Konstruktivisme dan Ashabiyyah: NU sebagai Agen Perubahan dalam Sistem Internasional
Ahad, 22 September 2024 | 21:17 WIB
Eko Ernada
Kolomnis
Awal bulan September, Badan Pengembangan Jaringan Internasional (BPJI) PBNU berkesempatan menerima kunjungan dari peserta Australia-Indonesia Muslim Exchange Program (AIMEP). Dalam diskusi tersebut, seorang peserta dari Australia mengajukan pertanyaan menarik: "Bagaimana NU mendeseminasikan gagasan-gagasan besar tentang perdamaian dunia dan peradaban dalam konstelasi politik dunia?"
Menjawab pertanyaan ini bisa sangat filosofis, karena mengandung makna yang mendalam tentang bagaimana dunia internasional bekerja. Gagasan ini dapat dijelaskan melalui pendekatan constructivism dalam hubungan internasional yang dikemukakan oleh Alexander Wendt, serta konsep ashabiyyah dari Ibn Khaldun. Kedua pemikiran ini menawarkan cara untuk memahami bagaimana norma sosial dan kohesi kelompok dapat membentuk perilaku negara dan peradaban.
Menurut Alexander Wendt, seorang tokoh utama dalam constructivism, perilaku negara tidak sepenuhnya ditentukan oleh kepentingan material, melainkan dibentuk oleh norma, gagasan, dan interaksi sosial. Wendt menyatakan bahwa identitas negara dan aktor lainnya terbentuk melalui proses sosial, di mana nilai dan norma memainkan peran penting. Dalam konteks hubungan internasional, interaksi sosial antarnegara dan antaraktor non-negara membentuk bagaimana negara bertindak dan mengambil keputusan.
Demikian pula, Ibn Khaldun, melalui konsep ashabiyyah (solidaritas sosial), menekankan bahwa kekuatan dan stabilitas suatu peradaban atau negara bergantung pada kohesi sosial di dalam kelompok. Dalam Muqaddimah, Ibn Khaldun menjelaskan bahwa negara yang kuat dan stabil lahir dari solidaritas kelompok yang kuat, di mana solidaritas ini menjadi sumber identitas bersama dan kekuatan sosial. Kohesi inilah yang memungkinkan negara mencapai stabilitas politik dan sosial, dan ketika ashabiyyah melemah, negara tersebut akan mulai mengalami kemunduran.
Meskipun keduanya berakar dari tradisi intelektual yang berbeda, terdapat kesesuaian yang signifikan antara constructivism dan ashabiyyah. Wendt menekankan bahwa norma sosial dan interaksi membentuk identitas negara, sementara Ibn Khaldun menjelaskan bahwa kekuatan sosial dan solidaritas kelompok membentuk kekuatan negara. Baik Wendt maupun Ibn Khaldun melihat kekuatan tidak hanya dari perspektif material, tetapi juga dari perspektif sosial dan norma yang membentuk identitas dan perilaku aktor.
Dalam konteks NU, konsep-konsep constructivism dan ashabiyyah dapat diterapkan untuk memahami bagaimana organisasi ini memainkan peran penting dalam membentuk perilaku negara dan mempengaruhi norma-norma internasional. NU, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, memperkuat solidaritas sosial melalui pendidikan, advokasi, dan nilai-nilai moderasi yang diajarkannya.
Sebagaimana Wendt menyatakan bahwa norma dan interaksi sosial membentuk perilaku negara, NU telah secara aktif menyebarkan nilai-nilai moderasi dan toleransi yang mempengaruhi perilaku negara Indonesia di panggung internasional. Dengan mempromosikan nilai-nilai seperti toleransi, pluralisme, dan keadilan sosial, NU membentuk identitas sosial Indonesia sebagai negara yang mendukung perdamaian dan harmoni antaragama. NU menciptakan solidaritas sosial yang memperkuat ashabiyyah dalam konteks modern, di mana stabilitas negara dan kemampuan untuk berinteraksi dengan negara lain secara damai adalah hasil dari kohesi sosial yang kuat.
Seperti dalam konsep ashabiyyah Ibn Khaldun, di mana kekuatan negara tergantung pada kohesi sosial di dalam masyarakat, NU memainkan peran penting dalam memperkuat hubungan sosial di Indonesia. Pendidikan pesantren yang dikelola oleh NU tidak hanya menghasilkan generasi yang menghargai keragaman, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial yang menjadi dasar kekuatan politik dan sosial. Negara yang memiliki ashabiyyah yang kuat lebih mampu menjaga stabilitas internal dan berperan lebih efektif dalam sistem internasional, yang juga sejalan dengan pandangan Wendt tentang pentingnya identitas sosial dalam membentuk perilaku negara.
Di tingkat internasional, constructivism dan ashabiyyah memberikan pandangan tentang bagaimana negara dapat mempengaruhi norma-norma global. Menurut Wendt, interaksi sosial antarnegara dapat membentuk norma internasional, di mana aktor non-negara seperti NU juga dapat berkontribusi melalui penyebaran nilai-nilai sosial. Norma-norma ini pada akhirnya akan membentuk perilaku aktor internasional lainnya.
Demikian pula, dari perspektif Ibn Khaldun, negara yang memiliki ashabiyyah yang kuat mampu memperluas pengaruhnya di luar batas domestik. Negara yang stabil dan bersatu secara sosial akan lebih mampu mempengaruhi dunia internasional dan memainkan peran dalam menciptakan perdamaian. NU, dengan nilai-nilai moderasi yang diusungnya, telah memainkan peran ini melalui partisipasinya dalam forum-forum internasional seperti ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (AIIDC) dan G20 Religion Forum (R20). Dalam forum-forum ini, NU membantu menyebarkan nilai-nilai Islam moderat dan memperkuat norma internasional yang mendukung perdamaian dan kerukunan antaragama.
Kehadiran NU dalam diplomasi nilai dan mediasi konflik lintas agama juga sejalan dengan pandangan constructivism bahwa norma sosial dapat digunakan untuk membentuk perilaku negara dan menyelesaikan konflik. Di sisi lain, sesuai dengan konsep ashabiyyah, NU membantu memperkuat stabilitas sosial dan perdamaian, baik di dalam negeri maupun di tingkat global.
Kembali ke pertanyaan peserta AIMEP, langkah-langkah NU secara teknis dalam mendeseminasikan gagasan besar tentang perdamaian dunia dapat dilihat melalui beberapa aspek kunci. Pertama, NU membentuk perilaku negara dengan menyebarkan nilai-nilai moderasi, toleransi, dan keadilan melalui pendidikan dan advokasi di tingkat nasional. Kedua, NU terlibat dalam diplomasi nilai dan mediasi konflik antaragama, baik di tingkat lokal maupun internasional, dengan menekankan resolusi konflik melalui dialog dan kerja sama.
Dalam konteks constructivism yang digagas Alexander Wendt dan konsep ashabiyyah dari Ibn Khaldun, NU berperan sebagai agen penting yang membentuk identitas dan perilaku negara melalui norma sosial dan solidaritas internal. Kedua pemikiran ini menunjukkan bahwa norma sosial dan solidaritas kelompok berperan penting dalam membentuk kekuatan negara dan mempengaruhi norma internasional. NU, melalui nilai-nilai yang disebarkannya, berkontribusi dalam menciptakan tatanan dunia yang lebih damai dan harmonis, sesuai dengan pandangan bahwa kekuatan negara dan stabilitas internasional dibangun atas dasar norma sosial dan solidaritas.
Eko Ernada, Anggota Badan Pengembangan Jaringan Internasional Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (BPJI PBNU)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua