Opini SETENGAH ABAD LESBUMI

H Usmar Ismail dan Lesbumi

Kamis, 12 April 2012 | 00:20 WIB

Usmar Ismail, Babak Terakhir

 SENJA terbenam di sebuah pavilion kecil di Pegangsaan Barat 6, Jakarta, dan malam menjadi sedemikian panjang seolah pagi takkan terbit lagi. Ini bukan sebuah babak dari suatu film, melainkan kasunyatan nan menyedihkan tentang akhir hayat Bapak Perfilman Indonesia, Usmar Ismail, yang belum genap setengah abad ketika diserang stroke dan akhirnya wafat, 2 Januari 1971, jam lima sore lewat.

<>Dia mengembuskan napas terakhir dua hari setelah menyelesaikan dubbing film Ananda, yang dibintangi oleh Lenny Marlina, di studio Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) di Mampang Raya. Itulah puncak perjalanan hidup Usmar Ismail: sepulang dari Italia untuk mengurus copy film “Adventure in Bali”, dia harus memecat 160 karyawan PT Ria Sari Show & Restaurant Management di Miraca Sky Club menyusul likuidasi oleh Sarinah atas bisnis yang dirintisnya sejak 1967, lalu ia mengumpulkan keluarga, sahabat, dan seluruh karyawannya untuk menyambut tahun baru 1971 di klab malam di atap Sarinah itu. Ironis.
 
Tapi, cantik nian Usmar Ismail menutup kisah hidupnya, jika tak dibilang satir. Ia berdansa soul seorang diri sebelum akhirnya bersalaman dan berpelukan dengan mereka ketika terompet tahun baru ditiup. Dari atas sana, siluet Monas tampak jelas. Sejak Usmar tiada, klab-klab malam terus bermunculan. Mengutip Majalah Tempo terbitan 20 Maret 1971, klab-klab itu antara lain La Casa Cosyndo atau yang dikenal sebagai LCC, Blue Gardenia, Cleopatra Night Life, Marcopolo, Indonesia Golden Gate, Galaxy Club, Paprica, dan Tropicana..
 
Dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat, 20 Maret 1921 dengan nama lengkap Usmar Ismail Sutan Mangkuto Ameh, Usmar adalah seorang midas yang dengan tangan dingin berhasil mengorbitkan aktor dan aktris populer di zamannya, bahkan menjadikan mereka idola. Sebut saja, antara lain, Del Juzar yang membintangi film Indonesia pertama karya Usmar Ismail “Darah dan Doa, The Long March of Siliwangi” (1950), Awwaluddin Djamin (kelak Kapolri), Mieke Widjaya, Lenny Marlina, Steve Lim (Teguh Karya), Tatiek Maliyati (kelak Ketua Lembaga Sensor Film), Nya Abas Akup (sutradara film), dan Rachmat Hidayat.
 
Rosihan Anwar, adik iparnya, mencatat bahwa sepanjang 20 tahun karir di dunia perfilman Indonesia, Usmar telah memroduksi 33 film layar lebar: 13 drama, 9 komedi/ satire, 7 action, dan 4 musical/entertainment. Dua di antaranya, film komedi “Krisis” (1951) dan film musikal “Tiga Dara” (1956) bahkan tercatat sebagai box office dengan penghasilan tertinggi sejak film “Terang Boelan” (1938), produksi Saroen (wartawan pribumi), Albert Balink (wartawan Belanda), dan Wong Bersaudara.
 
Namun, hidup sebagai seorang sineas cemerlang tak menjadikan keseharian Usmar bergelimang uang. Dalam buku “Sejarah Kecil, Petite Histoire, Indonesia volume 2” (2009), Rosihan menulis, Usmar Ismail tak menikmati kehidupan mewah sebagai bos dan produser film, tak juga mewariskan harta kekayaan tatkala tutup usia, 41 tahun silam.  Demi memroduksi film “Darah dan Doa” (1950), misalnya, ia berani menghabiskan Rp 30 ribu uang pesangonnya dari TNI setelah Usmar berhenti dengan pangkat terakhir Mayor (1945-1949). Ia bahkan berani mengutang dengan sistem ijon kepada seseorang bernama Meester in de Rechten Liem, demi film yang akhirnya selesai dengan ongkos produksi Rp 350 ribu itu.
 
