Opini

Bayang-Bayang Ulama Su’

Jumat, 5 Mei 2017 | 07:32 WIB

Oleh : Ahmad Yahya
Warisan merupakan barang berharga yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia kepada orang-orang yang masih hidup. Saking berharganya sampai sering terjadi pertumpahan darah di antara ahli waris memperebutkan warisan tersebut. Namun ada warisan yang demikian berharga tetapi jarang manusia memperebutkannya.

Warisan tersebut adalah ilmu agama, yang merupakan peninggalan para nabi kepada umatnya. Hanya sedikit orang yang mau mengambil warisan tersebut, lebih-lebih lagi di masa sekarang kini. Merekalah para ulama, orang-orang yang memiliki sifat “tamak” dalam mendapatkan warisan nabi. Tidakkah kita ingin meniru mereka?

Rasulullah saw bersabda ulama adalah pewaris para nabi. Di samping sebagai perantara antara diri-Nya dengan hamba-hamban-Nya, dengan rahmat dan pertolongan-Nya, Allah Swt juga menjadikan para ulama sebagai pewaris perbendaharaan ilmu agama, ilmu syari’at terus terpelihara kemurniannya sebagaimana awalnya. 

Ibnu Rajab al-Hambali mengatakan bahwa asy-Sya’bi berkata “Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ilmu menjadi satu bentuk kejahilan dan kejahilan itu merupakan suatu ilmu. Ini semua termasuk dari terbaliknya gambaran kebenaran (kenyataan) di akhir zaman dan terbaliknya semua urusan.”

Di dalam Shahih al-Hakim diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr secara marfu’ (riwayatnya sampai kepada Rasulullah saw “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah direndahkannya para ulama dan diangkatnya orang jahat.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hlm. 60)

Ketika mendengar kabar ada ulama yang wafat, kadang secara pribad hati ini selalu bertanya, siapa yang akan menggantikannya? Apakah penggantinya se-alim dan sebanding dengan keilmuan ulama yang wafat tersebut. Hati dan lisan ini hanya bisa berdo’a, semoga akan muncul ulama-ulama yang lebih alim dan ikhlas dalam membimbing umat ke arah kehidupan beragama yang lebih baik dan lebih baik lagi. 

Meninggalnya seorang yang alim akan menimbulkan bahaya bagi umat. Keadaan ini menunjukkan keberadaan ulama di tengah kaum muslimin akan mendatangkan rahmat dan barakah dari Allah Swt. Kenyataan ini tidak bisa dipungkiri, bahwa ulama semakin langka, dan semakin banyaknya orang bodoh yang berambisi untuk menjadi ulama. Keadaan ini merupakan peluang besar bagi pelaku kesesatan untuk menjerumuskan umat ke dalam kebinasaan. 

Jauh dari itu Rasulullah saw telah mengisyaratkan dalam sabdanya yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr Ibnul ‘Ash, katanya, Rasulullah saw bersabda “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673).

Di dalam sejarah banyak tercatat kisah tentang kehidupan para ulama. Namun di antara para ulama itu terdapat oknum-oknum yang menyesatkan umat. Dengan fatwa-fatwanya mereka menjerumuskan umat pada kebatilan. Mereka menguasai dalil namun dimanipulasi agar sesuai dengan hawa nafsu mereka. 

Rasulullah Saw. telah mengingatkan umat akan bahaya mereka. Beliau  bersabda "Sesungguhnya yang aku khawatirkan terhadap umatku tiada lain adalah para pemimpin yang menyesatkan." (HR. Ad-Darimi dalam Shahihnya dari hadits Tsauban, Imam Abu Dawud al-Thayalisi dari hadits Abu Darda').

Ketika mendengar ulama su’, kadang merasa miris dan prihatin, apakah hari ini; saya, kita, agama kita dipimpin oleh mereka, (semoga tidak) atau hanya bayang-bayang semata yang menakuti kita dalam menjalankan ajaran agama. Tetapi apapun itu wujudnya, ada atau tidak, kita perlu mewaspadai ulama-ulama di sekitar kita, apakah mereka sungguh tulus membimbing kita, atau memang benar adanya mengancam secara sungguh-sungguh untuk  membimbing kita ke jalan kesesatan dalam beragama, atau kita hanya dijadikan alat akal-akalan untuk memuluskan hajat buruk mereka, apapun itu wujudnya. Naudzubillah.   

Kata ‘ulamâ’ (bentuk plural dari ‘âlim), secara bahasa artinya orang yang berpengetahuan, ahli ilmu. Kata ’ adalah masdar dari sâ’a–yasû’u–saw’an ; artinya jelek, buruk atau jahat. Dengan demikian, al-‘ulamâ’ as-sû’ secara bahasa artinya orang berpengetahuan atau ahli ilmu yang buruk dan jahat. Rasul saw. bersabda "Ingatlah, sejelek-jelek keburukan adalah keburukan ulama dan sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama." (HR ad-Darimi). 

Peran ulama menentukan kebaikan dan keburukan masyarakat. Ad-Darimi menuturkan, ketika Said bin Jubair ditanya tentang tanda-tanda kebinasaan masyarakat, ia menjawab, “Jika ulama mereka telah rusak.“ 

Abu Muslim al-Khaulani mengatakan, bahwa ulama itu tiga macam. Pertama, seseorang yang hidup dalam ilmunya dan orang lain hidup bersamanya dalam ilmunya itu. Kedua seseorang yang hidup dalam ilmunya, tetapi tidak seorang pun hidup bersamanya dalam ilmunya itu. Ketiga seseorang yang orang lain hidup bersamanya dalam ilmunya, tetapi hal itu menjadi bencana baginya. 

Ibn Abi Hatim menuturkan dari jalan Sufyan ats-Tsauri, dari Abu Hayan at-Taymi, bahwa ulama itu juga ada tiga golongan. Pertama, orang yang takut kepada Allah Swt dan mengetahui hukum-hukum-Nya. Itulah orang alim yang sempurna. Kedua orang yang takut kepada Allah tetapi tidak mengetahui hukum-hukum-Nya. Ketiga  orang yang mengetahui hukum-hukum Allah, tetapi tidak takut kepada-Nya; dialah orang alim yang jahat (al-’âlim al-fâjir)

Pada ulama ’ atau fâjir, ilmu yang dimiliki tidak dijadikan penuntun. Ia tidak beramal sesuai dengan ilmu yang ia ketahui.  Asy-Syathibi mengatakan, “Ulama ’ adalah ulama yang tidak beramal sesuai dengan apa yang ia ketahui.” Ibn Taimiyah, setelah mengutip QS al-A‘raf ayat 146, berkata, “Inilah kondisi orang yang tidak beramal sesuai dengan ilmunya, tetapi mengikuti hawa nafsunya. Itulah kesesatan, sebagaimana firman Allah dalam QS : al-A‘raf ayat 175-176; ini seperti ulama sû’. ”Di antara ulama sû’ itu adalah ulama salathîn, yaitu ulama yang menjadi stempel penguasa. Anas bin Malik ra. menuturkan “Kebinasaan bagi umatku (datang) dari ulama ’; mereka menjadikan ilmu sebagai barang dagangan yang mereka jual kepada para penguasa masa mereka untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Allah tidak akan memberikan keuntungan dalam perniagaan mereka itu.” (HR al-Hakim).

Menurut adz-Dzhabi, ulama ’ adalah ulama yang mempercantik kezaliman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa; ulama yang memutarbalikan kebatilan menjadi kebenaran untuk penguasa; atau ulama yang diam saja (di hadapan penguasa) padahal ia mampu menjelaskan kebenaran. 

Hal itu karena, jika ulama bergaul dengan penguasa dan sering mendatanginya, yang diharapkan adalah dunia. Tentu yang dimaksud bukan ulama  yang datang untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar dan mengoreksi penguasa. Rusaknya ulama di antaranya karena sifat tamak terhadap dunia. Ad-Darimi menuturkan, Umar bertanya kepada Kaab, “Apa yang mengeluarkan ilmu dari hati ulama?” Kaab menjawab, “Ketamakan.” Keluarnya ilmu dari hati maksudnya bukan dilupakan, tetapi ilmu itu ditinggalkan, pengaruhnya hilang dan tidak lagi dijadikan tuntunan. Hal itu sama saja dengan menukar ilmu atau agama dengan dunia. Inilah satu di antara karakter ulama sû’. Ulama demikian lebih layak di neraka.  

Maksudnya adalah ulama yang menjadikan ilmunya sebagai alat untuk memperoleh kekayaan. As-Sayrazi mengatakan, “Setan mendandani keburukan di hadapan ulama hingga berhasil menjerumuskan mereka dalam kemurkaan Allah. Mereka lalu memakan dunia dengan memanfaatkan agama, memperalat ilmu untuk mendapatkan kekayaan dari para penguasa, serta memakan harta wakaf, anak yatim dan orang miskin. Setan telah berhasil memalingkan perhatian ulama itu untuk mencari gengsi dan kedudukan di hati makhluk. Itulah yang menyeret mereka ke dalam perdebatan, persaingan dan kebanggaan.” 

Muadz bin Jabal membagi ulama ’ di dalam tujuh tingkatan neraka. Tingkat pertama, ulama yang jika mengingatkan manusia, ia bersikap kasar; jika diingatkan manusia, ia menolak dengan tinggi hati. Tingkat kedua, ulama yang menjadikan ilmunya alat untuk mendapatkan pemberian penguasa. Tingkat ketiga, ulama yang menahan ilmunya (tidak menyampaikannya). Tingkat keempat, ulama yang memilih-milih pembicaraan dan ilmu guna menarik wajah orang-orang dan ia tidak memandang orang-orang yang memiliki kedudukan rendah. Tingkat kelima, ulama yang mempelajari berbagai perkataan dan pembicaraan orang Nasrani dan Yahudi guna memperbanyak pembicaraannya. Tingkat keenam, ulama yang mengangkat dirinya sendiri seorang mufti dan ia berkata kepada orang-orang, “Bertanyalah kepadaku.”Orang itu ditulis di sisi Allah sebagai orang yang berpura-pura atau memaksakan diri dan Allah tidak menyukai orang demikian. Tingkat ketujuh, ulama yang menjadikan ilmunya sebagai kebanggaan dan kepuasan intelektual saja. 

