Opini

Pesantren Internasional dan Bahasa Indonesia:  Tantangan Menjaga Identitas Bangsa

Selasa, 29 Oktober 2024 | 11:57 WIB

Pesantren Internasional dan Bahasa Indonesia:  Tantangan Menjaga Identitas Bangsa

Para santri putri pada satu kegiatan (Foto: Suwitno/NU Online)

Secara tradisional, pesantren mengajarkan bahasa Arab sebagai dasar untuk mendalami al-Qur’an, Hadits, dan pelajaran agama Islam lainnya. Selain itu, pesantren juga mengajarkan bahasa Indonesia dan bahasa daerah sebagai bagian dari kurikulum pendidikan sekaligus untuk mendukung proses pendalaman pembelajaran agama. Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran dan percakapan sehari-hari, sedangkan bahasa daerah seperti Jawa kerap digunakan untuk memaknai kitab kuning melalui aksara Pegon.


Seiring berkembangnya zaman, banyak pesantren mulai mengajarkan bahasa asing lain, terutama bahasa Inggris. Bahasa Inggris dianggap penting untuk memperluas wawasan dan akses ke ilmu pengetahuan global, serta mempersiapkan santri yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri, seperti Amerika Serikat, Eropa, atau negara-negara berbahasa Inggris lainnya. Beberapa pesantren bahkan menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan mengadopsi kurikulum internasional seperti Cambridge International Curriculum, yang mendukung santri dalam mengembangkan kemampuan berbahasa Inggris di tingkat global.


Namun, di tengah berkembangnya program internasional di pesantren yang menempatkan bahasa Inggris sebagai bahasa utama, penting untuk mempertimbangkan kembali peran bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa. Hal ini menjadi semakin relevan di bulan Oktober ini ketika kita memperingati Bulan Bahasa yang bertepatan dengan Sumpah Pemuda, yang salah satu ikrarnya adalah “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”


Perkembangan Pesantren Internasional
Belum lama ini, The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) menobatkan Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) sebagai tokoh ke-19 dari 500 Tokoh Muslim Paling Berpengaruh di Dunia pada tahun 2025. Sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Yahya terlibat aktif dalam mencari pemecahan konflik global melalui jalan dialog. Dalam publikasinya setebal 311 halaman, RISSC juga mencatat pentingnya usaha Gus Yahya dalam mempromosikan Islam Nusantara sebagai peradaban Islam yang moderat di panggung internasional. Ini menunjukkan pentingnya mempersiapkan santri dengan wawasan global yang akan mampu tampil di kancah internasional.


Beberapa pesantren, seperti Pesantren Bumi Cendekia dan Afkaaruna di Yogyakarta, mengadopsi kurikulum Cambridge International Curriculum dan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Program internasional di pesantren ini tidak hanya mempersiapkan santri untuk berkontribusi di level global, tetapi juga membekali mereka dengan pendidikan STEM (science, technology, engineering, dan mathematics). Di era teknologi yang terus berkembang, penguasaan STEM akan membantu santri memberikan kontribusi dalam bidang-bidang berbasis teknologi di masa depan. STEM juga melatih santri untuk berpikir kritis dan analitis yang penting dalam menciptakan inovasi dan solusi yang bermanfaat bagi umat.


Dengan mengintegrasikan pendidikan agama dan STEM, pesantren diharapkan dapat melahirkan para santri yang tidak hanya ahli dalam ilmu agama tetapi juga memiliki kemampuan untuk berkontribusi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta mampu memberikan solusi bagi masyarakat. Selain itu, mereka ini juga akan mampu memperkenalkan kearifan Islam Nusantara di tingkat global.


Keseimbangan Bahasa Asing dan Bahasa Indonesia
Dukungan terhadap inisiatif pesantren yang membuka program internasional dengan menekankan penguasaan bahasa Inggris sangat penting. Namun, dalam menyambut Bulan Bahasa pada bulan Oktober ini, perlu juga kita merefleksikan kembali pentingnya bahasa Indonesia sebagai identitas nasional dan simbol persatuan.


