Nasional

Rekomendasi Temu Nasional Gusdurian 2020 untuk Indonesia

Kamis, 17 Desember 2020 | 03:15 WIB

Rekomendasi Temu Nasional Gusdurian 2020 untuk Indonesia

Temu Nasional Gusdurian 2020.

Jakarta, NU Online

Temu Nasional (Tunas) Gusdurian 2020, telah usai dilaksanakan pada Rabu (16/12). Seluruh rangkaian agenda sejak 7 Desember lalu sudah tuntas dilaksanakan. Mulai forum isu strategis, penguatan komunitas dan jaringan, ziarah pemikiran Gus Dur, hingga peringatan Haul KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke-11 sebagai penutup. Semua agenda digelar secara virtual.


Selain itu, Jaringan Gusdurian juga mengeluarkan pandangan dan rekomendasi untuk Indonesia dalam agenda Tunas 2020 yang dihelat selama sepuluh hari itu. Rekomendasi yang berjumlah sembilan poin itu dibacakan dalam konferensi pers yang dilangsungkan secara virtual pada Rabu sore tadi.


Pertama, Jaringan Gusdurian merasa perlu untuk menegakkan kembali prinsip negara yang melindungi semua warganya. Tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras, serta mempraktikkan nilai kesetaraan bagi semua warga negara dalam praktik  bernegara sesuai dengan konstitusi.


Kedua, memperkuat politik kewargaan dan mengawal terbukanya kembali diskursus tentang negara dan kewargaan. Masyarakat sipil perlu memperkuat basis sosial untuk menguatkan kontrol terhadap kekuasaan, agar struktur relasi dengan negara lebih transformatif sehingga posisi masyarakat sipil tidak semakin terkooptasi oleh negara.


Ketiga, Jaringan Gusdurian berpandangan bahwa pemerintah dan DPR RI perlu mengagendakan pembahasan sejumlah RUU yang kontributif pada pemajuan HAM. Di antaranya RUU Perubahan UU ITE, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), RUU Perlindungan Masyarakat Adat, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), dan RUU Perubahan UU Hak Asasi Manusia.


Masih dalam poin yang sama, Gusdurian mendesak pemerintah dan DPR RI untuk melakukan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dan memperkuat Lembaga Nasional HAM seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.


“Masyarakat perlu membangun sistem kontrol jalannya pemerintahan baik pusat dan daerah, sehingga kebijakan-kebijakan yang ada melindungi mereka yang lemah atau dilemahkan dan inklusif,” demikian bunyi akhir dari poin ketiga pandangan dan rekomendasi Tunas Gusdurian 2020.


Keempat, Gusdurian juga menilai perlu adanya pembaruan paradigma pendidikan terkait arah dan pengelolaan hingga perbaikan kultur lembaga dalam kolaborasinya dengan masyarakat. Hal tersebut perlu dilakukan agar sistem pendidikan Indonesia tidak lagi terdikte oleh kepentingan politik ekonomi global.


“Melainkan konsisten pada dasar Pancasila, UUD 1945, nilai-nilai agama, dan budaya lokal untuk masa depan bangsa Indonesia yang sejahtera, damai, adil, dan beradab,” begitu bunyi poin keempat.


Kelima, Gusdurian mendorong konsep ‘Pribumisasi Islam’ sebagai metodologi pemikiran dan strategi gerakan sosial masyarakat untuk mewujudkan Indonesia berketuhanan, berkemanusiaan, bermartabat, dan berkeadilan.


“Untuk itu, perlu disosialisasikan pandangan Pribumisasi Islam tentang manusia sebagai subjek dan objek dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara,” seperti itu poin kelima dalam rekomendasi diterbitkan di Yogyakarta, 16 Desember 2020 ini.


Keenam, eksploitasi sumberdaya alam telah mengakibatkan berbagai bencana yang berdampak pada banyak aspek kehidupan masyarakat. Saat ini, dunia menghadapi krisis global perubahan iklim. Penyebab perubahan iklim adalah kenaikan emisi gas rumah kaca yang di antaranya disumbang oleh eksploitasi sumber daya alam dan konsumsi energi kotor.


Oleh karena itu, Gusdurian menilai perlu dilakukan percepatan transisi energi bersih di Indonesia. Sebab energi kotor, terutama energi batu bara, merupakan salah satu penyumbang terbesar krisis perubahan iklim skala global.


Ketujuh, Gusdurian merasa perlu agar dibangun paradigma ekonomi yang berkelanjutan dengan berbasis pada nilai kemanusiaan dan keadilan lingkungan. Selama ini paradigma pembangunan lebih menekankan pada aspek pertumbuhan ekonomi yang hanya melayani kepentingan investasi tanpa mengindahkan aspek keadilan dan pemerataan, sehingga mengakibatkan eksploitasi besar-besaran atas sumber daya alam dan melahirkan ketidakadilan lingkungan (environmental injustice).


Kedelapan, pemerintah perlu memperkuat ekonomi dan keuangan bagi kelompok lemah dengan mendorong kemudahan akses fasilitas-perkreditan-permodalan bagi UMKM. Pemerintah juga perlu melakukan upaya serius untuk memangkas ketimpangan ekonomi dan meningkatkan kemampuan daya beli rakyat.


Di samping itu, Gusdurian memeinta pemerintah agar memperkuat kebijakan untuk melindungi sekaligus menumbuhkan sektor pertanian, pangan, dan kelautan, serta mengembangkan perekonomian kreatif yang memfasilitasi rantai produksi dan distribusi perekonomian nasional.


Kesembilan, Gusdurian mendorong agar menjadikan perempuan, anak, dan keluarga sebagai isu penting yang harus direspons dengan serius oleh seluruh elemen bangsa sekaligus menjadikannya sebagai perspektif yang inheren dalam semua isu kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.


Sebab bagi Jaringan Gusdurian, perempuan, anak, dan keluarga harus diposisikan sebagai subjek dan aktor perubahan sosial. Karena itu, perlu ada upaya  mempromosikan narasi tentang perempuan, anak, dan keluarga yang berbasis pada nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan.


Tujuannya untuk membendung narasi-narasi serupa yang melanggengkan subordinasi dan ketidakadilan pada perempuan dan anak. Selain itu, perlu juga melakukan gerakan literasi kontekstual dan hukum agar masyarakat memiliki daya kritis sekaligus mampu menghadapi persoalan hukum yang berkaitan dengan isu tersebut. 


Latar belakang perumusan rekomendasi


Sembilan rekomendasi Tunas Gusdurian 2020 untuk Indonesia itu dikeluarkan bukan tanpa sebab. Namun melalui berbagai tahap kajian yang dilakukan serta mengamati situasi dan kondisi bangsa belakangan ini.


Jaringan Gusdurian memandang perlunya merefleksikan situasi yang kini tengah dihadapi bangsa Indonesia. Namun demikian Gusdurian pun menyusun langkah-langkah respons terhadap berbagai situasi itu. 


Sembilan poin rekomendasi tersebut diterbitkan juga bertujuan sebagai wujud dari upaya melanjutkan perjuangan Gus Dur yakni terwujudnya masyarakat dan bangsa Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Berbagai isu, dalam rekomendasi itu, telah direspons dan dipaparkan. Di antaranya dalam ranah politik, hukum, sosial-budaya, pendidikan, dan ekonomi.


Dalam pandangan Jaringan Gusdurian, lemahnya pendidikan kewargaan mengakibatkan rakyat Indonesia hingga kini tidak cukup mampu mempengaruhi proses-proses politik. Alhasil, praktik politik yang terjadi lebih berorientasi kekuasaan, korup, dan transaksional.


Dengan kata lain, orientasi politik hari ini tidak sesuai dengan prinsip kepemimpinan publik yang ditekankan Gus Dur yakni tasharruful imam ala ra’iyyah manuthun bilmaslahah. Artinya, kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat.


Sementara itu, praktik bernegara di Indonesia saat ini masih melanggengkan diskriminasi yang terlembagakan melalui regulasi terutama terhadap kelompok minoritas. Menguatnya eksklusivisme beragama di ranah masyarakat dan aparatur negara, terutama di dunia pendidikan, menyebabkan maraknya praktik intoleransi dan konflik sosial berbasis sentimen keagamaan.


Di tengah literasi demokrasi dan pemikiran kritis yang masih lemah, Jaringan Gusdurian menilai perkembangan teknologi digital saat ini semakin memperparah polarisasi yang sudah berlangsung di masyarakat sebagai dampak sektarianisme dan politisasi agama.


Bahkan, ketimpangan digital ini ditengarai dimanfaatkan para aktor negara untuk mengkooptasi warga, memaksakan kebijakannya, dan mengkriminalisasi kelompok yang berbeda.


Di samping itu, Jaringan Gusdurian juga berpendapat bahwa demokrasi yang dikuasai segelintir orang mengakibatkan penegakan hukum dan HAM yang berlangsung di Indonesia, seolah tumpul di hadapan kelompok oligarki lalu runcing bagi kelompok rakyat lemah.


Politik Hukum yang terjadi akhir-akhir ini, sebagaimana penyusunan UU Minerba dan UU Cipta Kerja, mencerminkan pembuat kebijakan yang lebih pro-investasi dan pemilik modal serta mengabaikan hak-hak rakyat. 


Setelah ditetapkannya UU KPK, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja, potensi kerusakan lingkungan di Indonesia semakin besar. Peraturan-peraturan tersebut akan semakin memperluas skala geografis kerusakan sosial ekologis di Indonesia.


Bahkan dikhawatirkan, semua UU tersebut menjadi alat legal bagi kepentingan pemilik modal. Terutama di sektor ekstraktif seperti pertambangan, kehutanan, dan perkebunan sawit untuk melanggengkan penguasaan mereka atas sumber-sumber agraria di Indonesia.


Dalam ranah HAM, masih terjadi berbagai pelanggaran seperti diskriminasi dan rasisme yang disertai aksi kekerasan antarkelompok masyarakat maupun oleh aparat keamanan. Diskriminasi dan rasisme tersebut terjadi dalam beberapa kasus.


Di antaranya adalah pelanggaran hak kebebasan beragama/berkeyakinan, perampasan tanah untuk pembangunan infrastruktur, serta masih lemahnya perlindungan hak bagi kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan buruh migran.


Sementara itu, di dalam ranah sosial keagamaan, tumbuh eksklusivisme beragama yang disertai tindakan menyalahkan, mengafirkan, membid’ahkan, dan menyesatkan kelompok yang berbeda.


Keberagamaan mengedepankan pandangan yang legalis-formalistik justru memperkuat konflik identitas, sedangkan agama dipertentangkan dengan budaya lokal. Hal ini diperparah dengan hadirnya kelompok-kelompok agama yang memaksakan kehendaknya.


Kelompok-kelompok agama yang memaksakan kehendaknya itu semakin berani menarasikan agama dengan pesan kebencian, mengambil media sosial sebagai medan pertarungan, dan marak gerakan-gerakan jalanan.  


Isu lainnya adalah soal pendidikan nasional. Sebuah bidang yang sangat strategis dalam mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan konstitusi negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan nasional hingga kini, Jaringan Gusdurian menyoroti bahwa masih terdapat kebijakan dan praktik lembaga pendidikan yang tidak relevan dengan upaya pemerdekaan dan ikhtiar memanusiakan manusia untuk memerdekakan martabat kemanusiaan Indonesia.


Dalam situasi pandemi Covid-19, situasi ekonomi nasional menghadapi tantangan naiknya jumlah pengangguran hingga 2,67 juta saat ini. Berbagai jenis usaha mengalami penurunan yang sangat drastis.


Dari sisi pelaku usaha, sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah), mayoritas usaha di Indonesia mengalami pukulan berat. Sementara itu bangsa Indonesia juga masih harus menghadapi kondisi kemiskinan, ketimpangan, kesehatan, dan kualitas lingkungan hidup.


Lalu, Gusdurian menilai bahwa pada ranah sistem mikro tantangan hadir. Hal tersebut dalam upaya perwujudkan ketangguhan keluarga yang merupakan fondasi dasar sebuah bangsa. Bahkan peradaban manusia. 


Beberapa problem seperti tingginya angka perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, terutama kekerasan terhadap perempuan dan anak, pernikahan dini, kemiskinan, berkembangnya ultra konservatisme, dan dampak penggunaan media sosial, perlu segera direspons oleh semua elemen masyarakat.


Menurut pandangan Jaringan Gusdurian, setiap anggota keluarga memiliki fungsi dan peran yang harus dioptimalkan dalam pembentukan keluarga tangguh dengan tetap menggunakan prinsip kesetaraan, keadilan dan kemanusiaan.


Di akhir penyampaian rekomendasi, Jaringan Gusdurian mengutip pesan Gus Dur bahwa perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi. Oleh karena itu, Jaringan Gusdurian mengajak segenap komponen bangsa. 


Hal tersebut bertujuan agar senantiasa mampu berjuang bersama-sama demi tegaknya keadilan untuk Indonesia sejahtera, damai, dan beradab.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad