Musthafa Helmy
Kolomnis
Melihat NU harus melihat pendirinya; Kiai Wahab Hasbullah. Lincah, gesit dan punya banyak gagasan besar. Sejak ia menikah dengan puteri Kiai Musa dari Kertopaten, Surabaya, ia menjadi begitu gandrung dengan kemajuan. Pergaulannya dengan Dokter Soetomo, HOS Tjokrtoaminoto membuat Kiai Wahab tokoh penting di Surabaya, juga Indonesia.
Jangan coba-coba debat dengan kiai asal Jombang ini. Ia paling mahir menaklukkan orang. Ia juga dermawan. Ia tak pernah menghitung duit untuk perjuangan. Maka, ketika NU lahir tahun 1926, impian pertamanya adalah membuat media yang ia biayai.
Ia kemudian ajak bicara teman selama nyantri di Kiai Cholil Bangkalan dan Makkah: Dahlan Ahyad, Mas Alwi Abdul Aziz, Ridwan Abdullah dan Bisri Sansuri (adik iparnya).
Baca Juga
Swara Nahdlatoel Oelama, Pelopor Pers NU
Dahlan Ahyad yang tukang wirid ia âpaksaâ untuk menulis dan ngurusi media. Kiai Bisri yang mengajar tafsir dan fikih ia paksa menulis jawaban pertanyaan pembaca. Kiai Ridwan yang pandai melukis dipaksanya untuk membuat disain majalah. Kiai Mas Alwi yang kutu buku diminta mengalihkan perhatian dengan menulis.
Media itu adalah sebuah majalah yang diberi nama Swara Nahdlatoel Oelama (SNO). Majalah dengan aksara Arab Melayu (pegon) dan bahasa Jawa Kromo Inggil. Ia kemudian membeli mesin cetak sendiri.
Delapan bulan sejak NU lahir terbitlah majalah itu. Dielus dan disimpan rapi seperti permohonan penerbitnya. Di majalah ini banyak memuat ayat-ayat dan hadis Nabi. Jangan buang dan menyimpan sembarangan. Ada peringatan tersendiri untuk menghargai majalah bak sebuah jimat ini.
Orang-orang bersarung itu membuktikan bisa juga membuat majalah, meniru Al-Imam yang terbit di Singapura akhir abad 19. SNO menjadi referensi dan adu pikiran para ulama kita. Kiai Pasuruan, Surabaya, Gresik, Jember, Jombang, Kudus, Rembang dan Pati berembug adu kajian masalah. Pembaca senang disuguhi pembuka pikiran melalui jendela agama.Â
Tahun 1931 majalah Swara Nahdlatoel Oelama berubah menjadi Berita Nahdlatoel Oelama (BNO) dengan bahasa Melayu dan tulisan Latin. Makin moncer dan meluas pembacanya. BNO dikelola semiprofesional dengan hadirnya dua pemuda: Mahfudz Siddiq dan Abdullah Ubaid. Mahfudz di bidang redaksi dan Abdullah Ubaid di bidang usaha.
Â
Seperempat abad berikutnya, kiai lincah dan tak enak diam ini mulai gelisah lagi. Pasalnya, Muktamar NU di Palembang memutuskan keluar dari Masyumi dan menjadi partai sendiri menghadapi pemilu 1955.
Kiai Wahab ingin bikin koran sebagai organ resmi partai NU. Pada saat orang melek huruf bisa dihitung jari, Kiai Wahab muter-muter cari wartawan. Susah. Meskipun organisasi pers telah berdiri 9 Februari 1946, tapi mencari wartawan bak mencari jarum di tumpukan jerami di gudang gelap tanpa lampu.
Tapi, kiai satu ini tak pernah mengenal menyerah dan mundur. Ia datangi semua penjuru Jakarta. Â Adakah wartawan yang suka keluyuran, tapi tak punya rumah. Melalui Abdurrahman Shihab, sahabatnya, muncul laki-laki kurus dengan kumis tipis bak Clark Gable dalam film Gone with the Wind.
