Opini

Kemandirian Pendidikan NU

Senin, 1 Mei 2017 | 16:36 WIB

Oleh Hamidulloh Ibda
Sejak beberapa tahun ini, kebangkitan pendidikan tinggi Nahdlatul Ulama (NU) makin kentara. Sebab, jumlah perguruan tinggi secara kuantitatif bertambah, baik yang berubah bentuk dari sekolah tinggi menjadi institut/universitas atau berdiri dari nol. Geliat NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia tampak mulai peduli dengan pendidikan tinggi, meskipun sejak dulu sudah mengelola pendidikan dasar, menengah dan atas serta madin dan pondok pesantren di bawah naungan LP Ma’arif NU.

NU sebagai salah satu ormas Islam yang tua di Nusantara memang dari dulu dikenal dengan ulama, kiai, yang konsen menyemai tunas-tunas muda melalui pondok pesantren. Namun saat ini, hampir semua pesantren di bawah naungan NU atau berciri khas NU sudah peduli dengan pendidikan tinggi. Sebab, sudah banyak pesantren yang mendirikan perguruan tinggi.

Tampaknya NU mulai memahami bahwa kebutuhan dasar jamaah dan jam’iyah dan tidak sekadar “utak-utek” masalah fikih, istigotsah, tahlilan, yasinan, barzanji, manakiban, ziarah kubur, mujahadah dan ritual lainnya. 

Meskipun NU dikenal sebagai ormas yang memegang teguh tradisi, akan tetapi NU sudah mulai membaca zeitgeist (spirit zaman). NU sudah membaca hal itu dan sebagai bukti pelaksanaan diktum almuhafadotu ala khodimissolih, wal akhdu bil jadidil aslah.

Dulu, bahkan sampai sekarang, NU memang dikenal dengan urusan tradisi dan ritual keagamanan yang kental akan nuansa Islam Nusantara yang mengakar di setiap warga Nahdiyin. Sementara ormas Islam seperti Muhammadiyah, dikenal lebih unggul di bidang pendidikan dan kesehatan. Namun hal itu bukanlah masalah, karena NU dan Muhammadiyah sekarang justru bisa bersinergi untuk mengembangkan visi-misinya masing-masing. NU banyak belajar dari Muhammadiyah dan begitu pula Muhammadiyah juga belajar dari NU. Keduanya, saat ini justru menjadi garda terdepan dalam membangun peradaban di Nusantara ini.

Kuantitas

Secara kuantitas, pendidikan tinggi bawah naungan NU dari tahun ke tahun semakin bertambah. Data LPTNU sampai 2017, di Jakarta ada 7 perguruan tinggi NU, Jawa Barat ada 28, Jawa Tengah ada 18, Jawa Timur ada 34, DIY ada 1 dan luar Jawa ada 12. Jumlah tersebut, jika digabung dengan perguruan tinggi NU yang berubah bentuk menjadi universitas serta kampus yang berdiri dari nol dan penambahan prodi pasti semakin banyak.

Saat menghadiri peringatan harlah ke-94 NU di Jepara pada Ahad (16/04/2017), Kiai Said Aqil Siroj menyinggung kemandirian NU dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Kiai Said menyebutkan sampai 2017 ini, jumlah universitas yang milik NU dan bukan milik yayasan, ada 24 kampus. Itu jumlah Kampus NU yang berhasil didirikan selama 5 tahun periode pertama Kiai Said menduduki ketua umum PBNU. Sekarang baru dua tahun sudah bertambah tujuh, jadi sudah 31 universitas NU.

Sejak beberapa tahun ini, banyak berdiri universitas NU (UNU) di mana-mana, baik di Jakarta, Jawa, maupun di luar Jawa. Di Jawa Tengah-DIY, misalnya, selain sudah berdiri Unwahas, UNU Surakarta, UNUGHA Cilacap, Unisnu Jepara, UMNU Kebumen, tak lama ini sudah berdiri UNU Purwokerto dan UNU Yogyakarta. Sementara yang proses menjadi universitas adalah UNU Pekalongan dan Unisnu Temanggung serta ratusan kampus lain yang statusnya sekolah tinggi/institut.

Begitu pula di daerah lain, seperti di Jawa Timur sudah berdiri Universitas Islam Darul Ulum Lamongan, Universitas Islam Gresik, Universitas Islam Jember, Universitas Islam Malang, Universitas Islam Taruna, lalu UNU Surabaya, UNU Giri Bojonegoro, UNU Sidoarjo, Unhasyi dan lainnya. Di Jawa Barat dan Jakarta juga sudah berdiri UNU Cirebon, UNU Jakarta, Universitas Islam Nusantara dan lainnya.

Sementara di luar Jawa seperti UNU Lampung, UNU Sumut, UNU Sulsel, UNU Kalbar, UNU Kaltim, UNU Kalsel, UNU Sumbar, UNU NTB, UNU Sulawesi Tenggara, UNU Bumi Hijrah Maluku Utara dan lainnya. Catatan Kemenristek Dikti, sampai 2015 ada 23 universitas di bawah NU resmi berdiri.

Jumlah itu tidak hanya universitas yang nonmenklaturnya ada embel-embel NU, namun banyak perguruan tinggi di bawah NU yang namanya tidak menyertakan nama NU, baik yang baru maupun alin bentuk. Bertambahnya kampus-kampus tersebut, tidak sekadar secara kuantitas, karena pendidikan tinggi saat ini setelah visitasi dituntut untuk menyiapkan akreditasi. Jika tidak bisa memenuhi syarat dari Dikti, maka izin akan dicabut. Ketegasan Dikti itulah yang harus diperhatikan kampus-kampus NU di Indonesia.

Tantangan Berat

Mengelola pendidikan tinggi tidaklah mudah. Sebab, kampus selalu didorong untuk terus meningkatkan kualitas oleh Kemenristek Dikti dan Kemenag. Tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mengharuskan kampus melahirkan generasi yang siap menghadapi tantangan dunia. Artinya, kompetensi tidak lagi menggunakan standardisasi lokal dan nasional, melainkan harus berstandar internasional.

Meskipun sudah lulus sarjana atau magister dan doktor, mereka harus menguasai kompetensi yang sudah bertaraf internasional. Selain bermodal ijazah, dunia kerja saat ini mengharuskan kompetensi keahlian yang diperoleh melalui lembaga sertifikasi. Seperti contoh guru, meskipun sudah berpendidikan S1, namun jika belum memiliki sertifikat pendidikan profesional melalui PPG atau PLPG, maka guru tersebut tidak bisa disebut “guru profesional”. Begitu pula dengan profesi lain seperti perawat, bidan, apoteker, hakim, dan lainnya.

Di sisi lain, pendidikan tinggi Islam yang sudah berjalan juga di hadapkan dengan tantangan kerja yang menuntut kompetensi umum. Maka semua perguruan tinggi juga menyesuaikan hal itu dengan menambah mata kuliah umum yang tidak terlalu melenceng dari Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan kurikulum pendidikan tinggi.

Oleh karena itu, perguruan tinggi Islam seperti STAIN, IAIN, UIN saat ini memadukan disiplin ilmu umum dan agama dalam rangka menyiapkan generasi yang siap menjawab tantangan zaman. Selain siap menghadapi kehidupan di dunia, mereka dicetak juga untuk memiliki bekal di akhirat.

Mengapa itu terjadi? Era milenial seperti ini tidak hanya generasi yang melek iman dan takwa (imtak) saja yang dicetak kampus Islam, namun juga disiapkan melek ilmu pengetahuan dan teknologi seni (ipteks). Akan tetapi, hal itu haruslah “seimbang” dan tengah-tengah. Sebab, karakter Islam tidak boleh dilepas meskipun tantangan zaman selalu berubah.

Pacu Kualitas

Semua kampus NU harus bisa menjawab tantangan zaman dengan terus memacu kualitas. Minimal, perguruan tinggi NU bisa memenuhi empat hal, yaitu aspek akademik, hukum, sarana-prasarana dan keuangan. Di bidang akademik, dosen-dosen harus didorong studi lanjut, baik di dalam maupun luar negeri. Semakin banyak dosen bergelar doktor, maka kualitas perkuliahan akan semakin bagus. Begitu juga dengan aspek tridarma perguruan tinggi. Tidak hanya aspek pengajaran saja yang terus digenjot, namun inovasi di bidang penelitian dan pengabdian masyarakat tidak bisa dinomorduakan.

Dari aspek hukum, semua administrasi perguruan tinggi NU harus sesuai undang-undang. Artinya, jangan sampai ada “konflik internal” dan hal itu justru menghambat perkembangan kampus. Kemudian, aspek sarana-prasarana juga harus dipenuhi. Tidak hanya gedung perkuliahan, namun laboratorium untuk praktik, juga laboratorium sekolah (labschool) juga harus didorong berdiri. Sementara aspek keuangan, kampus NU bisa bersinergi dengan pemerintah setempat untuk mengembangkan usaha. Di sisi lain, NU yang memiliki banyak badan otonom, mulai dari IPNU-IPPNU, Ansor, Fatayat, Muslimat, dan lainnya serta lembaga di bawah naungan NU harus mendukung amal usaha NU.

Banyak potensi usaha di bawah naungan kampus NU yang bisa mendukung aspek keuangan. Di sini, keuangan tidak sekadar untuk pembangunan fisik, namun juga untuk pendanaan penelitian dosen dan juga pengembangan mahasiswa. Jika keempat hal itu berjalan, maka kebangkitan NU tidak hanya secara kuantitas, melainkan sepaket dengan kualitas. Semua kampus NU wajib berkualitas. Jika tidak berkualitas, apa pantas disebut kampus NU?

Penulis adalah dosen Tarbiyah STAINU Temanggung, mantan  sekretaris IPNU