Nasional

Tip Memilah Berita Benar dan Hoaks

Kamis, 28 Maret 2019 | 02:35 WIB

Jakarta, NU Online

Derasnya arus informasi dalam platform digital saat ini membuat semua orang bisa memproduksi informasi secara independen. Dalam era demikian maju, siapapun dapat membuat informasi dan mengunggahnya di platform digital tanpa banyak hambatan. Sayangnya, informasi yang disebarkan dengan demikian masif tidak semuanya memiliki kualitas yang baik. Sebagian di antaranya memiliki konten negatif seperti tanpa sumber informasi yang jelas dan seterusnya.

Apalagi seperti saat ini saat menjelang Pemilu 2019, fenomena hoaks menjadi tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia. Terbukti selama proses demokrasi Pemilu 2019, hoaks beredar secara liar. Hal itu diperparah dengan rendahnya literasi digital dan budaya menyaring informasi sebelum membagikan di sosia media atau lebih dikenal dengan 'saring sebelum sharing'. Kondisi ini dimanfaatkan pembuat hoaks dengan membuat bentuk yang menarik seperti meme, video pendek, dan lain-lain.

Pada akhirnya informasi demikian menimbulkan ekses yang berbahaya semacam kerenggangan sosial. “Hoaks dan ujaran kebencian hanya akan menimbulkan kemarahan dan pasti akan berdampak negatif dalam proses demokrasi kita. Di titik ini secara tidak langsung kita telah menanam benih-benih kebencian antara sesama kita dan itu sangat tidak baik bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia,” kata Pengamat Timur Tengah dari Damar Institute Suaib Tahir, Rabu (26/3).

Suaib menjelaskan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk membedakan berita benar atau hoaks. Pertama sebuah berita harus diperhatikan tanggal dan tempatnya. Produsen hoaks sering kali memanipulasi gambar dan berita sebagai bahan propaganda. Misalnya sebuah kejadian yang sudah lama tapi kembali diunggah dengan tanggal postingan yang baru. Padahal gambar tersebut sudah lama dan bahkan kejadiannya sama sekali tidak ada kaitannya dengan apa yang dimaksud postingan tersebut.

Kedua produsen hoaks sering kali memanipulasi tempat kejadian atau gambar yang dimanipulasi untuk kebutuhan tertentu, termasuk tujuan politis.

Terkait proses demokrasi dalam Pemilu 2019 ini, doktor jebolan Universitas Khartoum Sudan ini menilai, masyarakat sejatinya menjadi bagian dari proses demokrasi yang bersih, jujur, dan adil, tanpa ada intimidasi-intimidasi yang dapat menekan seseorang atau satu komunitas untuk memilih paslon yang diinginkan. Karena itu kebebasan memilih sesuai hati nuraninya harus dihormati tanpa harus menggunakan cara-cara kotor seperti hoaks dan lain-lain.

Padahal, lanjut Suaib, Pemilu sejatinya harus dipahami sebagai sebagai ajang untuk memperjuangkan para calon tanpa harus mencederai pendukung lain. Harus juga dipahami bahwa Pemilu hanya sekali dalam lima tahun, sementara hubungan persaudaraan harus selalu di jaga kapan pun dan dimana pun karena hubungan persaudaraan tanpa mengenal batas waktu sehingga harus dirawat dalam kondisi apapun.

Menurut Suaib, akan menjadi sebuah kekeliruan jika hanya karena pilihan yang berbeda hubungan persaudaraan atau pertemanan sebagai bangsa Indonesia bisa rusak. “Satu hal yang harus diingat bahwa persaudaraan dan persatuan merupakan unsur yang paling penting dalam menjaga negara ini. Tanpa itu kita akan mudah dipecah belah oleh mereka yang ingin merusak Indonesia,” tukas pria berdarah Bugis tersebut.

Dari fenomena ini, Suaib mengajak generasi milenial di Indonesia untuk mengambil pelajaran dari Timur Tengah itu, terutama pemakaian hoaks untuk memecah belah bangsa dengan memperkuat pemahaman 4 Pilar Kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.

“Saya rasa bangsa Indonesia sudah cukup dewasa dalam menjalani proses demokrasi sejak era reformasi 1998 lalu. Dengan Empat Pilar Kebangsaan itu, berbagai macam gangguan berupa hoaks, ujaran kebencian, politik adu domba, akan bisa kita atasi bersama,” pungkas Suaib Tahir. (Ahmad Rozali)