Opini

NU, Islam dan Agenda Perdamaian Global

Senin, 4 Agustus 2008 | 06:04 WIB

Oleh Munawir Aziz

Kedamaian global tak hanya bersembunyi dalam angan-angan umat muslim di penjuru dunia. Gerakan konkret untuk mengukuhkan fondasi Islam rahmatan lil alamin dalam letupan ajaran Islam, menjadi tanggung jawab penting yang harus dilaksanakan. Perlu agenda kreatif yang mendukung kampanye perdamaian seluruh umat dan penghentian tindak kekerasan, radikalisme dan permusuhan yang menggejala di berbagai medan geografis dan ruang zaman.

Semangat inilah yang menjadi amunisi utama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam menyelenggarakan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) ke-3 pada 29 Juli hingga 01 Agustus 2008 lalu. Forum internasional cendekiawan dan ulama muslim ini mengambil tema, “Upholding Islam Rahmatan lil Alamin: Peace Building and Conflict Prefention in the Muslim World&a<>mp;rdquo;.

Tema itu dimaksudkan sebagai media untuk mengupayakan penyelesaian konflik di sejumlah negara Muslim, atau yang melibatkan kelompok muslim. Sejumlah cendekiawan muslim dari berbagai negara di Timur Tengah, Eropa, Amerika, Afrika, Australia dan Asia Tenggara hadir dalam forum ini. Tentu, sesuai dengan tema utama, forum ini sangat penting dalam menyikapi konflik yang tak kunjung selesai di beberapa negara muslim, seperti Afghanistan, Irak, Sudan, konflik Palestina-Israel, gesekan-gesekan politik di negara Iran, bahkan sengkarut permusuhan di Thailand, Filipina Selatan dan Mindanao.

Ketua Umum PBNU yang juga Sekretaris Jenderal ICIS, KH Hasyim Muzadi menandaskan, hasil rekomendasi ICIS III akan ditujukan pada seluruh pihak, yang terbentang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Konferensi Islam, pemimpin muslim dan umat Islam di seluruh penjuru dunia. Menurut Hasyim, ICIS III diupayakan untuk mencari titik kesamaan persepsi tentang konflik yang mendera dan melibatkan beberapa negara muslim. Perbedaan persepsi selama ini, terlebih pascaperistiwa 11 September 2001, menyebabkan kesalahan paradigma berpikir dan sikap terhadap konflik, sehingga dalam medan konflik, muncul penilaian bahwa yang ‘menyerang’ itu disebut teroris dan yang ‘diserang’ kemudian melawan disebut ekstrimis.

Dalam catatan sejarah, agenda ICIS yang terselenggara secara rutin, menjadi bukti komitmen PBNU sebagai mediator agenda perdamaian internasional. Sebelumnya, pada penyelenggaraan ICIS I, 23-25 Pebruari 2004, di Jakarta, cendekiawan muslim di berbagai penjuru sepakat untuk mengampanyekan kedamaian antar-umat manusia di muka bumi. Kampanye kedamaian ini menembus zona agama, geografi, etnik dan ideologi.

Sedangkan ICIS II, pada 20-23 Juni 2006, penuh rekomendasi untuk menyelesaikan konflik di berbagai negara muslim secepatnya. Pada forum ICIS II, juga muncul dorongan kepada negara muslim yang kaya untuk memberikan zakat sebagai dana pendidikan dan persamaan hak kemanusiaan. Selain itu, ulama dan cendekiawan muslim se-dunia juga telah sepakat untuk meredam konflik global secara kongkret dan efektif.

ICIS III, gerakan untuk meredam konflik global yang terhadi dalam zona geografis negara muslim maupun melibatkan warga negeri muslim, semakin menggema. Kesepakatan yang diambil diharapkan berbuah konkret dan aplikatif, tidak berjajar di rel wacana.

Letupan Konflik
Selama ini, agama seringkali menjadi pihak yang dipersalahkan ketika konflik meledak. Momentum persengketaan dan permusuhan yang terjadi di beberapa negara, berimbas pada agama. Di berbagai medan konflik, warga muslim sering menjadi pihak tertindas. Kaum muslim menjadi kelompok besar yang diam di tengah medan konflik, yang tak dapat menyuarakan aspirasi dan argumentasi secara proporsional. Karena, akses informasi dan relasi kuasa sangat terbatas.

Agama telah berubah sebagai muara konflik yang menggerus kedamaian hidup. Pada titik inilah, terjadi paradoks kehidupan. Konflik yang berkobar, bukan merupakan masalah keagamaan semata. Krisis ekonomi, kericuhan politik dan ketidakadilan konsep hukum di berbagai daerah, memicu meluasnya konflik. Akar persoalan yang sebenarnya tidak terungkap secara nyata, justru agama menjadi topeng untuk menutupi penyebab permusuhan.

Agama seakan menjadi muara terakhir dalam letupan konflik, hingga menyebabkan wajah agama semakin kusam. Kampanye untuk mengubah ketimpangan paradigma berpikir inilah yang seharusnya dilakukan secara konsisten. Dengan demikian, akar masalah yang menyebabkan meletupnya konflik, dapat segera teridentifikasi dan diselesaikan dengan komprehensif.

Gerakan Konkret
Dengan demikian, dalam mengukuhkan semangat Islam rahmatan lil alamin, gerakan konkret untuk membuka ruang dialog antarberbagai komponen perlu diusahakan. Jejaring ulama dan cendekiawan muslim, dalam forum ICIS III, sangat strategis untuk merumuskan pendekatan kultural penyelesaian konflik. Di samping itu, kekuatan relasi ulama yang berfondasi pada kearifan kultural, dapat bersinergi dengan kekuatan politik pemerintahan di berbagai negara. Ratusan cendekiawan dan ulama yang berdialog di forum ICIS III, juga perlu mendorong terciptanya kemerdekaan informasi bagi kaum muslim. Bahkan, jika perlu membangun perusahaan media (cetak dan elektronik) yang bonafid, profesional dan jujur. Sehingga, kaum muslim menjadi subyek dalam penyampaian informasi dan tak lagi tertindas dalam pemberitaan.

Forum ICIS III ini, selayaknya menggemakan gerakan progresif, menampilkan visi kemanusiaan yang jauh ke depan, mencari celah dalam tembok tebal fanatisme ideologi, membangkitkan etos jihad (fisik), ijtihad (intelektual), dan mujahadah (spiritual) dalam ranah kehidupan kaum muslim secara komprehensif. Gagasan cemerlang penyelesaian konflik tak hanya bertengger pada konsep. Juga, bukan kalimat indah yang berhimpun di secarik kertas kesepakatan. Aktualisasi konsep menjadi starting point untuk mengukuhkan perdamaian global.

Di tengah medan konflik yang semakin memanas, kaum muslim diharapkan bangkit untuk mengumpulkan remah-remah impian. Persatuan umat muslim mutlak diperlukan, untuk menggerakkan kekuatan Islam secara utuh. Syeikh Musthofa Gholayaini, dalam Iddhotun Nasyi’in, menjelaskan bahwa umat masa lampau mampu mengukir prestasi gemilang karena menggerakkan cita-cita dan memaksimalkan aksi di lapangan dengan kekuatan terbaik.

Untuk mengukuhkan konsep perdamaian kemanusiaan, kaum muslim diharapkan mengekspresikan nilai toleransi dan moderasi dalam jejak langkahnya. Dengan demikian, jejak perdamaian global yang ditorehkan kaum muslim masa Rasulullah dapat direngkuh kembali. Di bawah kepemimpinan Rasulullah dan para khalifah, umat Islam berkembang secara reflektif sebagai—meminjam istilah Barry Knight (2002)—good society. Lanskap pemikiran inilah yang seharusnya menjadi basis pemikiran kaum muslim dalam setiap relung waktu.

Forum ICIS III kali ini, dapat menjadi lilin yang memberikan cahaya di tengah gelapnya konflik dan pertikaian global yang berlarut-larut dalam napas zaman.

Penulis adalah Pemikir Muda NU, Peneliti pada Center for Pesantren and Democracy Studies, Jakarta