Puluhan Pemuda dari Asia Tenggara Bersatu Bangun Narasi Melawan Terorisme
Selasa, 23 April 2019 | 15:45 WIB
Jakarta, NU Online
Sejumlah studi mengklasifikasi aksi terorisme menjadi dua kelompok, pertama adalah teroris lokal dalam satu negara dan yang kedua adalah teroris yang terafiliasi dalam jaringan internasional. Saat ini, aksi teror yang dilakukan kelompok teroris banyak ditemukan berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
Seperti contoh, kelompok teror yang melakukan aksi teror di Philipina dianggap memiliki hubungan dengan kelompok teror di Poso Indonesia dan juga Malaysia. Mereka menggunakan perbatasan yang tidak dijaga dengan ketat sebagai pintu keluar-masuk dari satu negara ke negara lainnya.
Oleh karena itu sejumlah studi merekomendasikan adanya kerja sama antarnegara dalam menghalau aksi terorisme. Hal itu yang mengilhami Badan nasional penanggulangan Terorisme saat membentuk aliansi perdamaian antara pemuda lintas negara Asia Tenggara.
Sebanyak 50 pemuda-pemudi dari negara-negara Asia Tenggara yaitu Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Kamboja, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Laos untuk mengikuti “Regional Workshop on Establishing Youth Ambassadors for Peace Against Terrorism and Violent Extremism” di Jakarta selama empat hari, 22-25 April 2019.
“Kami sengaja memperluas duta damai dunia maya ke kawasan Asia Tenggara karena saat ini seluruh negara di dunia sedang menghadapi perubahan pola dan modus terorisme dari cara lama ke cara baru,” kata Deputi Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT Mayjen TNI Hendri Paruhuman Lubis, Senin (22/4).
Perubahan pola yang dimaksud Hendri adalah pemanfaatan kecanggihan teknologi dan informasi oleh kelompok teroris dalam menyebarkan pesan kekerasan dan rekrutmen anggota mereka.
Sehingga, aksi yang diperlukan dalam melawan terorisme harus melibatkan pemantauan narasi kekerasan yang tersebar di dunia maya. Aksi kekerasan dan terorisme di dunia nyata bisa dicegah dan diamputasi melalui upaya penindakan dan penegakan hukum, tetapi narasi kekerasan dan terorisme yang masif dan viral di dunia maya lebih sulit untuk ditanggulangi.
“Sesungguhnya melawan terorisme saat ini adalah melawan narasi kekerasan yang mudah mempengaruhi semua lapisan masyarakat. Pasalnya tidak ada orang yang kebal dari pengaruh ideologi dan indoktrinasi, kecuali mempunyai imunitas dan kecerdasan dalam menangkalnya,” terang Hendri.
Dalam perang narasi kekerasan dan teror di dunia maya, generasi muda dianggap sebagai kelompok yang paling rentan karena secara demografi kelompok ini merupakan pengguna terbesar dunia maya. Itu akan sangat berbahaya bila tidak ditangkal melalui upaya peningkatan kapasitas dan kemampuan literasi media dan literasi digital.
“Generasi muda adalah kelompok usia yang sedang mencari jati diri, identitas, dan idealisme. Apabila dalam proses itu mereka selalu bersinggungan dengan narasi kekerasan, maka akan menimbulkan apa yang disebut self radicalization melalui dunia maya,” ungkapnya.
Oleh karenanya penting adanya gerakan bersama antanegara dalam rangka memberikan narasi positif dan pesan damai. Pekerjaan itu tidak cukup dilakukan di dalam negeri saja karena, sifat dunia maya yang lintas batas teritorial (borderless) dan lintas negara.
“Kami melihat perlunya kolaborasi generasi muda, tidak hanya antar daerah di Indonesia, tapi lebih luas yaitu antar pemuda-pemudi perdamaian lintas negara. Tahun ini negara-negara Asia Tenggara, tahun depan Insya Allah kita perluas lagi sampai ke tingkat dunia,” jelasnya. (Red: Ahmad Rozali)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
2
Keputusan Libur Ramadhan Menunggu Surat Edaran Lintas Kementerian
3
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
4
Khutbah Jumat: Mari Bangkitkan Semangat Mempelajari Ilmu Agama
5
Komnas Haji: Pengurangan Petugas Haji 2025 Jadi Tantangan dan Titik Krusial
6
Ketum PBNU: NU Berdiri untuk Bangun Peradaban melalui Pendidikan dan Keluarga
Terkini
Lihat Semua