Obituari

Kiai Abdurrahman Bajuri, Perawi Perjuangan NU sebelum Indonesia Merdeka

Selasa, 26 Januari 2021 | 23:30 WIB

Kiai Abdurrahman Bajuri, Perawi Perjuangan NU sebelum Indonesia Merdeka

Sanad periwayatan Kiai Bajuri sangat bagus lantaran memiliki daya ingat yang luar biasa. Sebab tidak banyak orang yang tahu perihal apa yang diucapkan Mbah Hasyim, ketika itu. (Foto: H Abdul Mun'im DZ)

Jakarta, NU Online

KH Abdurrahman Bajuri dikabarkan wafat pada Selasa (26/1), pukul 4.30 WIB di kediamannya, di Dusun Carikan, Brunosari, Bruno, Purworejo, Jawa Tengah. Kiai Bajuri adalah murid langsung dari Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Ia selalu membersamai Pendiri Nahdlatul Ulama itu sejak sebelum Indonesia merdeka.


Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Mun’im DZ menyebut Kiai Bajuri sangat berperan dalam hal periwayatan sejarah perjuangan NU pada era pra-kemerdekaan. 


“Peran beliau sebagai perawi, dekat dengan Mbah Hasyim. Sebagai saksi sejarah. Karena selama ini jarang orang yang tahu persis tentang hal itu (perjuangan NU),” ungkap Kiai Mun’im, kepada NU Online melalui sambungan telepon, Selasa (26/1) siang. 


Di antara tahun 1935 hingga 1945, Kiai Bajuri selalu bersama-sama dengan Mbah Hasyim. Almarhum mengetahui banyak informasi mengenai keterlibatan NU dalam perumusan Pancasila. 


“Termasuk dalam pembentukan NKRI, beliau tahu banyak karena beliau itu santri di dalam. Beliau itu juga pengasuhnya Pak Yusuf Hasyim (Putra Mbah Hasyim), sehingga diskusi-diskusi Mbah Hasyim dengan Pak Wahid Hasyim soal NKRI, Pancasila, pengibaran bendera merah putih, disaksikan langsung mata kepala beliau karena selalu ada di samping Mbah Hasyim,” terang Kiai Mun’im.


Dijelaskan, Kiai Bajuri meriwayatkan bahwa pada 1936 pasca-Muktamar NU di Banjarmasin dengan mengakui eksistensi NKRI, pesantren-pesantren di seluruh Indonesia mengibarkan bendera merah putih. 


“Beliau salah seorang yang ditugasi dan terlibat dalam menggerakkan pesantren untuk mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan Indonesia Raya. Perlu diketahui, pada waktu itu adalah perbuatan yang subversif karena melawan pemerintah. Karena haram hukumnya mengibarkan bendera merah putih,” ungkap Kiai Mun’im.


“Beliau bagian dari itu. Ketika di tempat lain tidak berani mengibarkan bendera, pesantren NU sudah mengibarkan bendera tahun 1936 setelah Muktamar,” lanjutnya.


Lebih lanjut Kiai Mun’im mengatakan, sanad periwayatan Kiai Bajuri sangat bagus lantaran memiliki daya ingat yang luar biasa. Sebab tidak banyak orang yang tahu perihal apa yang diucapkan Mbah Hasyim, ketika itu.


“Informasi soal pengibaran bendera merah putih pada 1936 itu dari Mbah Bajuri. Ingatan beliau luar biasa bagus dalam menjadi saksi sejarah yang itu bisa merombak sejarah nasional. Selama ini tentang perumusan Pancasila, orang tidak terlalu detail. Tapi sumber dari beliau itu jauh lebih dalam,” terang Kiai Mun’im.


Bahkan sejak 1935, Kiai Bajuri menjadi inisiator untuk mengonsolidasikan dan mengumpulkan para ulama di seluruh Indonesia. Pertemuan itu dilakukan setiap bulan. Sekira 500 hingga 700 ulama sebelum kemerdekaan itu datang untuk merumuskan perjuangan perlawanan menghadapi Belanda. Namun pada pertemuan itu ternyata bukan hanya hadir ulama dari kalangan pesantren saja, tetapi juga para aktivis dari organisasi dan elemen yang lain yang turut hadir. 


“Keterlibatan Kiai Bajuri yang lain adalah dalam merumuskan Pancasila, sehingga bertemu Soekarno. Kiai Wahid yang diutus Mbah Hasyim membantu Soekarno dalam BPUPKI merumuskan Pancasila dan UUD 1945 itu, secara detail dijelaskan oleh Kiai Bajuri,” terang Kiai Mun’im.


Kiai Bajuri juga menjadi saksi sejarah dalam perumusan Pancasila, Piagam Jakarta, dan bentuk negara pada Mei-Juni 1945. Lebih-lebih, ia terus membersamai Mbah Hasyim menghadapi masa-masa genting, menjelang Oktober (Resolusi Jihad) hingga November (Perang 10 November). 


Sepeninggal almarhum, Kiai Mun’im yakin masih tetap akan ada perawi atau periwayat yang lain. Sebab santri Mbah Hasyim pun sudah banyak meriwayatkan sejarah ke anak-cucunya sehingga bakal muncul generasi baru yang mengetahui sejarah perjuangan NU.


“Kita bisa tahu sejarah itu gara-gara periwayatan yang sangat baik dilakukan oleh Kiai Bajuri. Jadi sepeninggal beliau, bukan berarti sumbernya terputus. Sebab murid beliau-beliau (Mbah Hasyim dan Kiai Bajuri) juga masih banyak di seluruh Nusantara ini. Di berbagai daerah itu pasti ada,” tutur Kiai Mun’im.


“Belum ada sebulan saya diundang beliau, kemudian ngobrol lama. Memberikan kesaksian. Memperinci yang pernah diomongkan sebelumnya. Panjang saya ngobrol dengan beliau. Ingatan Mbah Bajuri bagus,” sambungnya.


Kiai Mun’im mengaku sering bertemu dengan santri-santri Mbah Hasyim. Namun tidak ada yang sebagus ingatan Kiai Bajuri dalam meriwayatkan sejarah. “Matan pikirannya rapi, bisa dirasionalkan, mudah dicerna,” pungkasnya.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Alhafiz Kurniawan