Opini

Gus Dur Manusia Pop Art

Jumat, 19 November 2021 | 17:45 WIB

Gus Dur Manusia Pop Art

Lukisan karya Bramantyo yang menampilkan sosok Gus Dur bersanding dengan Mahatma Gandhi (paling kiri), Bunda Theresia, Nelson Mandela, dan Martin Luther King (paling kanan).

Oleh Lukman Khakim


Gus Dur tampak duduk di tengah beberapa tokoh top kelas dunia. Antara lain, Mahatma Gandhi, Bunda Theresia, Nelson Mandela, dan Martin Luther King. Mereka duduk berjejer dalam satu meja yang sama. Semuanya tertawa. Tampaknya Gus Dur sedang melucu. Dan yang menarik, Gus Dur mengenakan pakaian doreng hijau. Tapi bukan TNI melainkan Banser.

 

Jelas, momentum itu tidak mungkin terjadi di dunia nyata. Apalagi, para winasis itu telah lama tiada. Fragmen itu cuma imajinasi seorang pelukis beraliran pop art asal Purworejo Jawa Tengah. Bramantyo. Seorang Muslim “abangan” yang kagum berat pada mendiang KH Abdurrahman Wahid.

 

Bram memang kurang ajar menggoda. Bukan hanya menyandingkan Gus Dur yang cucunya pendiri NU itu dengan orang-orang non-Muslim itu, tapi juga lukisannya itu adalah plesetan lukisan berjudul The Last Supper atau Perjamuan Terakhir, sebuah karya pelukis asal Italia di zaman renaisans yang tersohor, Leonardo Da Vinci. Lukisan tersebut menggambarkan makan malam terakhir yang dilakukan oleh Yesus dengan murid-muridnya pada malam sebelum ia disalib. Malam itu Yesus menjamu para muridnya dengan anggur dan roti. Cilakanya, gambar Yesus dari lukisan aslinya diganti dengan Gus Dur. Dan tokoh-tokoh dunia itu berada di posisi murid-murid Yesus.

 

Bayangkan, jika ahli waris pemilik wajah dalam frame tersebut tidak terima, lalu menuntut secara hukum. Keluarga Gus Dur misalnya. Atau santri-santri Gus Dur beserta pasukan berani matinya ngeluruk. Apakah itu tidak dihitung oleh sang pelukisnya?

 

Tentu sudah. Saat saya tanya, Bram punya argumen yang meyakinkan dirinya. Bahwa, Gus Dur tidak mewariskan nilai-nilai yang mengancam kreativitasnya itu. Seperti tertoreh dalam sembilan nilai utama Gus Dur. “Gus Dur itu Gus yang seniman. Jadi berpikirnya isi. Bukan bungkus. Hati dan pikirannya jembar (luas, red). Tidak mudah menghakimi orang. Jadi saya yakin jika beliau masih sugeng pun tidak akan tersinggung. Apalagi sampai ngamuk. Pasti tidak," ujar Bram berapi-api.

 

Masterpiece connection perjamuan terakhir itu adalah salah satu. Bram punya banyak karya lukisan tentang Gus Dur. Penangkapan Diponegoro yang dilukis oleh Raden Saleh tahun 1857. Lukisan itu sangat terkenal. Harga mencapai ratusan miliar rupiah kalau dijual. Oleh Bram, lukisan tersebut diplesetkan. Seluruh wajah orang dalam objek lukisan itu diganti wajah Gus Dur semua. Wajah Pangeran Diponegoro yang ditangkap, wajah kompeni Belanda yang menangkap, hingga para pasukan Diponegoro berubah menjadi wajah Gus Dur. Tentu dengan pose wajah yang tersenyum. Apa pun kostum dan posisinya.

 

Gus Dur itu bisa bermain dalam posisi dan situasi apa pun. Bahkan tidak selamanya ia moderat. Dalam sebuah situasi ia bersikap konservatif, tapi pada saat yang sama bisa saja ia progresif bahkan liberal hingga radikal. Dalam sejarah per(l)kawanannya dengan Pak Harto misalnya. Pesan itu yang ingin disampaikan Bram lewat lukisannya 'Penangkapan Pangeran Gus Dur'.

 

Lukisan-lukisan itu telah beberapa kali dipamerkan. Pertama oleh Gusdurian Purworejo pada tahun 2018 melalui pameran tunggal Bramantyo bertajuk Gitu Aja Kok Repot.

 

Tahun berikutnya kembali digelar pameran tunggal dengan tema pameran Borogusdur. Jika Borobudur adalah keajaiban dunia ketujuh, maka keajaiban dunia kedelapan itu adalah Gus Dur. "Atau bisa juga bagaimana kita menggali boro Gus Dur (bahasa Jawa, red) yang terjemahan bebasnya adalah pengembaraan Gus Dur. Baik itu pengembaraan intelektualnya, spiritualnya, laku sosialnya, kenegarawanannya, dan lain sebagainya. Karya lukisan yang dipamerkan itu merupakan kristalisasi ide kami dalam memandang kondisi Indonesia saat ini dengan mengambil nilai-nilai yang diwariskan oleh Gus Dur," kata Bram. Pada tahun yang sama ia juga berpartisipasi dalam pameran lukisan dalam rangka Haul Gus Dur yang digelar Gusdurian Jogja di Kampus Sanata Dharma.

 

***

Gus Dur memang sudah lama tiada. Namun tinggalannya telah menginspirasi banyak orang untuk terus berkarya. Memantik imajinasi para santri dari berbagai kalangan dan latar belakang.

 

Bramantyo salah satunya. Di kalangan pegiat Gusdurian, ia adalah santri baru Gus Dur. Santri abangan. Beruntung, ia lahir di kota pinggiran, berdampingan dengan penduduk yang heterogen dan datang silih berganti. Tentu saja pendatang itu tidak melulu orang Islam. Kadang sudah beda agama, beda pula suku dan logat bahasanya. Sehingga, ketika berinteraksi dengan nilai-nilai warisan Gus Dur, hal-hal tersebut sudah lazim ia praktikkan bersama warga di lingkungannya dalam kehidupan sehari-hari.

 

Misalnya, dalam peringatan tujuh harian atau 40 harian orang meninggal, tetangganya yang non-Muslim berdarah Tionghoa sudah biasa datang sebagai bentuk penghormatan. Relasi budaya-agama sebagaimana yang terjadi di lingkungan Bramantyo ini menarik. Secara kultural, lingkungan sosial budaya dan keagamaan di lingkungan kita sudah berada pada titik tengah itu. Sehingga potensi ketegangan akibat benturan agama dengan sosial budaya dapat diminimalisasi. Situasi ini sudah terkondisi di banyak tempat sebelum akhirnya “negara api” menyerang dan bikin ontran-ontran.

 

Memang kemudian tantangan kita adalah menjaga agar titik yang telah diletakkan di tengah oleh para pendahulu ini terus konsisten berada dalam posisinya. Gus Dur banyak sekali mewariskan literasi soal bagaimana kita menjaga titik tengah itu. Termasuk strateginya. Titik tengah ini adalah sebagian kecil dari jejak perjuangan Gus Dur yang kini menjadi tugas kita bersama menjaganya. Merawatnya. Mengembangkannya.

 

Karena kita tahu, operasi cipta kondisi yang diperjuangkan Gus Dur hingga menjadi sebuah pelajaran bagi generasi penerus adalah sebuah proses yang tidak mudah. Proses itu butuh daya dobrak yang kuat sebagaimana dilakukan seniman-seniman Inggris di era tahun 1950-an. Mereka menggelorakan perlawanan melalui gerakan pop art. Caranya adalah dengan menggedor batasan-batasan yang dibuat oleh dominasi aliran seni yang terus berupaya memperkuat legitimasi kekuasaannya. Dan selalu mengesampingkan kelompok yang lain. Sebagaimana para seniman aktivis pop art, Gus Dur akhirnya berhasil membuka mata banyak orang. Tentang kebenaran dan keberanian menegakkannya.

 

Lukman Khakim, wartawan; tinggal di Purworejo, Jawa Tengah


Artikel ini adalah hasil kerja sama NU Online dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama