Opini

Tindakan Main Hakim Sendiri di Garut dan Etika Ramadhan yang Hilang

Rabu, 12 Maret 2025 | 21:18 WIB

Tindakan Main Hakim Sendiri di Garut dan Etika Ramadhan yang Hilang

Ilustrasi pcnucilacap.com

Insiden sweeping warung makan oleh ormas di Garut, yang viral pada awal Maret 2025, bukan fenomena baru di Indonesia. Sejak era kolonial hingga pascareformasi, praktik “main hakim sendiri” (vigilantisme) kerap muncul sebagai bentuk penegakan norma sosial yang dianggap “dilanggar” masyarakat. 


Dalam buku Riots, Pogroms, Jihad: Religious Violence in Indonesia (2006), John T. Sidel mencatat, kekerasan berbasis moral atau agama seringkali dipicu sentimen kolektif yang menganggap pemerintah lamban merespons pelanggaran norma. 


Pada era Orde Baru, misalnya, pemerintah menggunakan aparat untuk menegakkan “ketertiban”, tetapi pascareformasi 1998, kekosongan otoritas negara memicu kelompok masyarakat sipil, termasuk ormas, mengambil alih peran tersebut, seperti kasus sweeping tempat hiburan malam oleh Front Pembela Islam (FPI) di awal 2000-an.  


Dalam konteks Ramadan, tradisi polisi moral “moral policing” ini semakin menguat. Sejarawan Martin van Bruinessen dalam Contemporary Developments in Indonesian Islam (2013) menjelaskan bahwa bulan suci kerap dijadikan momentum menegaskan identitas keislaman secara simbolis, termasuk melalui kontrol terhadap publik. Namun, ketika kontrol ini berubah menjadi kekerasan, seperti di Garut, ia tak hanya melanggar hukum tetapi juga mengikis nilai-nilai Islam yang menekankan kasih sayang (rahmatan lil alamin).  


Vigilantisme Melanggar Hukum dan Etika Kemanusiaan
Aksi sweeping di Garut jelas melanggar hukum. Pasal 170 KUHP tentang penganiayaan dan Pasal 335 tentang pemaksaan dapat dikenakan pada pelaku. Selain itu, UUD 1945 menjamin kebebasan beragama (Pasal 29) dan hak untuk bebas dari perlakuan sewenang-wenang (Pasal 28I). 


Meski Pemda Garut menerbitkan maklumat larangan berjualan siang hari, penindakan bukanlah kewenangan ormas, melainkan Satpol PP dan kepolisian. Hal ini ditegaskan Bupati Garut Abdusy Syakur Amin: “Penindakan pelanggar maklumat adalah kewenangan pemerintah.”  


Vigilantisme juga bertentangan dengan prinsip negara hukum. Pakar hukum Jimly Asshiddiqie dalam bukunya, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia (2022) menegaskan bahwa tindakan main hakim sendiri mencerminkan ketidakhormatan pada proses hukum yang sah. Di Garut, meski ada maklumat larangan berjualan, tidak semua warga Muslim diwajibkan berpuasa. 


Di dalam fiqih sendiri menjelaskan kelompok yang boleh tidak puasa: musafir, orang sakit, ibu hamil/menyusui, dan pekerja berat. Mereka yang minum atau merokok di warung bisa saja termasuk kategori ini, sebuah situasi yang cenderung diabaikan pelaku sweeping.  


Di sisi lain, aksi ormas di Garut lahir dari kegelisahan sebagian masyarakat yang ingin menjaga kesakralan Ramadhan. Dalam tulisannya di Islam and Social Media (2020), Merlyna Lim menjelaskan bahwa bulan puasa seringkali dianggap sebagai momentum kolektif menegaskan identitas keagamaan. Namun, ketika semangat ini diekspresikan melalui kekerasan, ia justru mencederai nilai dan ajaran Islam itu sendiri. Al-Qur’an secara tegas melarang pemaksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah: 256) dan menekankan pentingnya husnuzhan (berprasangka baik).  


Ketua MUI Garut dalam maklumatnya juga telah menyerukan “tolong-menolong dalam kebaikan, bukan kekerasan”. Sayangnya, ormas tersebut gagal menangkap esensi ini. Alih-alih menasihati, mereka memukul dan menghina, tindakan yang justru dianggap ghibah (menggunjing) dalam Islam.  


Ramadhan adalah bulan suci yang dimuliakan umat Islam, bukan hanya karena kewajiban berpuasa, tetapi juga sebagai momentum melatih kesabaran, pengendalian diri, dan meningkatkan kepedulian sosial. Namun, setiap tahun, kita menyaksikan gesekan di ruang publik terkait bagaimana mereka yang berpuasa dan yang tidak berpuasa berinteraksi satu sama lain. Perdebatan ini sering kali berkisar pada persoalan menghormati dan dihormati, yang jika tidak disikapi dengan bijak, dapat memicu ketegangan sosial.


Menghormati Tanpa Memaksa
Dalam masyarakat yang majemuk, toleransi harus berjalan dua arah: mereka yang berpuasa berhak menjalankan ibadahnya dengan khusyuk, sementara mereka yang tidak berpuasa tetap memiliki hak menjalankan aktivitasnya tanpa intimidasi. Untuk mencegah ketegangan yang berulang, perlu ada kesepakatan sosial yang didasarkan pada rasa empati, bukan paksaan.


Bagi mereka yang tidak berpuasa, menghormati yang sedang menjalankan ibadah puasa bisa dilakukan dengan tidak makan, minum, atau merokok di tempat umum. Ini bukan sekadar aturan formal di beberapa daerah, tetapi juga bentuk kepekaan sosial, kita belajar memantaskan diri. Sebagaimana kita tidak akan memutar musik keras di pemakaman atau berbicara kasar di tempat ibadah, tidak makan di depan orang yang berpuasa adalah wujud dari rasa hormat yang mendalam. Jika perlu makan, memilih layanan take away atau makan di ruang tertutup bisa menjadi solusi yang tidak hanya elegan tetapi juga menghindari ketidaknyamanan yang tidak perlu.


Namun, menghormati bukan berarti menghilangkan hak individu. Tidak semua orang yang tidak berpuasa melakukannya karena enggan menjalankan ibadah. Ada yang memiliki uzur syar’i, perempuan hamil atau menyusui, orang sakit, musafir, atau bahkan mereka yang sedang menjalani terapi medis tertentu. Menghakimi mereka tanpa mengetahui alasannya justru bertentangan dengan semangat Ramadhan itu sendiri.


Menahan Prasangka, Menyebarkan Kebaikan
Salah satu ujian utama dalam Ramadhan adalah menahan diri dari prasangka dan kemarahan. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” Artinya, mereka yang berpuasa harus menjadikan bulan Ramadhan sebagai latihan mengendalikan emosi dan menghindari reaksi berlebihan terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Jika melihat seseorang makan di tempat umum, reaksi pertama seharusnya bukan marah, tetapi bertanya dalam hati: Apakah ia memiliki alasan yang sah?


Pendekatan persuasif jauh lebih efektif dibandingkan pemaksaan. Mereka yang berpuasa seharusnya menjadi panutan kebaikan yang mampu mengajak, bukan mengintimidasi. Jika ada individu atau kelompok yang tampak tidak menghormati suasana Ramadhan, cara terbaik adalah memberikan edukasi dengan santun, bukan dengan hukuman sosial, apalagi kekerasan.


Pemerintah dan tokoh agama memiliki peran penting dalam meredam potensi konflik ini. Pemerintah daerah, melalui Satpol PP, bisa tetap menjalankan patroli tetapi dengan pendekatan lebih edukatif dan tanpa unsur intimidasi. Jika ada aturan tentang penutupan warung makan di siang hari, sebaiknya disosialisasikan dengan baik, bukan sekadar dipaksakan dengan ancaman sanksi.


Sementara itu, ulama dan tokoh agama harus terus berusaha mengingatkan, Ramadhan bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga bulan pengendalian diri dari amarah dan tindakan berlebihan. Jika yang berpuasa justru menjadi pihak yang mudah marah dan reaktif, maka esensi Ramadhan bisa hilang dan yang tersisa hanyalah ritual menahan haus dan lapar tanpa makna.


Kembali ke Hakikat Ramadhan 
Kesepakatan sosial tentang etika Ramadhan bukanlah upaya membatasi kebebasan, tetapi cara memastikan bahwa semua pihak dapat menjalankan hak dan kewajiban dengan penuh rasa hormat. Mereka yang tidak berpuasa menunjukkan empati dengan tidak makan di tempat umum, sementara mereka yang berpuasa tidak terburu-buru menghakimi atau memaksa orang lain mengikuti keyakinannya.


Dalam masyarakat yang beragam, perbedaan bukan justru dipertajam, tetapi dikelola dengan kearifan. Jika Ramadhan adalah bulan latihan menahan diri, maka ujian sejatinya bukan hanya menahan lapar, tetapi juga menahan diri dari tindakan yang justru menjauhkan kita dari semangat toleransi dan kasih sayang yang diajarkan Islam.


Insiden Garut mengingatkan kita, kekerasan atas nama agama adalah pengingkaran terhadap peradaban. Sejarah menunjukkan, masyarakat maju dibangun melalui hukum, dialog, dan empati, bukan paksaan apalagi kekerasan. Mari jadikan Ramadhan sebagai bulan melatih kesabaran, bukan main hakim sendiri. Sebab, seperti pesan Bupati Syakur: “Semua harus menahan diri.”  


 Abi S Nugroho, Anggota Pengurus Lakpesdam PBNU