Oleh MS. Wibowo
Dalam menjalani hidup, manusia perlu memenuhi bermacam kebutuhan, saling berbagi juga berebut ruang dengan orang dan makhluk lain di muka bumi. Layaknya hewan serta tumbuhan, untuk itu manusia perlu melakukan adaptasi. Namun adaptasi yang dilakukan manusia berlangsung secara lebih kompleks, variatif, dan kreatif.
Manusia tidak melulu mengandalkan fisik dalam upaya menjaga dan mempertahankan diri. Sebab, kebutuhan dan dimensi hayat manusia tidak sebatas makan, minum, dan hidup berdampingan belaka. Misalnya dalam Islam, setidaknya ada lima hal utama yang harus dijaga dan dipelihara. Yaitu hifdhuddin, hifdhu nafs, hifdhul ‘aql, hifdhul maal, dan hifdhu nasl. Menjaga agama, menjaga diri, memelihara akal, harta, dan keturunan.
Seorang Muslim harus memiliki keluasan pikir dan keluwesan tindak untuk mewujudkan itu semua. Tidak cukup dengan satu strategi atau cara tunggal, namun harus juga menyesuaikan dengan kondisi, situasi, dan lingkungan yang ada. Supaya agama, diri sendiri, akal, harta atau ekonomi serta keturunan bisa langgeng terjaga.
Ada sebuah ungkapan lama dari teori evolusi bahwa yang kuat yang akan bertahan. Tapi penelitian terbaru menyatakan tidak demikian. Makhluk yang paling mungkin bertahan adalah yang bisa beradaptasi. Pada masanya, sosok terkuat sekali pun akan melemah. Kelompok atau komunitas yang solid juga akan lembek atau ambyar.
Tuhan membekali setiap ciptaan-Nya berupa kemampuan untuk beradaptasi. Para ilmuwan pun mendata adaptasi sebagai salah satu ciri utama makhluk hidup. Mereka membaginya dalam beberapa jenis, di antaranya adaptasi morfologi, fisiologi, tingkah laku dan sebagainya. Semua jenis ini difungsikan sesuai medan, kondisi dan keadaan tempat hidup setiap makhluk.
Dalam upayanya beradaptasi dengan kehidupan, manusia mengembangkan suatu sikap yang disebut toleransi. Ini merupakan salah satu bentuk dari cara dan strategi manusia bernegosiasi dengan medan, kondisi dan keadaan di mana pun berada. Ini juga menjadi pembeda yang sangat jelas antara cara adaptasi manusia dengan makhluk hidup lainnya.
Pada hewan dan tumbuhan misalnya, kemampuan adaptasi berasal langsung dari Allah Swt. Garis hidup mereka sepenuhnya ada dalam koridor hukum Allah. Jika tempat serta lingkungan tidak sesuai dengan perangkat yang mereka miliki, mereka tidak bisa berkembang bahkan mati dan punah. Adapun evolusi fisik yang terjadi pada hewan dan tumbuhan, berdasarkan sains, itu memerlukan waktu yang sangat lama, memakan waktu hingga ribuan bahkan jutaan tahun.
Sementara manusia, dalam upaya adaptasinya, perlu mengembangkan kesadaran ruang dan waktu untuk mengolah serta menjalani hidupnya. Manusia adalah makhluk yang punya kemampuan untuk memahami dan menyadari bahwa perbedaan adalah nyata, baik itu beda keyakinan, pandangan, pemikiran, latar belakang, tujuan, dan seterusnya. Untuk menempuh laku menggapai ridha-Nya sembari memperhatikan dan mempertimbangkan sekitar, tidak bisa seradak-seruduk asal tercapai apa yang diinginkan.
Di Indonesia, toleransi nyata dibutuhkan dalam praktik hidup sehari-hari. Orang bilang, negeri ini adalah laboratorium sosial terbesar di dunia. Mata dunia tertuju kepada kita untuk melihat bagaimana toleransi mampu diterapkan guna merajut tali persatuan dan kesatuan di antara agama dan keyakinan yang berbeda-beda, serta ribuan suku bangsa, bahasa dan budaya di dalamnya. Semua hidup berdampingan bersama dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Toleransi sendiri merupakan nilai atau tradisi penting yang mampu menjaga masyarakat Indonesia yang majemuk dan multikultural. Tanpa toleransi, masyarakat dapat terperosok dalam kubangan konflik yang menghancurkan, saling bermusuhan, penuh arogansi, dan situasi yang tidak stabil. Berkat toleransi, sebuah perbedaan menjadi sebuah kekuatan dan bisa mentransformasikan sebuah keragaman menjadi keharmonisan. Melalui toleransi, sebuah masyarakat yang plural akan bergerak maju, dinamis tanpa permusuhan.
Terwujudnya NKRI, yang luasnya membentang dari Sabang sampai Marauke, hingga saat ini adalah bukti penting toleransi. Itu bisa kita baca, misalnya, dari sejarah berdirinya Kementerian Agama Republik Indonesia, yang dipandang sebagai kompensasi atas sikap toleransi wakil-wakil pemimpin Islam, mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta yaitu "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Melalui rekaman sejarah tersebut, secara tidak langsung, para pendiri bangsa telah mengirim pesan penting kepada generasi selanjutnya bahwa jika ingin bangsa dan negara ini tetap utuh dan kokoh, mau tidak mau kita harus mampu menjalankan sikap toleransi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, sesama umat manusia.
Pasca-era kemerdekaan, masuk ke Orde Lama, Orde Baru hingga era Reformasi, tak sedikit aral rintangan serta ancaman yang mengancam keutuhan NKRI. Kita beruntung memiliki tokoh-tokoh yang senantiasa memelihara dan menjaga sikap toleransi sesama anak bangsa. Salah satunya ialah Presiden RI ke-4 KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Beliau adalah sosok ulama, tokoh agama, pemikir Islam kontemporer dan bapak bangsa yang tak pernah lelah mengobarkan semangat toleransi. Sepanjang hidupnya, Gus Dur selalu menyebarkan dan mengajarkan pemikiran serta nilai-nilai toleransi pada masyarakat Indonesia.
Di era digital seperti saat ini, banyak tokoh idola dan agama bermunculan. Seiring mudahnya akses berbagi gagasan melalui media sosial, tak sedikit dari mereka yang menyebarkan pemahaman sempit terkait toleransi. Kebanyakan mereka mengajarkan dan membudayakan toleransi sebatas pada hidup berdampingan secara damai. Yaitu hidup bersama dalam suasana saling menghormati dan menghargai. Padahal, sebagai salah satu bentuk adaptasi manusia melaksanakan hidupnya, toleransi merupakan sikap yang lebih dari sekadar pola hidup bersama berdampingan secara damai. Karena jika cuma demikian, hal itu masih menyimpan potensi timbulnya kesalahpahaman di antara kelompok masyarakat.
Seluruh komponen bangsa perlu membangun kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus. Dengan ini diharapkan, antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, bisa saling menerima dan memberi. Di sini, toleransi bukan sekadar menghormati dan menghargai keyakinan atau pendirian orang lain dari agama yang berbeda. Namun, disertai dengan adanya sikap untuk bersedia menerima ajaran-ajaran yang bersifat baik dari agama, budaya, atau peradaban lain. Karena kebaikan maupun kebenaran, dari siapapun datangnya, tetaplah kebaikan dan kebenaran.
Di samping itu, keluasan hati dan kematangan pikir mutlak diperlukan. Karena tak sedikit orang-orang berpikiran sempit menganggap toleransi sebagai sikap yang mencampuradukkan akidah dan menyatakan semua agama adalah sama.
Kita semua berharap generasi saat ini dan yang akan datang memiliki wawasan luas dan terbuka sehingga mampu memelihara toleransi demi terjaganya kesatuan, persatuan dan keutuhan NKRI yang kita cintai.
MS. Wibowo, pemuda pegiat dakwah media sosial
Artikel ini adalah hasil kerja sama NU Online dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua