Opini ESAI RAMADHAN

Perbedaan Ma’had Aly dan Perguruan Tinggi Islam Lainnya

Jumat, 31 Maret 2023 | 13:00 WIB

Perbedaan Ma’had Aly dan Perguruan Tinggi Islam Lainnya

Ma’had Aly diharapkan mengisi kekosongan calon sarjana yang memiliki kualifikasi keilmuan kitab kuning yang mumpuni. (Foto ilustrasi: Kemenag/Elik Ragil)

Ma'had Aly merupakan satuan pendidikan yang berada di lingkungan pesantren yang ijazahnya setara dengan pendidikan tinggi lainnya di Indonesia. Dalam konteks Indonesia, Ma’had Aly memiliki sejumlah kemiripan dengan pendidikan tinggi yang dikelola oleh Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. Misalnya, keduanya memiliki penjenjangan berupa strata satu untuk tingkat sarjana yang dalam Ma’had Aly disebut marhalah ula. Strata dua untuk tingkat master dan strata tiga untuk tingkat doktor.


Meski demikian, bukan berarti Ma’had Aly benar-benar sama dengan perguruan tinggi keagamaan Islam yang berada di bawah institusi negeri seperti UIN, IAIN, IAI, dan sejumlah institusi swasta lainnya.  Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Agama nomor 71 tahun 2015 pada pasal 2 yang menjelaskan tujuan didirikannya Ma'had Aly, bahwa pendidikan Ma'had Aly bertujuan untuk dua hal:


1. menciptakan lulusan yang ahli dalam bidang ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin); dan


2. mengembangkan ilmu agama Islam berbasis kitab kuning.


Dari PMA di atas terlihat arah pengembangan keilmuan yang menjadi fokus di sejumlah Ma’had Aly. Rumpun ilmu yang dikembangkan berfokus pada pendalaman ilmu-ilmu keislaman, seperti Al-Qur'an dan Ilmu Al-Qur'an, Tafsir dan Ilmu Tafsir, Hadits dan Ilmu Hadits, Fiqh dan Ushul Fiqh, Akidah dan Filsafat Islam, Tasawuf dan Tarekat, Ilmu Falak, Sejarah dan Peradaban Islam, dan Bahasa dan Sastra Arab.


Bukankah takhassus (spesialisasi) di atas juga sudah berjalan di perguruan tinggi keagamaan Islam dalam bentuk program studi? Betul. Akan tetapi Ma’had Aly memiliki basis dan penekanan pada penguatan kitab kuning.


Selain itu aspek tenaga pengajar di Ma’had Aly juga cukup berbeda dengan tenaga pengajar di tempat lain. Merujuk pada Peraturan Menteri Agama nomor 71 tahun 2015 tentang Ma’had Aly disebutkan bahwa dosen atau tenaga pengajar boleh berasal dari lulusan pesantren sepanjang dinilai memenuhi kualifikasi dan kompetensi/orang yang memiliki keahlian dan/atau prestasi luar biasa. Hal ini merupakan bagian dari ikhtiar pemerintah Indonesia dalam melakukan rekognisi terhadap pesantren dengan tanpa melakukan intervensi secara jauh.


Sedangkan dari sudut mahasantri, syarat kualifikasi dan kompetensi mahasantrinya memiliki kemampuan hafalan Al-Qur’an, hadits, dan kemampuan membaca teks-teks Arab yang menjadi materi ajar dalam kurikulum Ma’had Aly.


Sekilas Sejarah Pendirian Ma’had Aly

Sejarah berdirinya Ma'had Aly di pesantren tidak bisa dilepaskan dari inisiatif KH R. As'ad Syamsul Arifin. Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo ini memprakarsai berdirinya Ma'had Aly pertama di Indonesia. Pada tahun 1990, Ma'had Aly yang memiliki takhassus di bidang ilmu fiqih dan ushul fiqih ini berdiri. Pada tahun-tahun berikutnya sejumlah pondok pesantren mengikuti  apa yang telah dilakukan oleh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo dengan mendirikan Ma’had Aly dengan takhasusnya masing-masing.


Meski sudah cukup lama berjalan di pondok pesantren, Ma’had Aly baru diakui oleh negara pada tahun 2015. Berdasarkan amanat PP nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, UU nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, PMA nomor 13 tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, dan PMA nomor 71 tahun 2015 tentang Ma’had Aly, terdapat 13 Ma’had Aly se-Indonesia yang diberi SK Izin Operasional.


Mencetak Mutafaqqih Fiddin

Berdirinya Ma’had Aly tidak bisa dilepaskan dari keinginan para kiai pondok pesantren untuk dapat mencetak kader-kader ulama Indonesia yang memiliki kompetensi mumpuni dalam bidang keilmuan Islam. Di sisi lain, terjadi penurunan kualitas akan peran dan dan fungsi pesantren dalam menghasilkan lulusan yang ahli dalam bidang tertentu. Dulu, setiap pesantren memiliki keahlian tertentu sebagaimana keahlian yang dimiliki oleh pengasuhnya. Misalnya, pesantren A dianggap sebagai pusat keilmuan tafsir karena pengasuhnya adalah seorang ulama ahli tafsir. Pesantren B dengan kualifikasi keilmuan kiainya yang pakar di bidang hadits menjadikan pesantren tersebut sebagai pusat studi hadits. Namun, belakangan pondok pesantren yang memiliki takhassus demikian sudah sangat langka. Untuk itu, keberadaan Ma’had Aly salah satunya adalah mengupayakan kembali adanya pondok-pondok pesantren yang memiliki takhassus bidang keilmuan Islam tertentu.


Selain itu, keberadaan Ma’had Aly yang statusnya setara dengan perguruan tinggi lain di lingkungan Kementerian Agama diharapkan mengisi kekosongan calon sarjana yang memiliki kualifikasi keilmuan kitab kuning mumpuni. Ma’had Aly diharapkan menjadi lembaga “kawah candradimuka” bagi kader-kader ulama Indonesia yang bukan saja ahli dalam menelisik literatur-literatur keislaman, melainkan juga mampu mengontekstualisasikannya dengan kehidupan sehari-hari serta dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Oleh karena itu, Ma’had Aly menjadi salah satu satuan pendidikan tinggi di Indonesia yang memiliki kelebihan dari sisi-sisi tersebut. Tentu hal tersebut bisa terwujud melalui kerja sama antarpihak (stakeholder) yang baik dalam merumuskan dan mengawal jenjang pendidikan ini. 
 


Waryono Abdul Ghofur, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI