Opini

Sepak Bola Daster dan Penghakiman dengan Hadits Nabi

Rabu, 5 Maret 2025 | 18:49 WIB

Sepak Bola Daster dan Penghakiman dengan Hadits Nabi

Ilustrasi: LTNU Jawa Barat

Pada bulan Agustus tahun lalu, menjelang pelaksanaan lomba sepak bola daster, seseorang membagikan video di grup WhatsApp kampung. Isinya adalah adegan seorang pemuda yang siap mengikuti lomba. Ia sudah mengenakan daster seperti emak-emak.

 

Pemuda itu kemudian dicegat oleh temannya dan ditanya tentang hukum lomba yang akan diikutinya. Ia menggeleng. Lalu seorang bergaya ustadz muncul di layar, menjatuhkan hukum haram, dan membacakan sebuah hadits tentang tasyabbuh. Video selesai.


Postingan singkat itu ternyata menjadi sihir. Grup yang semula ramai dengan komentar dan yel-yel para supporter mendadak sepi. Panitia yang terdiri dari para pemuda bahkan dikabarkan hendak membatalkan lomba. Acara yang dimaksudkan untuk memeriahkan perayaan kemerdekaan itu berubah menjadi ketakutan. 


Ketakutan itu muncul mungkin karena dalam video itu mencatut hadits Nabi. Kita tahu, hadits adalah informasi yang berisi perkataan, perbuatan atau keputusan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad. Kalau menurut Nabi SAW, perbuatan itu dilarang tentu harus dihindari. Menabrak larangan Nabi adalah pelanggaran. 


Mayoritas umat Islam meyakini hadits sebagai pedoman dan dasar hukum kedua setelah Al-Qur'an. Meski Al-Qur'an merupakan manifestasi dari wahyu Allah, tapi ia tidak selalu memberikan rincian bagaimana sebuah perintah atau ajaran harus dilaksanakan. Rincian-rincian itu bisa ditemukan dari penjelasan atau praktik yang diamalkan Nabi, yang semuanya tercatat dalam kitab-kitab hadits. 


Karena itulah posisi hadits menjadi begitu sentral. Ketakutan dari warga untuk bermain sepak bola daster setelah mendengar ada sabda Nabi yang melarangnya dapat dipahami sebagai bentuk ketaatan dan penghormatan. Siapa sih yang tidak takut kalau dituduh menentang Nabi?  Siapa pula yang rela mau gara-gara mengenakan daster dalam permainan sepak bola, dengan hadiah yang juga tidak seberapa, kelak akan digiring masuk neraka?


Masalahnya, apakah hadits -man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum- (barangsiapa menyerupai satu kaum maka ia bagian dari kaum tersebut) yang dibacakan dalam video itu pas untuk kasus lomba sepak bola daster? Menyerupai dalam hal apakah yang dimaksud dalam hadits tersebut? Dan atas dasar apa sang ustad kemudian memutuskan keharaman sepak bola daster dengan hadits ini? Tidak ada penjelasan itu di video. 


Si Ustad juga tidak memberikan ulasan seputar konteks hadits itu. Padahal pemahaman atas konteks sebuah teks hadits dapat memberikan informasi dalam situasi apa dan mengapa ia muncul. Dengan begitu dapat diperoleh pemahaman yang baik sehingga bisa lebih berhati-hati dalam menerapkannya. Apalagi untuk hadits yang memiliki pengertian umum seperti yang dibacakan sang ustad di video. 


Karena keumuman hadits ini, ia kerap dikutip untuk melarang banyak momen, seperti perayaan tahun baru atau ulang tahun. Bahkan cara berpakaian yang tidak dianggap islami juga dikaitkan dengan bentuk tasyabbuh. Pada tahun 1903 Muhammad Abduh, pembaharu dan grand mufti Mesir pernah dimintai fatwa dari Afrika Selatan tentang beberapa kasus. Salah satunya adalah tentang hukum seorang Muslim memakai topi seperti orang Eropa? Muhammad Abduh, memberikan fatwa, boleh. 


Terbatasnya penjelasan seputar ilmu hadits dan awamnya sebagian masyarakat tentang ilmu ini membuat hadits sering dijadikan sebagai sebuah alat menghakimi (untuk memakai istilah Gus Baha’). Hadits menjadi alat untuk menakut-nakuti kelompok lain. Bahwa ritual yang kamu praktikkan tidak ada dalilnya, tidak islami, bidah, sesat dan lain sebagainya. Bahkan sering juga terdengar seorang ustad mengancam, “Jika kelak di akhirat kalian ditanya oleh Nabi apa dasarnya kalian melakukan sesuatu yang tidak ada teks haditsnya?”


Penghakiman dengan hadits, selain menyempitkan hadits pada bunyi teks, pada gilirannya dapat menimbulkan ketegangan di antara kelompok keagamaan. Dan sedikit banyak kita sudah merasakan situasi ini di sekitar kita.  


Dalam konteks yang lebih luas, hal ini dapat berbahaya. Misalnya, dalam satu sesi majelis taklim Ustad Khalid Basalamah (UKB), seorang bertanya tentang kualitas ungkapan hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman).  Si penanya menyebut ungkapan tersebut sebagai hadits. Dan ia meminta penegasan apakah itu benar hadits daif.


Bukannya menjelaskan duduk perkara kepada penanya bahwa itu bukan hadits, UKB justru memberikan jawaban yang provokatif. Sambil tertawa ia mengatakan bahwa hadits itu palsunya super. Sebuah jawaban yang kemudian disambut dengan tertawa bersama. Saya menduga Ustadz Khalid Basalamah sendiri juga tidak mengerti soal slogan itu, berikut asal-usulnya. 


Persoalan menjadi lebih gawat lagi ketika ia menjelaskan isi hadits tersebut. “Dari mana  cinta tanah air sebagai bagian dari iman itu?” katanya. Kecintaan, nasionalisme terhadap negeri sendiri, menurutnya tidak ada dasarnya dalam agama. Itu bentuk fanatisme. Menurutnya nasionalisme yang sesuai dengan Islam adalah mempertahankan wilayah Islam, tanpa peduli pada sekat-sekat negara.


Pandangan semacam ini, yang diklaim sebagai pandangan islami, berpotensi menggerus kecintaan dan patriotisme anak bangsa terhadap bangsanya. Begitu juga penolakan terhadap tradisi yang berkembang di Masyarakat atas nama pemurnian agama atau ajaran yang murni.


Di tengah tingginya gairah yang meletup-letup seperti sekarang ini penting meningkatkan literasi hadits di kalangan masyarakat Muslim, terutama generasi mudanya. Kehadiran media yang memberikan wawasan pembanding dan perspektif yang lain—seperti yang dilakukan oleh NU Online--juga menjadi kebutuhan strategis. Dengan begitu masyarakat memiliki jangkar yang kuat dalam pemahaman keagamaan. Tanpa itu, kita akan mudah limbung, bahkan oleh soal daster sekalipun.