Dalam buku Language and Identity: National, Ethnic, Religious, Joseph menyoroti pentingnya bahasa dalam pembentukan identitas nasional. Menurutnya, bahasa nasional merupakan fondasi utama dalam membangun ideologi nasionalis. Bahasa nasional mungkin tidak selalu ada sejak awal, tetapi ia lalu diciptakan sebagai bagian dari upaya ideologis untuk membangun nasionalisme (Joseph, 2004:94).


Pendapat ini sejalan dengan ungkapan Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan dan pahlawan nasional Indonesia: “Bahasa menunjukkan bangsa.” Pesan ini mengingatkan kita bahwa bahasa nasional bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cerminan identitas dan karakter bangsa. Melestarikan bahasa Indonesia berarti menjaga identitas dan warisan budaya bangsa, sekaligus menunjukkan siapa kita di tengah masyarakat dunia.


Kita tidak perlu mengkhawatirkan bahasa Indonesia masuk kategori language death sebagai suatu bahasa yang kehilangan penuturnya. Namun, peringatan Joseph dan Ki Hajar Dewantara tetap relevan untuk direnungkan. Pesantren yang mengadopsi program internasional perlu menyeimbangkan penggunaan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia, agar santri tidak melupakan bahasa nasional mereka sebagai simbol identitas.


Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memainkan peran penting dalam mempersatukan masyarakat Indonesia yang multi etnis serta budaya yang memiliki lebih dari 700 bahasa daerah. Bahasa Indonesia adalah alat pemersatu yang memungkinkan warga dari beragam latar belakang untuk berkomunikasi dan merasa terhubung satu sama lain. Dalam konteks ini, bahasa Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai simbol identitas bersama yang menciptakan rasa persatuan sebagai satu bangsa.


Di kancah internasional, bahasa Indonesia juga menjadi ciri khas Indonesia. Bahasa ini digunakan oleh lebih dari 270 juta penduduk Indonesia dan kini diajarkan di negara-negara lain seperti Australia, Korea Selatan, Jepang, dan Belanda. Yang lebih membanggakan lagi, pada Sidang Pleno ke-42 Konferensi Umum UNESCO pada 20 November 2023, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi UNESCO, menjadikannya bahasa resmi ke-10 di lembaga tersebut. 


Dengan posisi strategis bahasa Indonesia, baik di tingkat nasional maupun internasional, pesantren yang memiliki program internasional perlu menjaga keseimbangan antara penggunaan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di kalangan santri.


Menjaga Identitas Nasional
Penggunaan bahasa Inggris di pesantren memang dibutuhkan untuk memperkuat wawasan dan kompetensi global santri. Namun, jika pesantren terlalu fokus pada bahasa Inggris dan mengabaikan bahasa Indonesia, ada risiko bahwa santri akan kehilangan keterikatan mereka dengan budaya dan identitas nasional di masa depan. Menjaga bahasa Indonesia di lingkungan pesantren, terutama bagi pesantren yang menekankan bahasa Inggris, penting agar santri tetap terhubung dengan nilai dan identitas kebangsaan mereka.


Sebagai bangsa yang kaya akan tradisi dan budaya, Indonesia membutuhkan generasi muda yang mampu berpikir global tanpa melupakan akar nasionalnya. Di sinilah pesantren memiliki peran penting dalam membentuk santri yang memiliki wawasan luas, kompetensi global, dan tetap menjunjung nilai-nilai budaya dan nasionalisme.


Dengan menjaga keseimbangan ini, santri akan tumbuh sebagai individu yang kompeten di kancah global tanpa kehilangan identitas nasional dan kebangsaannya. Bahasa Indonesia akan terus menunjukkan siapa mereka sebagai warga negara Indonesia yang bangga akan warisan budayanya, sambil siap berkontribusi dalam komunitas internasional.


Faishol Adib, Alumnus Pesantren Krapyak Yogyakarta