Opini

Sarat Makna Tradisi Sadranan

Kamis, 27 Februari 2025 | 20:13 WIB

Sarat Makna Tradisi Sadranan

Salah satu prosesi tradisi sadranan di CIlacap (Foto: NU Cilacap Online)

Menjelang masuknya bulan suci Ramadhan, pada bulan Sya’ban atau Ruwah berbagai persiapan dilakukan oleh sebagian masyarakat Muslim di Indonesia. Selain mempersiapkan berbagai kebutuhan yang bersifat lahir juga batin. Salah satunya dengan menjalankan sebuah tradisi mengunjungi kubur atau ziarah. Selain mendoakan para ahli kubur, juga tidak lupa para peziarah membersihkan kubur dan menaburkan bunga di atasnya. Ini adalah sebagai bentuk penghormatan. Lazimnya, tradisi ini disebut besikan, sadranan, nyadran, nyekar ataupun istilah yang berbeda di beberapa daerah lainnya.


Salah satu tujuan utama yang terkandung dalam tradisi sadranan adalah mendoakan orangtua dan leluhur yang sudah meninggal dunia serta mengenang kembali jasa perjuangan mereka. Sadranan juga dapat menjadi media pengingat kematian. Bahwa, sehebat apapun manusia ketika hidup di dunia, pasti akan kembali jua ke haribaan-Nya.


Selain mengandung tujuan yang telah disebutkan di atas, pada prosesi tradisi sadranan ini juga dapat dipetik beberapa pesan filosofis. Pengalaman penulis ketika mengikuti kegiatan sadranan di salah satu dukuh di Desa Tarubatang, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali beberapa waktu lalu, pada wadah tempat makanan atau tenong yang dibawa warga, terdapat beberapa aneka ubo rampe seperti nasi rasul berbentuk tumpeng yang diletakkan di tengah tenong. Kemudian di sekelilingnya diletakkan beberapa makanan seperti ketan, apam, pisang dan jajanan pasar lainnya


Dari penuturan salah satu tokoh masyarakat setempat, penulis mendapatkan keterangan mengenai isi makanan yang ada pada tenong. Semisal tumpeng yang berbentuk kerucut perlambang tauhid. Kemudian ketan yang ditutup dengan apam dan pisang, bermakna khoto’an (kesalahan atau dosa) yang dilambangkan dengan ketan, perlu ditutupi dengan apam yang menjadi perlambang afuwwun (permohonan maaf atau taubat). Sedangkan pisang atau dalam bahasa Jawa gedhang perlambang pengharapan akan pengampunan dosa dari Tuhan Yang Maha Esa, yang semoga diberikan sekarang dan untuk seterusnya (bahasa Arab ghadan).


Pun, dengan pelaksanaan sadranan masyarakat di Desa Sukabumi, Cepogo, Boyolali. Biasanya, dalam setiap penyelenggaraan sadranan di daerah tersebut, terdapat 700 hingga 800 tenong yang dibawa ke makam. Tenong dibariskan berjejer di kompleks makam. Isi makanan dalam tenong bisa terdiri dari berbagai jenis makanan seperti jajanan pasar, kue atau roti, atau buah. Kemudian setelah diperdengarkan ceramah dari seorang kiai dan dibacakan doa, maka tenong pun dibagikan dengan cara tukar makanan. Prosesi tukar makanan dalam ratusan tenong inilah yang menjadi khas tradisi Sadranan Cepogo.


Setelah selesai dengan seluruh prosesi sadranan di pemakaman, beberapa warga biasanya akan bersilaturahmi ke rumah warga di wilayah itu. Mereka yang tinggal di daerah itu pun juga telah bersiap menyambut tamu-tamu yang akan hadir setelah prosesi tradisi sadranan selesai. Di sana, dapat kita lihat nilai kebersamaan antarwarga dan keramah-tamahan kepada tamu yang bahkan belum mereka kenal sebelumnya. Sebab tamu yang datang tidak hanya berasal dari desa mereka, tapi juga dari berbagai daerah sekitar, bahkan ada yang datang dari luar Boyolali. Inilah Indonesia!


Tiga Substansi
Menurut Allahyarham KH M Dian Nafi’ (2022), sadranan adalah sebuah tradisi yang sarat dengan makna yang telah diwariskan para pendakwah Islam di masa lalu. Mereka, selain memiliki kecerdasan dalam ilmu agama (alim), juga mempunyai kecerdasan dalam berdakwah, serta pandai melihat situasi konteks zaman (bashir bi ahli zaman).  


Dalam konteks sadranan atau ruwahan, masih menurut Kiai Dian, setidaknya ada tiga hal penting yang menjadi substansi: pengokohan keimanan, menjaga diri (hifdzun nafs), dan tentang menjaga aspek kerukunan. Pertama, terkait keimanan tercermin pada ekspresi keagamaan, semisal dengan pembacaan Al-Quran, dzikir, dan lain sebagainya yang dapat mengokohkan keimanan. Kemudian menjaga diri (hifdzun nafs), diwujudkan dengan saling memberi jamuan atau suguhan yang baik kepada tamu, yang sejatinya untuk menghilangkan tradisi minum-minuman (mabok), yang dapat merusak badan dan akal.


Kemudian, yang ketiga, yakni tentang aspek kerukunan dengan cara memulihkan hubungan baik dan mengakhiri persengketaan secara berkeadilan. Ini diwujudkan dengan kegiatan saling berkunjung atau silaturahim. Maka, bulan Sya’ban dengan kegiatan sadranan di dalamnya dapat menjadi momen rekonsiliasi universal. Sebagai budaya, ia menjadi jelas bagi kita apabila kita menalarnya.


Paradigma ini berpijak pada nilai-nilai keislaman universal yang tumbuh dan berakar kuat dalam tradisi keilmuan seluruh umat Islam, khususnya dalam proses Islamisasi awal di Nusantara yang telah dirintis oleh Wali Songo. Dakwah yang dikembangkan oleh para Wali Songo menjadi sebuah contoh, bagaimana metode dakwah juga bisa dikemas melalui pendekatan budaya lokal.


Hal inilah yang terkadang masih kurang diperhatikan oleh para pendakwah di masa kini. Metode-metode dakwah yang santun dan lembut semestinya dikedepankan untuk menghadapi masyarakat yang plural. Dengan cara-cara seperti itulah masyarakat akan lebih mudah diajak untuk mengikuti kebaikan. Sebab, di dalamnya terpadu antara agama dan budaya lokal.


Agama dan budaya merupakan dua unsur penting dalam masyarakat yang saling mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang berbudaya, akan terjadi tarik menarik antara kepentingan agama di satu sisi dengan kepentingan budaya di sisi lain. Atas dasar inilah, pemikiran akulturasi Islam dengan budaya lokal dan relasi ajaran agama (Islam) dengan nilai-nilai lokal muncul termasuk di Indonesia.


Ajaran ini juga selaras dengan prinsip kaidah dalam ushul fiqih: al-muhafadhatu ‘ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah. Kaidah yang terdapat dalam kitab Asybah wa al-Nazhair karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi ini berarti memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik (Jamal M. Asmani, 2007).


Pada akhirnya, melalui kegiatan sadranan ini, kita juga dapat menilai tentang indahnya konsep Islam Nusantara. Islam yang ramah dan tidak merusak tradisi (baik) yang sudah ada. Melalui konsep ini pula kita dapat menjadi seorang muslim yang taat dan santun, tanpa kehilangan identitas kita sebagai bangsa Indonesia.

Ajie Najmuddin, Pegiat GP Ansor / Lakpesdam PCNU Boyolali