Ia mantan pemimpin redaksi harian Pemandangan. Peliglot, mengerti lima bahasa asing, santri tulen dan suka tahlilan. Cocok buat Kiai Wahab yang jumpa ngomong Arab. Anak Tanah Abang itu dipanggil Wan Asa, Abdullah Syekh Bafaqih atau populer dengan nama Asa Bafaqih.
Maka, terbitlah kemudian harian Duta Masjarakat. Mengagetkan Harian Abadi, koran Masyumi yang dipimpin Suardi Tasrif. Membuat bergidik Harian Rakjat milik PKI. Kayak lebah. Ketika raja lebah sudah ditangkar, maka lebah-lebah lain berdatangan. Itulah yang membuat para santri berubung pingin menjadi lebah. Ada Saifuddin Zuhri. Hamid Wijaya. Imron Rosyadi. Lalu muncul anak muda seperti Chalid Mawardi, Mahbub Djunaidi, Chotibul Umam, Zen Badjeber, dan seterusnya.
Ternyata NU memiliki bejibun kader media. NU mampu bertarung dengan media lain. NU dijadikan tameng untuk menghadapi pers komunis. Ketika PKI gulung tikar dan korannya diberangus, petingginya dibui, muncullah tokoh-tokoh pers NU.
Mahbub Djunaidi (1933-1995) sampai dua kali memimpin PWI Pusat menggantikan tokoh Lekra Karim DP dari Harian Rakyat. Ketika terjadi konflik antara Rosihan Anwar dan BM Diah, organisasi ini kembali dipercayakan kepada Mahbub, anak Tanah Abang piawai memimpin dengan gaya kocak.
Peran politik NU mempengaruhi jagad medianya. Tak hanya Mahbub. Chalid Mawardi memimpin PWI Jakarta. Hadi Sujanto memimpin PWI Jawa Tengah. Sulaiman Fadeli memimpin PWI Jawa Timur.
Godaan politik dan jabatan mempengaruhi. Hampir semua pentolan media NU menjadi politisi. Anggota DPR, Duta Besar dan lain sebagainya. Chalid dan Asa menjadi anggota parlemen dan duta besar. Mahbub pernah menjadi anggota DPRGR. Duta Masjarakat telah empat kali lahir: 1952, 1974, 1998, dan 2001 (Surabaya).
Duta Masjarakat melahirkan kolumnis-kolumnis terkenal. Asa Bafaqih di akhir hayatnya masih rajin menulis amatan internasional di koran Merdeka dan lain sebagainya. Mahbub Djunaidi dengan tulisan khas kocaknya menulis riak sosial.
Mahbub terinspirasi Art Buchwalt (1925-2007) yang menulis jenaka dan tajam di The Washington Post. Mahbub menulis untuk Kompas dan Tempo.
Sementara Zen Badjeber rajin menulis kasus hukum. Saifuddin Zuhri masin rajin menulis renungan di harian Merdeka, Pelita, Kompas dan lain sebagainya.
Hingga Hari Pers Nasional 2025 ini, masih ada dua sosok pelopor media NU, yaitu Prof. KH. Chotibul Umam dan H. Danial Tanjung.
Musthafa Helmy, jurnalis senior, Pemred Majalah Risalah NU, penulis buku "Peran Media Santri, Kiprah KH Abdul Wahab Hasbullah"
Terpopuler
1
Pramoedya Ananta Toer, Ayahnya, dan NU Blora
2
Amalan Gus Baha saat Haji dan Khataman di Bulan Syaban
3
Gus Baha: Jangan Berkecil Hati Jadi Umat Islam Indonesia
4
Munas NU 2025: Hukum Kekerasan di Lembaga Pendidikan adalah Haram
5
Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang Kembali Gelar Festival Ilmiah Santri
6
Konbes NU 2025 Rumuskan Masa Jabatan Ketua Umum PBNU: Diusulkan Maksimal 2 Periode
Terkini
Lihat Semua