terdapat sosok tokoh pribumi Nusantara dari kalangan 'konglomerat' yang juga turut menyebarkan Islam di Nusantara dengan jalur tasawuf yang nyaris terlupakan. Ia adalah Ki Agêng Selo.
Mengenal Sosok Ki Agêng Selo
Penjabaran secara lengkap tentang ajaran Ki Agêng Selo ini ditulis oleh Rima Ronika dalam laporan hasil penelitian berjudul Corak Ajaran Tasawuf dalam Pêpali Ki Agêng Selo Ditinjau dari Perspektif Hermeneutik Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher. Tulisan tersebut merupakan hasil temuan Rima dalam program penelitian berbasis pengabdian masyarakat yang dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018.
Dalam temuannya, Rima menjelaskan bahwa Ki Agêng Selo adalah sosok sufi Nusantara yang hidup pada masa Kerajaan Demak di sekitar wilayah Grobogan. Selain itu, Rima juga menegaskan bahwa Ki Agêng Selo merupakan nenek moyang raja-raja Mataram Islam yang hidup pada abad ke-16 M. Ia adalah cucu Raden Lembu Peteng atau Bondan Kejawen, anak Prabu Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Nasab leluhurnya dapat ditelusuri dari kedua orang tuanya. Ibunya bersal dari tanah Bandan dan ayahandanya merupakan warga asli Jawa.
Rima juga menyebutkan, Ki Agêng Selo merupakan leluhur Panembahan Senopati, pendiri Kerajaam Mataram Islam. Berangkat dari asumsi ini, Rima memperkirakan bahwa Ki Agêng Selo merupakan tokoh yang memiliki pengaruh besar di Tanah Jawa. Maka, sebagai sosok yang berpengaruh, Ki Agêng Selo memiliki suatu ajaran fenomenal yang diikuti oleh masyarakat luas pada masanya. Ajaran itu adalah filsafat hidup dan keagamaan.
Menurut Rima, Ki Ageng Selo menyampaikan pemikiran-pemikirannya kepada para pengikutnya secara oral. Dan sebagaimana tradisi pengajaran di tanah Jawa, para santri mencatat dan menuliskan ajaran-ajaran yang disampaikan oleh gurunya. Tulsian-tulisan itu selanjunya menjadi masterpiece pemikiran Ki Agêng Selo yang dikemudian hari ini dikenal dengan Pêpali Ki Agêng Selo.
Sekilat tentang Pêpali Ki Agêng Selo
Pêpali adalah ajaran lisan seorang guru yang ditulis dan dikumpulkan oleh murid-muridnya dengan bahasa Jawa dalam bentuk tembang macapat. Sedangkan Pêpali Ki Agêng Selo sendiri mengajarkan tentang kesusilaan, kebatinan, dan keagamaan. Dalam merumuskan ajarannya, Ki Ageng Selo menggunakan pendekatan Filsafat Jawa ala Wali Songo yang di dalamnya memuat nilai-nilai sufistik.
Dalam Bahasa Jawa, kata Pêpali berarti pakem, ajaran pokok, dan pedoman nilai. Soetardi Soeryahoedoyo mengartikan Pêpali sebagai ajaran petunjuk dan aturan yang mesti ditaati oleh manusia. Selengkapnya, Pêpali Ki Agêng Selo yang dituliskan dalam bentuk tembang macapat dimaksudkan sebagai sarana penuturan, media dakwah serta media pendidikan yang relatif mudah untuk menyampaikan pesan-pesan moral serta refleksi kehidupan sebagaimana tradisi yang telah mengakar di tanah jawa pada masanya.
Pêpali Ki Agêng Selo dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian. Pertama, Dandhanggula berisi tentang bagaimana seharusnya manusia menjalankan hidup di dunia. Kedua, Asmaradhana. Asmaradana adalah kelanjutan Dandhanggula yang di dalamnya banyak membahas tentang konsekuwensi prilaku manusia serta tatacara jalan kembali kepada Tuhan. Ketiga, Megatruh. Bagian ini lebih menekankan pada hubungan Tuhan dan manusia.
Keempat, Mijil. Dalam Mijil, Ki Ageng Selo menjelaskan tentang proses manusia dalam mendekatkan diri pada Tuhan. Dalam bagian ini Ki Agêng Selo lebih menekankan pada level tasawuf, bagaimana tahapan atau tingkatan dalam menjalankan kewajiban beribadah kepada Tuhan. Bagian ini merupakan kelanjutan dari Megatruh yang membahas secara rici keadaan manusia setelah mati kaitannya dengan prilakunya selama di dunia.
Bagian selanjutnya atau kelima adalah Maskumambang. "Dalam Maskumambang Ki Agêng Selo menjelaskan tentang konsep hidup dan mati dalam tradisi Jawa serta keharusan 'laku hidup' manusia dalam tradisi Jawa kaitannya dengan hukum Tuhan. Adapun perihal yang menarik dalam bagian ini, adalah ketika Ki Agêng Selo menjelaskan tentang konsep hidup dan mati yang didasarkan pada ajaran Al-Qur'an Surat Al-Imran ayat 27. Selain itu dalam bagian ini, Ki Agêng Selo menyebut kata 'Allah' untuk menunjukkan kata Tuhan," urai Rima.
Bagian terakhir (keenam) adalah Dhandanggula. Dalam bagian Dhandanggula masih membahas tentang bagaimana seharusnya manusia hidup. Bagian ini hakikatnya hampir sama dengan bagian sebelumnya. Namun yang menarik, dalam bagian ini Ki Agêng Selo menggunakan kata 'Hyang Widi' untuk menyebut Tuhan. Penggunaan kata 'Hyang Widi' merupakan penyebutan Tuhan dalam masyarakat Hindu.
Hemat saya, dalam bagian ini Ki Agêng Selo hendak membari didikan hidup kepada masyarakat jawa lintas agama (Islam, Hindu, Budha) tentang nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, Ki Agêng Selo dalam bagian ini lebih bersifat terbuka untuk mengakomudir seluruh umat beragama di tanah jawa.
Berbagai ajaran Ki Agêng Selo yang tertera dalam pêpalinya sebagaimana ulasan di atas menunjukkan bahwa masyarakat jawa sejak dari leluhurnya telah memiliki prinsip-perinsip hidup yang baku dan talah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian mereka. Kehadiran Ki Agêng Selo dengan pepalinya menjelaskan bahwa masyarakat Jawa talah mengenyam dan memperaktekkan ajaran agama secara nyata.
Hadirnya Pepali Ki Agêng Selo sebagai salah satu manuskrip Nusantara yang dengan rinci membahas tentang masyarakat Jawa kaitannya dengan agama, menunjukkan bahwa ajaran agama tidak hanya ditanamkan oleh ulama berkebangsaan priyayi. Lebih jelas lagi, ketika Ki Ageng Selo dalam pepalinya banyak bertutur tentang hubungan Tuhan dan manusia serta jalan menuju Tuhan, memberi keterangan bahwa ajaran tasawuf tidak hanya dipelopori oleh tokoh-tokoh ulama yang pernah menimba ilmu pengetahuan ke Jazirah Arab.
Akan tetapi, ajaran tasawuf telah diajarkan dan mentradisi jauh sebelum kedatangan para ulama-ulama besar layaknya Abd al-Shamad al-Palembani, Hamzah Fansuri dan Nuruddin Arraniri sebagaimana disebutkan di bagian pengantar tulisan ini.
Penulis: Ahmad Fairozi
Editor: Kendi Setiawan