Opini

Seruan yang Mendamaikan Umat dan Bangsa

Rabu, 3 Mei 2017 | 01:26 WIB

Oleh Suwendi
Pada 28 April 2017 yang lalu, Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin, mengeluarkan “Seruan Ceramah di Rumah Ibadah” yang terdiri atas 9 (sembilan) butir. Seruan Menteri Agama ini mengajak dan meminta kepada seluruh eleman bangsa bersama-sama mensyukuri dan merawat persatuan umat dan bangsa yang telah dibina selama ini. Persatuan hanya dapat direalisasikan pada saat kondisi kedamaian dan kerukunan umat beragama dan negara dapat berlangsung dengan baik. Tentu, seruan ini membuat kita menjadi tenteram dan damai.

Seruan Menteri Agama, dalam pandangan penulis, memiliki makna yang sangat strategis, terutama dalam beberapa hal berikut.

Pertama, secara konteks sosial dan politik, bangsa Indonesia dihadapkan dengan semakin menjamurnya pemahaman keagamaan radikal, bukan hanya pada Islam saja tetapi juga di sebagian agama lainnya, yang justru atas nama agamanya mengajarkan kebencian dan merendahkan harkat martabat kemanusiaan. Ujaran kebencian dan saling mengkafir-bid’ahkan antarsesama umat beragama jamak terdengar dan terlihat di mimbar-mimbar keagamaan, hatta khutbah Jumat yang sakral pun tak luput dari umpatan kebencian ini.

Kepentingan untuk meraih target politik-pun sering terlihat dalam mimbar agama itu, apapun agamanya. Alih-alih untuk mencerdaskan dan membimbing umat ke kondisi yang damai, jamaah seringkali digiring pada penanaman benih kebencian dan caci-maki antar lawan politik. Jika dalam koteks pilkada DKI Jakarta saja sudah sedemikian dahsyatnya energi bangsa ini dalam menetralisasi persoalan politisasi agama, maka tidak ayal jika kekuatan politisasi agama ini pun akan semakin kembali mencuat terutama menjelang pilpres 2019, yang sebentar lagi akan dimulai. Oleh karenanya, menurut hemat penulis, seruan ini mendapatkan momentumnya yang sangat pas agar umat beragama dapat menggunakan fasilitas keagamaannya itu secara dewasa dan cerdas.

Kedua, seruan Menteri Agama itu mengingatkan kembali kepada seluruh anak bangsa terhadap hakikat dirinya, baik sebagai orang yang beragama maupun sebagai warga negara-bangsa Indonesia. Agama dan kebangsaan keduanya tidak dapat dilepaskan dalam diri anak negeri ini. Sebagai seorang yang beragama, ia harus mampu menjaga nama baik agamanya yang mengajarkan agar menghormati kepada umat agama selainnya, yang sama-sama mempercayai akan kebaikan-kebaikan dalam keyakinan agamanya. Sebagai warga negara Indonesia, ia menyadari betul bahwa Indonesia ini adalah gugusan kesatuan yang terdiri atas aneka ragam budaya, bahasa, adat-istiadat, dan agama yang berbeda. Keanekaragaman itu menjadi ciri khas Indonesia. Indonesia adalah Indonesia, bukanlah negara di belahan dunia lainnya, Timur atau Barat. Semua keaneragaman itu menjadi kekuatan yang dirakit dalam satu ideologi kebangsaan, yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karenanya, amatlah tepat bahwa ceramah agama harus mampu memberikan pencerahan tidak hanya spiritual, intelektual, dan emosional, tetapi juga multikultural.

Seruan Menteri Agama itu bukan hanya diserukan kepada salah satu agama saja, tetapi seluruh agama dan umatnya di Indonesia. Sebagai Menteri Agama, ia tidak hanya berkewajiban untuk mengelola salah satu agama tertentu saja, tetapi ia harus mampu menjalankan kewajibannya dalam memelihara agama-agama lainnya. Ia adalah menteri untuk semua agama. Dalam konteks itu, semua agama dalam ceramahnya diminta untuk tidak mempersoalkan atau menyajikan materi yang bertentangan dengan empat konsensus bangsa Indonesia, yaitu: Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Empat konsensus bangsa Indonesia ini merupakan harga mati bagi semua orang yang ingin hidup di negeri Nusantara ini. Siapapun yang menggugat kembali atas empat pilar bangsa itu artinya ia berhadapan dengan seluruh eleman bangsa ini.  

Ketiga, seruan Menteri Agama ini memberikan evaluasi bagi seluruh umat beragama bahwa ceramah agama mau tidak mau, suka dan tidak suka, harus disampaikan oleh penceramah yang memiliki pengetahuan keagamaan yang memadai dan bersumber dari ajaran pokok agama. Jika diibaratkan, penceramah agama itu sama halnya dengan dokter. Dokter baru bisa memiliki izin praktek dan mampu memberikan resep dan dosis obat  yang tepat jika ia telah memiliki pengetahuan dan pendidikan yang memadai. Jika ada dokter yang tidak berkompeten, niscaya akan berakibat fatal pada pasiennya. Demikian halnya dengan penceramah agama, tanpa pengetahuan yang memadai maka dapat dipastikan umat yang ceramahinya akan mendapatkan wawasan keagamaan yang kurang tepat. Bukannya kedamaian yang diperoleh, tetapi kegelisahan dan persengketaan sosial yang didapat. 

Sebagai penceramah yang memiliki pengetahuan keagamaan yang baik, tentu ia akan memiliki bahan bacaan yang matang dan bersumber dari literatur-literatur keagamaan valid. Bukanlah penceramah agama yang handal jika ia hanya hafal  satu-dua ayat berdasarkan pada pemahaman sepintas dari terjemahan, apalagi searching di google, dengan tanpa memiliki seperangkat metodologi ilmu keagamaan yang baik. Oleh karenanya, perlu saatnya untuk melakukan otokritik dari lembaga agama dan keagamaan dan desain yang disepakati untuk membangun penceramah agama yang mumpuni.

Seruan ini agaknya juga memberikan koreksi kepada seluruh penyelenggara dan pemangku kebijakan pendidikan, bahwa guru dan dosen yang mengajarkan mata-mata pelajaran agama harus diberikan oleh guru dan dosen-dosen yang memiliki latar belakang pendidikan agama yang baik. Jika tidak demikian, niscaya yang terjadi adalah pendangkalan agama sehingga sangat mudah terbawa oleh pemikiran dan gerakan radikalisasi agama.  

Keempat, sebagai Menteri yang bertanggung jawab di bidang agama, tentu ia tidak dapat melakukan peran-peran di luar batas kewenangannya. Sebagai Menteri Agama ia berkewajiban untuk menciptakan kondisi umat agama dan kerukunan umat beragama agar dapat berjalan dengan baik. Adapun persoalan hukum dan tindakan tegas yang berimplikasi secara hukum tentu itu menjadi domain dari lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan. Menteri Agama bukanlah menteri sapu jagat yang memiliki kekuatan super-power, apapun bisa dilakukannya. Namun demikian, Menteri Agama mendesak agar penceramah agama harus tunduk dan taat pada ketentuan hukum yang berlaku baik yang terkait dengan penyiaran keagamaan maupun penggunaan rumah ibadah, sebagaimana tercermin dalam seruan Menteri Agama itu. Sejumlah perangkat dan noram-norma hukum terkait dengan penceramah yang berlawanan secara hukum tentu dapat ditindaklanjuti dan diproses melalui mekanisme hukum yang berlaku. Dengan demikian, seruan ini memang tepat sesuai koridor dan batas kewenangan Menteri Agama.

‘Ala kulli hal, seruan Menteri Agama ini perlu untuk diamini dan dipedomani oleh semua pihak. Sebab, secara substantif, seruan ini mengajak kita semua untuk melakukan kedamaian melalui mimbar agama.  Jadikanlah mimbar-mibar agama yang suci itu sesuai dengan tujuan utama diturunkannya agama, yakni melindungi harkat dan martabat kemanusiaan, serta menjaga kelangsungan hidup dan peradamaian umat manusia, jangan dikotori dengan umpatan dan caci makian yang justeru menghilangkan kesucian mimbar dan hakikat agama itu sendiri. Semoga.

Penulis adalah doktor pendidikan islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta