Opini

Mengkader dengan Kalender

Senin, 12 Februari 2018 | 13:34 WIB

Oleh Abdullah Alawi

Saat saya tidur senyenyak-nyenyaknya, nyenyak di atas nyenyak, tiba-tiba seseorang membangunkan paksa sepaksa-paksanya. Tak hanya itu, dalam keadaan setengah bangun setengah tidur, seseorang itu, tanpa merasa berdosa, menunjukkan sebuah gambar kepada saya. Di luar dugaan, ia lalu bertanya, ini gambar siapa? 

Jika gambar yang ditunjukkan itu adalah KHR. As’ad Syamsul Arifin, yang kepalanya dibalut sorban belang hitam putih, maka saya akan menjawabnya dengan jitu. Tak mungkin meleset sama sekali. Saya tidak akan mungkin menyebutnya Khalid Basalamah apalagi tertukar dengan Zakir Naik. Bahkan, terhadap kedua orang ini, saya tidak begitu awas karena tidak penah memiliki ingatan terkait masa kecil dan bilik rumah. 

Lain lagi dengan Kiai As’ad. Saat bocah, saya sudah melihatnya. Ia selama setahun di rumah saya. Ya, saya tahu Kiai As’ad dari kalender di bilik rumah saya. Ia sebulan terpampang di muka bergantian dengan kiai-kiai lain. Di bagian muka ada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Sansoeri. Pokoknya gambar para orang tua lengkap tahun lahir dan meninggalnya. Mereka, kalau tidak dibalut serban, ya berkopiah hitam. 

Di bagian atas kalender itu, ada bola dunia yang ditindih huruf-huruf rangkaian aksara Arab yang entah apa bacaan dan maknanya. Itu ada di setiap halaman.  

Lalu ketika tahun berganti, saya berharap ayah mengganti kalender seperti di bilik tetangga yang penuh dengan gambar mengkilap, perempuan-perempuan beranting menjuntai panjang atau seperti gelang yang tak umum dikenakan di kampung. 

Saya ingin seperti di kalender tetangga bergambar perempuan-perempuan kota, yang di kemudian hari saya setelah saya bisa membaca, mereka adalah Yana Zein, Ana Maria, Nia Daniati, Meriam Belina dan kawan-kawan. Kalau bukan itu, saya berharap gambar pemandangan dari tempat-tempat eksotis atau kemegahan gedung-gedung atau keindahan kaligrafi dan masjid. Pokoknya berbeda dengan tahun lalu.

Namun, itu hanya harapan, ketika memasuki Januari, ayah menempel gambar para orang tua itu. Persis seperti tahun kemarin. Hanya berbeda tahun dan pergeseran angka. 

Saat saya agak besar sedikit, muncul pertanyaan, apa untungnya menempel para orang tua? Siapa sebenarnya mereka itu? Apa perannya? Apa hebatnya dari Yana Zein? 

Bodohnya, saya tidak bertanya kepada siapa pun, termasuk ayah. Sementara Ayah juga sepertinya tidak pernah merasa perlu menjelaskan. Ia mungkin mengharapkan saya mencari tahu sendiri dengan cara sendiri. 

Hingga mendekati 1997, saat akhir saya Sekolah Dasar, ayah menyebut-nyebut Gus Dur. Entah dari mana ia mendapatkan info itu. Yang jelas, ia menyebutnya sebagai orang cerdas, kiai jempolan. Ketika tahun 1999, televisi menyebut-nyebut Gus Dur sebagai presiden. Ketika Abdurrahman Wahid juga disebut, saya baru sadar, ternyata itu dua nama untuk orang sama. Saat itu pula saya baru sadar bahwa Gus Dur tertempel di kalender saya di halaman akhir. 

Waktu itu, baru saya merasa bangga ternyata kalender di rumah saya tidak sembarangan, ada yang jadi presiden. 

Kaderisasi sedari dini
Hingga bulan kedua tahun ini, Toko NU Online masih menerima pemesanan kalender yang diterbitkan Lajnah Falakiyah PBNU dan PBNU sendiri. Memang tidak sebanyak Desember dan Januari. Lembaga-lembaga lain seperti Lembaga Takmir Masjid PBNU, LP Ma’arif PBNU juga menerbitkan kalender untuk dibagi-bagikan ke pengurus di daerah-daerah. Sementara di daerah-daerah sendiri juga menerbitkannya yang dibagikan atau dijual kepada warga NU. 

Apa pentingnya kalender dalam bentuk cetak saat ini? Bukankah yang serba cetak itu telah ketinggalan? Bukankah tanggal-tanggal sudah tersedia dan bisa dibawa kemana-mana di ponsel?

Sebetulnya, bukan pada tanggal-tanggal itu yang terpenting, tapi gambar tokoh-tokoh NU. Bagi keluarga yang memiliki anak-anak, gambar tokoh-tokoh itu satu jalan kaderisasi sejak dini secara alamiah. Gambar-gambar itu akan menancap kuat dalam ingatan. Setelah menancap, anak akan mempertanyakan, mencari tahu, dan mudah-mudahan meniru perjuangan para tokoh itu setelah dewasa. Kemudian syukur-syukur bisa aktif melanjutkan perjuangan itu. 

Dengan demikian, tidak harus melulu kalender, tapi memperkenalkan gambar tokoh sejak dini. Jika itu dilakukan, saat tidur nyenyak dibangunkan, lalu ditanya, ini gambar siapa, ia akan bisa menjawabnya dengan benar. Namun, sekali lagi, itu bukan yang terpenting, melainkan bagaimana meniru, mengembangkan, melanjutkan perjuangan tokoh-tokoh pada kalender itu. 


Penulis adalah warga NU kelahiran Sukabumi yang dikader kalender