Untung saja balik modal, demikian kata Rosihan. Tanpa mau istirahat, Usmar sudah berproduksi lagi setahun kemudian dengan membuat film “Enam Jam di Yogya” (1951), seperti ingin mengenang masa-masa juangnya di kota kerajaan itu. “Sosok Usmar Ismail mengingatkan kita zaman sekarang supaya tidak melulu didorong profit motive, tetapi juga mengindahkan aspek-aspek rohani, budaya, dan martabat bangsa. Jagalah jangan sampai rusak,” tulis Rosihan. Tetapi, hari ini, lihatlah betapa sinis sebagian sineas ketika ditanya,”pesan moral apa yang Anda sampaikan dalam film Anda?”
 
Hidup sebagai bintang memang tak menjamin apa-apa. Itulah yang membuat Achmad Tirtosudiro tertegun demi menatap tubuh Usmar Ismail yang terbujur kaku, senja itu. Mereka berkawan sejak belajar Barat Klasik di AMS (Algemene Middlebare School) di Yogyakarta pada 1941. “Saya tidak pernah mengira Usmar Ismail hidup begini eenvoudig en armoudig, bersahaja dan miskin,” ucap Achmad, sebagaimana dikutip Rosihan. Di Karet, Usmar Ismail dikebumikan di pemakaman umum.
 
Usmar Ismail, Sitor Situmorang
E. SAMBAS, juru suara studio PERFINI lulusan Radio Technische Vac School Bandung, menggema di film “Darah dan Doa” (1950) karya Usmar Ismail. Jika tak keluar dari konteks film, ucapannya seperti hendak menegaskan kata hati Kapten Sudarto, panglima Divisi Siliwangi dalam film itu, yang jatuh cinta kepada Connie namun harus melepaskannya. Sudarto (Del Juzar) berkenalan dengan gadis Jerman itu di kaki Gunung Lawu, Madiun, di pusara ayah Connie, seorang guru yang ikut tewas tertembak di masa revolusi. Sepanjang long march kembali ke Jawa Barat, Sudarto dan Connie seiring-sejalan sebelum akhirnya berpisah di Bandung.
 
Dalam narasi film itu, Sambas berseru,”Apa yang bisa dikatanya selain menerima? Waktu dan ruang diisi oleh perjuangan. Sekali lagi, perjuangan. Tak ada tempat bagi yang lain. Itulah Undang-Undang Revolusi.”  Ya, undang-undang revolusi itu ternyata tak hanya diterapkan oleh Usmar dalam film, melainkan juga dalam kehidupan nyata. Dia menarik garis tegas: berseberangan kutub politik dari Sitor Situmorang, penyair, yang dari cerita pendeknya Usmar membuat film “Darah dan Doa” (1950) yang menjadi tonggak bagi Bapak Perfilman Indonesia ini.
 
Usmar Ismail adalah pijar di tengah bara revolusi. Hanya beberapa bulan setelah film debutannya dirilis, suami Sonja Hermien Sanawi (Mien Usmar) ini harus berhadap-hadapan dengan kondisi politik yang kian tak menentu. Kwartet D.N. Aidit, Nyoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta pada 17 Agustus 1950 mendirikan Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra), yang kemudian dicap sebagai organ kebudayaan sayap kiri Partai Komunis Indonesia (PKI). Ihsan Subhan menulis, A.S. Dharta adalah tokoh Lekra yang paling lantang meneriakkan realisme-sosialis vis a vis humanisme universal. Dari sinilah polemik antara “seni untuk rakyat” ala Lekra dan “seni untuk seni” yang distempelkan kepada mereka yang disebut kaum filsafat borjuis kapitalis, bermula. Sampai hari ini, barangkali.
 
Sitor Situmorang yang mendirikan Lembaga Kebudajaan Nasional (LKN) lebih condong kepada “seni untuk rakyat” dan semakin berjarak dengan Usmar Ismail. Terlebih sejak Usmar bersama Asrul Sani dan Djamaluddin Malik mendirikan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) pada 28 Maret 1962, ketegangan di antara Sitor dan Usmar seperti sumbu bertemu pemantik api. Puncaknya, menurut catatan Remy Sylado, adalah ketika Sitor mendirikan dan mengetuai Papfias (Panitia Aksi Pengganyangan Film Imperialis Amerika Serikat) pada 1964, dan memimpin boikot film besar-besaran. Usmar yang pada 1951 pernah setahun belajar sinematografi di University of California, Los Angeles, dicap sebagai antek Amerika Serikat.
 
Ramdan Panigoro mencatat, hubungan antara Sitor dan Usmar makin jauh setelah konferensi kerja Dewan Film Nasional dan organisasi-organisasi perfilman pada 11 Oktober 1962 menetapkan hari pertama pengambilan gambar film “Darah dan Debu” (1950), pada 30 Maret, sebagai Hari Film Indonesia. Oleh golongan kiri, terutama Papfias, film itu disebut kontra-revolusioner. Mereka menuntut agar hari lahir Papfias, pada 30 April, 1964, yang ditetapkan sebagai Hari Film Indonesia. Papfias didirikan sepekan setelah Festival Film Asia-Afrika III di Jakarta yang, menurut catatan Kurniawan Adi, ditentang oleh Persatuan Pengusaha Film Indonesia (PPFI).
 
Dwi Aris Subakti mencatat, aksi Papfias ini merupakan ombak dari gelombang propaganda kepribadian politik nasional Soekarno di era Demokrasi Terpimpin untuk melawan kebudayaan asing, terutama dalam konfrontasi dengan Malaysia di bidang kebudayaan. Dominasi film Amerika Serikat dinilai tidak hanya merugikan perfilman nasional, namun juga merugikan ekonomi Indonesia dan menyebarkan kepribadian yang buruk. Seburuk apa kondisi ketika itu, sesungguhnya?
 
Ahmad Nashih Luthfi mencatat, walau terdapat 505 produksi film sejak kemerdekaan Republik Indonesia hingga kekuasaan Soekarno tumbang, perfilman di Indonesia dikuasai oleh etnis Belanda dan China. Pada saat itu, isu etnis Belanda, China, dan pribumi memang relevan dalam gerakan nasionalisasi pasca proklamasi kemerdekaan. Apalagi, wacana mengenai “film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri” demikian kuat.
 
Didukung oleh Lekra, Gerakan Pemuda Marhaen (GPM), Pemuda Rakyat, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Consentrasi  Gerakan Mahasiswa Indonesia (CMNI), Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), pengusaha bioskop dan Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS), Persatuan Importir dan Distributor Film Indonesia (Pidfin), dan Sarekat Buruh Film dan Sandiwara (Sarbufis), Sitor dan Papfias merasa benar-benar di atas angin. Apalagi, setelah mereka berhasil membubarkan AMPAI (American Motion Picture Association in Indonesia)  yang di dalamnya tergabung Warner Bross, United Artist, Twentieth Century Fox, Universal International, Columbia, Paramount, MGM, dan Allied Artists. Mereka juga mengusir Bill Palmer, sang ketua, yang ditengarai agen CIA (Central Intellegence Agency).
 
Kurniawan Adi mencatat, AMPAI sempat benar-benar mengendalikan denyut perfilman di negeri ini pada waktu itu dengan menguasai 70 persen film yang diputar di bioskop-bioskop di Indonesia. Dalam siaran pers 16 Mei 1964, Sekretaris Papfias N.K. Surbakti menyebut peredaran film-film Amerika Serikat ini sebagai tindak kejahatan, propaganda perang, raja rasialis internasional, propaganda garong, cabul, apatis, avonturis, dan defaitis. Seratus hari sejak aksi dimulai 9 Mei 1964, Papfias sukses memboikot pemutaran film Amerika Serikat di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Blitar, Madiun, Bojonegoro, Banjarmasin, Makasar, Denpasar, Bengkulu, dan wilayah Sumatera Utara dan Selatan.
 
Remy Sylado menambahkan, Papfias misalnya merobek-robek poster film “Beau Hank” yang sedang diputar di Braga Majectic Bioscoop, yang sempat berganti nama menjadi Bioskop Dewi, dan melempari bioskop itu dengan batu. “Didukung penuh oleh Ketua Umum PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) 1963-1965, Karim DP, dan sekretarisnya, Satyagraha, yang berpihak kepada Partai Komunis Indonesia (PKI), Papfias mudah untuk membangun opini publik tentang Amerika Serikat dan Inggris sebagai musuh bersama, terutama dalam upaya memerangi film dan musik mereka,” kata Remy.
 
Namun, zaman telah berubah. Film dan musik asing, tidak hanya dari Amerika Serikat, tak lagi masuk hanya dari bioskop, tapi sudah langsung menembus rumah-rumah kita melalui televisi kabel dan jejaring internet. Pengaruh Barat pun seperti sudah mendarah-daging dalam sinetron dan infotainment.
 
Usmar, Darah dan Doa

Gambar Idoep adalah nama lahir dari pertunjukan film di Indonesia saat masih bernama Hindia Belanda. Adalah sebuah dokumenter tentang Eropa dan Afrika Selatan, dengan cuplikan adegan Sri Baginda Maha Ratu Belanda bersama Yang Mulia Hertog Hendrig memasuki ibukota Belanda, Den Haag, yang ditonton oleh masyarakat Betawi pada 5 Desember 1900, di Biskop Rialto (kini Bioskop Surya), Tanah Abang, Kebonjahe.
 
Jauh sebelumnya, produksi film di Indonesia telah dimulai pada 1926 oleh Java Film Company milik G. Krugers dari Bandung dan L. Heuveldof dari Batavia. Mereka mengangkat cerita rakyat Jawa Barat menjadi film berjudul “Loetoeng Kasaroeng” (1926). Diputar sepekan di Bandung, 31 Desember 1926 – 6 Januari 1927, film yang disutradarai Heuveldolf ini dibintangi anak-anak Bupati Bandung, Wiranata Kusuma II. Sama dengan film pertama mereka, film kedua berjudul “Euis Atjih”, diproduksi dan diputar di Bandung juga, tergolong sukses.

Ramdan Panigoro mencatat, setelah era etnis Belanda, datanglah etnis China ke Indonesia untuk membuat film. Mereka adalah Wong Bersaudara yang hijrah dari industri film di Shanghai. Bermula dari Nelson Wong yang mendirikan perusahaan South Sea Film Co. dan memroduksi film “Lily van Java” (1928), menyusul kemudian dua adiknya, Joshua dan Otniel Wong, yang mendirikan Halimoen Film dan memroduksi film bicara “Indonesia Malise” (1931). Bersama Albert Balink dan Saroen, Wong Bersaudara membuat film “Terang Boelan” (1938) yang sukses besar dan melambungkan nama kedua bintangnya, Miss Roekiah dan Rd Mochtar.

“Darah dan Doa” (1950) sesungguhnya bukan film pertama Usmar Ismail jika dilihat bahwa sebelumnya ia telah menjadi asisten sutradara bagi Andjar Asmara dalam film “Gadis Desa” (1949). Berturut-turut kemudian, pada tahun yang sama Usmar menyutradarai film “Harta Karoen” (1949) dan “Tjitra” (1949). Namun, menurut Usmar, sebagaimana dikutip oleh Rita Sri Hastuti, ketiga film terdahulunya itu tak bisa disebut sebagai film nasional karena diproduksi dan penulisan naskahnya dipengaruhi oleh orang-orang Belanda.

Beda dengan film “Darah dan Doa” (1950) yang diadaptasi dari cerita pendek penyair Sitor Situmorang, disutradari oleh Usmar Ismail, diproduksi oleh Perfini, dengan produser juga seorang Indonesia: Djamaluddin Malik. Selain relijius dan idealis, Usmar memang dikenal sebagai seorang nasionalis.

Usmar, Lesbumi

Arus zaman mengharuskan Usmar Ismail untuk ikut memilih berpihak kepada siapa di era revolusi. Partai Nahdlatul Ulama, yang memisahkan diri dari Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang dibreidel bersama PNI (Partai Nasional Indonesia) oleh Soekarno, menjadi kendaraan politik Usmar.  Bahkan dia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong (DPR GR) pada 1966-1969.

Pada 28 Maret 1962, bersama Asrul Sani dan Djamaluddin Malik, dia mendirikan Lesbumi (Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia), yang beranggotakan artis, pelukis, aktor film, aktor panggung, sastrawan, dan ulama yang memiliki latar belakang seni. Berbeda dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang mengusung isu realism-sosialis dan Manifesto Kebudayaan yang condong kepada humanism universal, Usmar menunjukkan kekhasan seorang nadhliyin yang memegang prinsip tawassuth, yaitu berdiri di tengah, moderat, dan tidak ekstrim ke kanan maupun ke kiri, tetapi memiliki sikap dan pendirian.

Dalam buku Lesbumi, Choirotun Chisaan menulis, Lesbumi lahir membawa karakter utama berupa relijiusitas yang kental dalam karya-karya seni budaya. Selain sebagai titik tengah di antara dua titik ekstrim antara kubu Lekra dan Manifesto Kebudayaan, Usmar dkk tampaknya menyodorkan “seni untuk agama” sebagai pemecah kebekuan pertarungan politik antara “seni untuk rakyat” ala Lekra dan “seni untuk seni” ala Manifesto Kebudayaan, yang lahir pada 17 Agustus 1963 kemudian dilarang oleh Soekarno.

Menyodorkan relijiusitas keagamaan di tengah gegap-gempita slogan komunis bahwa “politik adalah panglima” pada era 1960-an membutuhkan keberanian ekstra. Ekky Imanjaya menilai,  Choirotun Chisaan dalam bukunya menempatkan Lesbumi dalam jiwa zamannya: lahir di antara Manifesto Politik 1959, ideologisasi Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) di mana Nahdlatul Ulama adalah pilarnya bersama PNI dan PKI, dan perseteruan antara Lekra dan Manifesto Kebudayaan.

Saifuddin Zuhri, menteri agama waktu itu, sebagaimana dikutip Ekky Imanjaya dari buku “Lesbumi, Strategi Politik Kebudayaan”, mengatakan bahwa “tak ada kiprah PKI yang tidak ditandingi oleh NU. PKI mendirikan Lekra, NU mengadakan Lesbumi. PKI menciptakan nyanyian Genjer-Genjer, ulama-ulama NU menciptakan Solawat Badar.”

Saya menulis catatan ini, Rabu, 11 April 2012, ketika mendengar kabar Misbach Yusa Biran meninggal dunia, semoga Tuhan mengampuni dosanya dan menerima amal kebaikannya. Misbach mencatat, Lesbumi tidak hanya berhadap-hadapan dengan Lekra, khususnya, namun juga dengan intern Nadlatul Ulama karena fiqh seni belum ditentukan oleh para kiai waktu itu. Lesbumi menjadi penanda penting kemodernan Nadlatul Ulama, demikian kata Misbach.

Dalam Musyawarah Besar I Lesbumi pada 1962, Usmar Ismail mengatakan “adalah kewajiban pertama para pendukung Lesbumi untuk mengkikis habis syak-wasangka dan prasangka antara kaum alim ulama dan kaum seniman muslimin.” Dan, oleh karenanya,” demi kepentingan bangsa dan agama, para ulama, seniman, dan budayawan muslimin Indonesia memelihara hubungan yang sebaik-baiknya.” Ditambahkan Asrul Sani, Lesbumi harus menciptakan karyawan-karyawan teater dan film yang berjiwa Islam.

Anton Kurnia mencatat, Goenawan Mohamad, sastrawan penandatangan Manifesto Kebudayaan, mengatakan bahwa perdebatan mengenai “seni untuk seni” sudah selesai pada 1930-an antara Sanusi Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana, dan salah jika menganggap Manifesto Kebudayaan condong kepada humanism universal. Selebihnya, pertentangan mereka dengan Lekra yang membawa isu “seni untuk rakyat” bernafas realism-sosialis juga sudah tidak relevan lagi dibahas karena produk khas masa itu, bukan masa kini.

Pertanyaannya kini adalah, apakah Lesbumi juga masih relevan dibicarakan? (Candra Malik, budayawan, tinggal di Depok-Jawa Barat

 

Depok, 11  April 2012