Opini

Tantangan Pengelola Perguruan Tinggi Islam

Senin, 12 Maret 2018 | 11:00 WIB

Oleh  Asmawi

Sejumlah gelar di Perguruan Tinggi Keagamaan berubah lagi pasca keluarnya Keputusan Menteri Agama no.13 tahun 2016 tentang gelar sarjana, baik sarjana, magister atau doktor. Gelar sarjana yang semula Sarjana Syariah, S.Sy menjadi Sarjana Hukum, S.H, gelar magister dari Magister Syariah, M.Sy menjadi M.H, dan yang gelar doktor tetap seperti semula. 

Ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pengkaji dan peminat studi hukum, baik hukum Islam maupun hukum umum, dari kalangan calon mahasiswa, pengelola perguruan tinggi, praktisi hukum maupun alumninya; mengingat gelar akademik yang tertuang dalam aturan menteri agama tersebut sudah tidak membedakan lagi antara Sarjana Hukum Islam atau sarjana dari keluaran perguruan tinggi umum. Mereka sama-sama menyandang gelar Sarjana Hukum (S.H), Magister Hukum (M.H), atau doktor.   

Selama ini, diakui atau tidak, para peminat hukum Islam dipersepsikan sebagai kelompok kelas dua dalam belantara kajian hukum di Indonesia. Apakah itu dalam ranah akademik di perguruan tinggi, tamatan yang tidak begitu legitimate, maupun dalam komunitas penegak hukum yang telah didominasi oleh para pengkaji dari tamatan perguruan tinggi umum dan program studi Ilmu Hukum. 

Dikotomi semacam ini sebenarnya terjadi secara alamiyah, artinya tidak direkayasa, dan dikarenakan studi hukum Islam beserta produknya belum sepenuhnya diakui sebagai hukum positif di Indonesia. Akhirnya peminat studi hukum Islam dan praktisinya mengalami under estimate terhadap alumni studi hukum Islam. Contohnya di pengadilan, kejaksaan, maupun Mahkamah Agung, formasi-formasi yang ditawarkan selalu saja menomorduakan alumni dari Program Studi Hukum Islam. 

Dari kacamata politik hukum Indonesia, memang para regulator dan legislator yang membuat aturan-aturan hukum yang berlaku di Indonesia, sudah mempersepsikan kurang baik terhadap materi Hukum Islam. Kadang hukum Islam dinilai ekstrem, radikal, kekerasan, melanggar HAM, sektarianisme dan lain sebagainya. Padahal hukum Islam di Indonesia sudah berlaku beriringan dengan hukum adat sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Sebagai peminat hukum Islam sudah seharusnya kita meluruskan persepsi-persepsi terhadap hukum Islam yang miring. 

Dalam khazanah Hukum Islam banyak potensi ditemukan dalam kandungannya, yang dapat disinergikan dan menopang berlakunya hukum nasional. Baik dari sisi hukum formil maupun hukum materiil. Apalagi hukum Islam secara epistemologis dibuat (disyariatkan) berdasarkan berbagai pendekatan, di antaranya wahyu, rasional, maupun empiris eksperimentatif di mana masyarakat memberlakukannya. 

Ini terbukti dengan diberlakukannya hukum Islam sebelum kemerdekaan sampai dengan zaman kekinian tetap bisa bertahan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegra di Indonesia. Contohnya hukum perkawinan dengan berbagai penurunannya, hukum waris, hukum pertanahan atau agraria dengan konsep wakafnya, hukum tentang ekonomi syariah, hukum tentang pengelolaan hutan (ihya’ al-mawat), hukum tentang perzinaan, pencurian, hukum tentang larangan minuman keras. Ditambah lagi pengalaman hukum Islam tentang pemberlakuan hukum Islam dari masa ke masa mengalami peningkatan kualitatif maupun kuantitatif,  baik melalui positifikasi hukum Islam, maupun berlaku secara kultural bagi masyarakat Muslim. Implikasinya posisi hukum Islam di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks Indonesia menemukan momentumnya serta semakin kokoh. Apalagi dengan terbitnya PMA tentang nomenklatur program studi dan gelar sarjana hukum Islam di atas, secara tidak langsung mensejajarkankan antara materi hukum Islam dengan materi hukum umum. 