Karena semua itu, al-Ghazali mengingatkan, “Hati-hatilah terhadap tipudaya ulama ’. Sungguh, keburukan mereka bagi agama lebih buruk dari pada setan. Sebab, melalui merekalah setan mampu menanggalkan agama dari hati kaum Mukmin. Atas dasar itu, ketika Rasul Saw ditanya tentang sejahat-jahat makhluk, Beliau menjawab, “Ya Allah berilah ampunan.” Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali, lalu bersabda, “Mereka adalah ulama ’.”

Dulu, di saat ilmu agama menguasai peradaban manusia dan ulama terbaik umat memandu perjalanan hidup mereka, para pelaku kesesatan dan kebatilan seolah-olah tersembunyi di balik batu yang berada di puncak gunung dalam suasana malam yang gelap gulita. Namun ketika para penjahat agama tersebut melihat peluang, mereka pun dengan sigap memanfaatkan peluang tersebut, turun dari tempat “pertapaan” mereka dan menampilkan diri seakan-akan mereka adalah para “penasihat yang terpercaya.”

Sekarang adalah waktu yang tepat bagi mereka untuk mengobrak-abrik kekuatan dan keyakinan kaum muslimin. Mereka menggelar permainan cantik, saling mengoper kesesatan mereka. Kaum muslimin yang mayoritas kini berada dalam keterlenaan, menjadi mangsa yang empuk buat mereka. Satu demi satu sampai akhirnya menjadi banyak, gugur dalam amukan kesesatan tersebut. Para guru dengan merasa aman menggandeng tangan murid-muridnya menuju kegagalan hidup. Sementara orang tua dengan bangga melihat anaknya berjalan di tepi jurang menuju kehancuran dan kebinasaan.

Di masa-masa sekarang ini, gambaran kebenaran menjadi kejahatan yang harus dilabrak dan dihanguskan, sunnah Rasulullah Saw menjadi bid’ah yang harus dikubur dan dimumikan. Tauhid menjadi lambang kesyirikan yang harus ditumbangkan dengan segala cara. Situasi dan kondisi kini telah berubah. Para pengikut kebenaran menjadi asing di tengah-tengah kaum muslimin. Kebatilan menjadi Al-Haq dan Al-Haq menjadi batil, berikut terasingnya orang yang bertauhid dan mengikuti sunnah. Di sinilah letak ‘kehebatan’ para penyesat dalam mengubah kebenaran hakekat agama, sehingga kaum muslimin menjalankan agama ini bagaikan robot yang berjalan membawa anggota badannya.

Mengembalikan Ruh Ulama

Allah Swt mengangkat ulama dengan ilmu, menghiasi ulama dengan sikap kelemahlembutan. Dengan keberadaan ulama, diketahui yang halal dan haram, yang hak dan yang batil, yang mendatangkan mudarat dari yang mendatangkan manfaat, yang baik dan yang buruk. Keutamaan ulama sangat besar dan mulia. Mereka adalah pewaris para nabi dan pemimpin para wali. Semua ikan yang ada di lautan memintakan ampun buat mereka, malaikat dengan sayap-sayapnya menaungi mereka dan tunduk. Para ulama pada hari kiamat akan memberikan syafa’at setelah para Nabi, majelis-majelis mereka penuh dengan ilmu dan dengan amal-amal mereka menegur orang-orang yang lalai.

Kita wajib memuliakan ulama muslimin karena mereka adalah pewaris para nabi, maka meremehkan mereka termasuk meremehkan kedudukan dan warisan yang mereka ambil dari Rasulullah Saw serta meremehkan ilmu yang mereka bawa. Barang siapa terjatuh dalam perbuatan ini tentu mereka akan lebih meremehkan kaum muslimin.

Ulama adalah orang yang wajib kita hormati karena kedudukan mereka di tengah-tengah umat dan tugas yang mereka emban untuk kemaslahatan Islam dan muslimin. Kalau mereka tidak memercayai ulama, lalu kepada siapa mereka percaya? Kalau kepercayaan telah menghilang dari ulama, lalu kepada siapa kaum muslimin mengembalikan semua problem hidup mereka dan untuk menjelaskan hukum-hukum syariat? Pada saat itulah akan terjadi kebimbangan dan terjadinya huru-hara.” Wallahu A’lam.

Penulis adalah Ketua IMAN Institute, Tinggal di Kota Semarang-Jawa Tengah.