Nasional

Perampasan Tanah Adat di Rempang Bukan Masalah Lokal, tapi Urusan Berbangsa dan Bernegara

Jumat, 28 Maret 2025 | 11:00 WIB

Perampasan Tanah Adat di Rempang Bukan Masalah Lokal, tapi Urusan Berbangsa dan Bernegara

Direktur Jaringan Gusdurian Alissa Wahid. (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online

Kasus kerusuhan telah terjadi di Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau pada Kamis (7/8/2023) siang. Petugas gabungan dari Polri, TNI, Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam, dan Satpol PP terlibat bentrok dengan warga Rempang. Bentrok terjadi saat pengukuran untuk pengembangan kawasan tersebut oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam. Bahkan, hingga kini permasalahan tersebut makin menjadi dan tak kunjung memenuhi rasa keadilan untuk rakyat Indonesia di Rempang.


Melihat kasus tersebut, Direktur Jaringan Gusdurian Alissa Wahid mengatakan bahwa kasus perampasan tanah di Rempang tidak hanya seharusnya dilihat sebagai masalah lokal, tetapi juga sebagai persoalan berbangsa dan bernegara.


Menurut Alissa Wahid, prinsip dasar yang harus dijaga adalah penghormatan terhadap hak-hak warga Rempang. Jika warga Rempang tidak menginginkan untuk dipindahkan, alasan apapun, hal tersebut harus dihormati oleh negara. 


"Apalagi kalau warga Rempang sudah memiliki hak legal formal atas tanah yang ada termasuk di dalamnya peraturan yang memberikan hak tersebut kepada masyarakat adat yang sudah mendiami sebuah kawasan selama bergenerasi-bergenerasi, itu kan sudah ada aturannya sudah didiami (ditempati secara tahunan)," katanya dalam diskusi daring Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik dikutip NU Online, pada Kamis (27/3/2025).


Alissa menegaskan pentingnya prinsip keadilan bagi warga Rempang, serta kemakmuran mereka. Tidak seharusnya kebijakan pemerintah berfokus pada keuntungan untuk pemerintah pusat, pemerintah lokal, atau negara, melainkan untuk masyarakat setempat. 


"Saya meyakini bahwa konflik di tingkat lokal harganya sangat mahal. Bukan hanya untuk warga Rempang tapi untuk warga Indonesia secara utuh. Jadi, kita tidak boleh melihat ini adalah warga Rempang saja tapi warga Rempang adalah bagian dari bangsa Indonesia karena itu yang harus didengar itu adalah warga Rempang, maunya apa," jelasnya.


Senada, Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sekaligus Anggota Dewan Pers, Busyro Muqoddas mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan banyak kajian dan analisis mengenai keadilan dalam PSN di Rempang. 


"Intinya beberapa kota dan desa itu yang kami sampaikan korban yang saya kategorikan korban sektor hilir," jelasnya.


Busyro menilai bahwa dua Presiden dan DPR, yang dipilih melalui pemilu, harus memenuhi janji mereka untuk setia kepada rakyat dan bangsa. 


"Ini jangan justru kemudian rakyat ditipu dengan terus dibohongi terus seperti selama 10 tahun ini. Hampir 240 Proyek Strategis Nasional PSN di Indonesia ini ada nggak nih yang mengenai analisis dampak lingkungan (Amdal)? Ada nggak?," katanya.


Tak hanya itu, Akademisi dari Pusat Studi Agraria IPB University Rina Mardiana mengungkapkan kekhawatirannya tentang pengabaian hak masyarakat adat, khususnya orang Melayu yang identik dengan profesi nelayan. 


Menurutnya, perampasan tanah yang terjadi di Rempang bukan hanya mencakup lahan daratan, tetapi juga melibatkan lautan. Masyarakat Rempang merasa bahwa mereka tidak dilibatkan dalam perencanaan dan sosialisasi terkait proyek ecocity yang seharusnya memberi manfaat bagi mereka. Sosialisasi yang ada pun dirasa sepihak, tanpa melibatkan warga setempat secara berarti.


"Apakah ini yang menjadi hal yang dipertimbangkan oleh negara terkait restorasi nafkah? Alih-alih pendapatan masyarakat nelayan rempang menjadi lebih baik yang ada semakin buruk karena mereka menjadi pekerja di Rempang ecocity nanti begitu," terangnya.