Di Indonesia mempunyai pengalaman sejarah panjang dalam pertautan antara hukum Islam dengan dinamika perkembangan masyarakat. Pada saat tertentu hukum Islam mengalami posisi marjinal, dikarenakan posisi politik hukum Islam tidak diperhitungkan, sebagamana pada masa kolonialisme. Di sisi lain juga mengalami kedekatan yang baik dengan masyarakat Indonesia, terutama sejak masa orde baru samapai sekarang. Untuk kondisi kekinian, sebenarnya hukum Islam memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah kehidupan masyarakat, apalagi Muslim Indonesia merupakan mayoritas sebagai penduduk Indonesia. Belum lagi dari sisi politik keindonesiaan tentunya kehidupan keagamaan Muslim turut mewarnai berbagai dimensi kehidupan. Dengan posisi ini kalau kita tidak manfaatkan dalam memperkuat dan memperkokoh dimensi hukum Islam di tengah-tengah masyarakat, bisa jadi momentum ini akan berlalu tanpa meninggalkan kemajuan pengamalan hukum Islam di Indonesia.

Maksud dari memperkokoh pengamalan hukum Islam di sini, dapat berarti bagaimana baik secara akademik, politik, kultural, maupun konstitusi seharusnya hukum Islam dapat berperan dalam membangun bangsa, dari dimensi hukumnya. Dari sisi akademik kita harus meningkatkan kualitas kajian di perguruan tinggi Keagamaan kita, dengan cara memperbaiki sumber daya manusia dalam penguasaan hukum terutama para pengajar hukum Islam, laboratorium hukum Islamnya, maupun kurikulum yang sesuai dengan kehidupan bermasyarakat dalam konteks keindonesiaan. Selama ini peran akademik hukum Islam belum begitu maksimal, apalagi infrastruktur dari kajian hukum Islam masih lemah. Taruhlah laboratorium hukum perdata Islam, laboratorium hukum pidana Islam, laboratorium ilmu falak, laboratorium hukum tata negara, belum mendapatkan perhatian yang memadai, dibanding dengan semangat kajian literatur yang ada di perguruan tinggi keagamaan Islam. 

Sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi dalam kajian hukum Islam-hukum Islam klasik dari tahun ke tahun juga mengalami penurunan kualitasnya. Ini dapat diteliti di perguruan tinggi kita, pengajar-pengajar yang mumpuni dalam kajian kitab-kitab abad pertengahan semakin langka, dikarenakan para pengkaji sekarang lebih asyik dengan materi-materi kajian kontemporer, dengan tema-tema tokoh kontemporer, tetapi tidak didahului dengan belajar dari materi-materi hukum abad sebelumnya. Padahal kajian hukum Islam, harus didahului dengan materi-materi di mana hukum Islam terbentuk sebelumnya, yakni masa di mana kitab-kitab kuning (yellow book) itu diformulasikan. Tanpa kajian terhadap teori-teori hukum Islam klasik, peminat hukum Islam tidak akan bisa memahami dan mendalami hukum Islam secara mapan, apalagi untuk mengamalkannya. Ini kemudian akan terjadi kegersangan terhadap studi hukum Islam.  

Akhirnya, peningkatan kualitas terhadap sumber daya manusia dalam wilayah kajian hukum Islam, menjadi catatan bersama untuk meningkatkan generasi-generasi hukum yang mapan dalam wilayah kompetensinya. Ini juga harus ditopang dengan laboratorium hukum Islam yang memadai. Saya kira dengan program-program pemerintahan saat ini telah menemukan sinerginya dengan upaya semangan revolusi mental yang ada di dalamnya. Ditambah lagi dengan trends positif yang dialami para pengelola perguruan tinggi keagamaan Islam sekarang ini. Indikasinya semakin banyaknya peminat dari pendaftar di perguruan tinggi agama Islam negeri maupun swasta yang dari tahun ke tahun meningkat. Untuk itu jihad bersama-sama memperjuangkan kajian hukum Islam yang bermutu adalah cita-cita bersama demi tercapainya tujuan penegakan hukum nasional. Amin. 


Penulis adalah pengajar hukum Islam di IAIN Tulungagung dan Mustasyar NU Blitar