Opini

Sulitnya Kesadaran Hidup Damai di Timur Tengah

Senin, 19 Januari 2009 | 23:00 WIB

Oleh Moh Fairuz Ad-Dailami

Hamas adalah faksi politik terbesar di Palestina yang kuat akan doktrin perangnya, lebih-lebih menyangkut masalah ideologis terhadap suatu kebenaran yang mereka yakini. Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik di Timur Tengah (Timteng) antara Israel dan Palestina sedikit banyak terkait oleh faksi politik ini.

Sementara, Israel juga tidak jauh beda, bahwa menganggap masyarakat Palestina tak ubahnya seperti “musuh abadi” sebagaimana mereka yakini dalam kitab suci. Cara berpikir masing-masing pihak seperti inilah yang menjadikan konflik di Timteng tidak dapat dihindari.<>

Untuk mengetahui seberapa sering konflik di Timur Tengah itu akan terjadi, maka mau tidak mau kita harus mengenal karakter masyarakat yang bersangkutan. Itu mengapa konflik Israel dan Palestina seolah sulit untuk dicarikan solusi terangnya, bahkan jalan perang pun akan ditempuh selama menyangkut kebenaran masing-masing pihak yakini.

Kenyataannya, faksi politik Hamas yang “seradikal” itu justru mendapatkan dukungan penuh oleh masyarakat Palestina. Bahkan, menurut survei, masyarakat Palestina dalam prosesi pemilunya, secara mengejutkan, 80 persen dari total suara yang masuk semuanya mendukung Hamas.

Aspirasi masyarakat terhadap suatu kelompok faksi politik merupakan sebuah dukungan sekaligus penggambaran karakter suatu masyarakat itu. Jadi, kelompok Hamas yang “suka perang” dan jauh dari cara-cara diplomasi itu, secara tidak langsung merupakan representasi dari kelompok masyarakat yang ada. Dan, semua bentuk “pertarungan” ini tidak lain demi kepentingan nasional masing-masing negara.

Kepentingan Nasional

Bagaimana mengetahui kepentingan nasional (national interest) suatu negara, dalam studi hubungan internasional sendiri ada beberapa pendekatan. Di antaranya adalah tergantung posisi pengamat untuk meletakkan cara pandangnya memilih neo-realisme atau neo-liberalisme.

Dua teori ini adalah sama-sama relevannya sampai saat ini untuk memetakan perilaku suatu negara dan juga kebijakan politik luar negerinya. Semua tentunya tidak terlepas dari kepentingan nasional negara masing-masing. Itu mengapa, kedua teori ini dalam dialektikanya banyak melahirkan kritik keras satu sama lain.

Penyerangan Israel ke Gaza tanpa jalur negosiasi merupakan pendekatan militeristik yang digunakan kaum neo-realisme dalam upaya memberikan perlindungan bagi masyarakat sipil Israel terkait masalah kepentinagan nasional. Hal ini tidak jauh beda dengan perilaku Palestina itu sendiri dengan kelompok faksi Hamas-nya. Jadi, pada dasarnya, antara Palestina dan Israel sama-sama menggunakan cara pandang yang doktrinnya jauh dari kata “damai” dan upaya diplomasi itu.

Bagaimana mungkin negosiasi antara dua negara itu dapat terwujud untuk menciptakan tatanan kehidupan antar-bangsa yang damai, jika masyarakatnya sendiri mempunyai karakter yang sulit untuk didamaikan. Belum lagi masalah ini semakin diperkeruh dengan sentimen ideologi (agama) maupun “dendam lama” yang selalu mewarnai pola pikir masyarakat kedua negara yang saling bertikai itu.

Jadi, lengkaplah konflik ini akan berkelanjutan sampai salah satu di antara mereka benar-benar ada yang lumpuh, tumbang, dan kalah. Dan, ini adalah harga mahal yang harus dibayar, khususnya bagi masyarakat sipil yang secara tidak langsung “dilibatkan” pada peperangan antarnegara tersebut.

PBB selaku badan dunia yang merupakan pengejawantahan dari institutional liberalism dari konsepsi neo-liberalisme sebagai penjaga keamanan dunia pun kenyataannya tidak sesuai apa yang digariskan. Tetap saja akan kesulitan mencari resolusi seperti apa bagi keduanya yang dapat diterima semua pihak. Sebagus apa pun rancangan resolusi yang ditawarkan, hal itu akan menjadi tidak efektif dan berfungsi guna ketika dihadapkan pada karakter masyarakat yang disebut Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) adalah masyarakat “konservatif” dan realis itu.

Perang dan damai adalah dua hal yang memang benar adanya, namun seberapa besar dari salah satu mana yang akan mendominasi tergantung masyarakat dalam cara berpikirnya. Adalah bagaimna tetap mempertahankan kepentingan nasional namun dengan cara yang damai dan pendekatan yang manusiawi merupakan jalan efektif untuk menciptakan tatanan kehidupan antar-negara yang damai.

Impian Umat Manusia

Tampaknya untuk menciptakan tatanan kehidupan bersama dalam konteks pergaulan antar-bangsa yang aman dan damai, memerlukan gelombang kesadaran yang besar oleh semua lapisan masyarakat dunia. Mereka harus sadar bahwa dalam hirarki paling tinggi terkait bagian dari masyarakat internasional, kesatuan frame dalam paradigma bahwa tiap-tiap individu merupakan hubungan persaudaran yang terikat meskipun lintas benua, agama, ras, suku, entis, dan bahasa adalah kunci mewujudkan cita-cita manusia yang berkeadaban.

Mungkin kedengarannya terlalu utopis sebagaimana kaum liberalis. Namun, cara berpikir apa lagi yang mampu menciptakan tatanan kehidupan dunia yang harmonis selain pendekatan di atas? Adalah suatu kebenaran bahwa fitrah manusia merindukan suasana kehidupan surga dan bagaimana menghadirkannya ke dunia sebagai impian seluruh umat manusia sebagaimana fungsi guna tertinggi dalam kehidupan beragama (QS: Al-Hujarat, 13).

Penulis adalah Peneliti pada Pusat Kajian Hubungan Internasional, Studi Kawasan Timur-Tengah, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta