Oleh Hamidulloh Ibda
Tiap zaman, era, ataupun abad, yang namanya kehidupan santri pasti berubah bak percikan cahaya yang begitu cepat. Santri sekarang, dengan santri lima tahun belakangan, tentu berbeda. Maka dari itu, posisi santri yang unik dan berbeda dengan pelajar, mahasiswa, murid, serta siswa, tentu memiliki tantangan tersendiri. Saking uniknya, di Indonesia sendiri sudah ada Hari Santri Nasional yang diperingati pada 22 Oktober.
Hari Santri ini bertepatan ketika Hadhratussyekh KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 untuk mengusir penjajahan atas bangsa dan negara Indonesia. Dunia santri selalu identik dengan kemandirian. Bahkan, kemandirian itu tidak hanya untuk kepentingan kaum pesantren, namun juga untuk bangsa ini.
Dari masa ke masa, tantangan kaum santri tentu berbeda. Jika dulu berjuang mengusir penjajah kolonial, sekarang justru melawan penjajah di negeri sendiri. Tiap tahun, kecenderungan, tantangan, dan dinamika kehidupan selalu berbeda. Sedangkan yang bisa selamat dan “melampaui” zamannya, hanya orang yang mampu menangkap zeitgeist (spirit zaman). Maka “kaum sarungan” harus bisa membaca kecenderungan zaman agar bisa menjadi manusia yang tidak latah terhadap perubahan yang begitu cepat seperti ini.
Dalam teori siklus, Ibnu Khaldun (1332-1406) menjelaskan ada beberapa generasi dalam hidup ini. Mulai dari generasi pendiri, pembangun, penikmat dan generasi perusak. Pertanyaannya, santri saat ini berada di posisi mana? Sebab, perjuangan pahlawan, kiai dan santri era dulu mampu mengusir penjajah dan mempertahankan NKRI. Jika santri saat ini tidak tahu posisinya, maka mereka pasti akan menjadi “santri gagal” karena hanya menjadi penonton.
Santri Generasi Alfa
Dulu, tantangan santri hanya sebatas era konvensional. Namun sekarang berkonversi menuju digital. Generasi santri modern yang didominasi kaum digital tentu tantangan zamannya berbeda. Zaman milenial sekarang didominasi “Generasi Y” (generasi yang lahir di atas tahun 1980 an - 1997) yang merupakan era generasi pasca “Generasi X”.
Generasi milenial, juga sudah selesai karena sekarang eranya sudah “Pascamilenial” yang dikenal “Generasi Z” (generasi yang lahir dalam rentang tahun kelahiran 1995 sampai 2014). Usai “Generasi Z”, sekarang sudah mulai datang “Generasi Alfa” (generasi yang lahir setelah tahun 2010 dengan usia paling tua adalah anak-anak usia 5 tahun).
Generasi Y, Z, dan Alfa sama-sama hidup dan dibesarkan di dunia maya. Hampir semua kegiatan mereka dibentuk dan digantungkan pada teknologi modern. Mulai dari urusan sandang, pangan dan papan sampai kebutuhan domestik lainnya. Dalam pesantren juga sama, semua berkonversi ke dalam gelombang digital. Baik itu aspek fisik di pondok pesantren, maupun non-fisik berupa kurikulum, model, metode, media dan bahan pembelajaran.
Generasi Alfa itu bisa berarti “Alfatihah” atau “Alfabet”. Alfatihah merupakan “Ummul Kitab” dan surat pembuka di Alquran. Sementara “Alfabet” merupakan pertanda melek aksara, literasi dan bebas buta huruf. Alfa secara bahasa juga disebut nama huruf pertama abjad Yunani yang berarti juga yang pertama dan permulaan.
Masalahnya, “Generasi Alfa” ini benar-benar generasi pertama dalam mempelopori perubahan, melek literasi, atau sebaliknya? Sebab, generasi santri era kini memiliki kecenderungan hidup manja, tidak mandiri karena kehidupan di pondok sudah bergeser dengan banyaknya fasilitas-fasilitas modern. Pertama, dari segi aturan, santri dulu haram membawa ponsel, laptop, radio, bahkan sepeda motor. Namun era modern, hal itu justru terbalik karena ponsel, laptop, dan alat modern lainnya menjadi pelancar pembelajaran.
Kedua, pembelajaran dengan sistem “ngaji” yang dulu hanya sekadar “sorogan” dan “bandongan”, saat ini sudah bergeser modern seperti sekolah atau kuliah pada umumnya. Ketiga, jika dulu mengaji harus membawa kitab kuning, sekarang banyak pesantren yang cukup membawa gawai yang berisi ratusan e-book kitab kuning. Keempat, adanya fasilitas pembelajaran berbasis digital, lab bahasa, menjadikan santri tidak merasakan kehidupan pesantren yang sebenarnya.
Bahkan, dulu saat awal mau sowan kiai, saya diberi petuah orangtua saya bahwa pesantren adalah “penjara dunia” yang suci. Sebab, di pesantren sangat jauh dari gemerlap dunia. Jangankan memegang gawai, televisi dan radio saja tidak tahu kecuali di warung makan yang dekat dengan pondok dan kebetulan menyediakan televisi gratis. Maka prinsip “penjara dunia” itu menjadi doktrin bahwa pesantren adalah tempat untuk mendadar diri, menjadikan santri mandiri, nggeteh (prihatin) dan lainnya.
Adanya kitab-kitab kuning berbasis digital menjadikan santri tidak lagi menulis terjemah atau “makna gandhul” di kitab tersebut, baik yang nadhom maupun yang syarah. Pola seperti ini menjadikan santri kurang mandiri bahkan dimanjakan dengan fasilitas.
Tantangan santri generasi alfa hadir secara alamiah karena hampir semua santri yang sekarang belajar, mulai dari jenjang SD/MI sampai SMA/MA, hidup dalam gelombang internet. Mereka dengan mudah mencari informasi dan mengunduh kitab-kitab kuning secara gratis di dunia maya itu. Hal itu menjadikan mereka malas menghafal, menulis, membeli kitab, dan belajar lebih tekun dengan kiai karena semua dengan mudah bisa diakses di internet.
Kemandirian
Subtansi tema Hari Santri tahun ini, yaitu “Santri Mandiri, NKRI Hebat” adalah kemandirian. Semua itu harus dijalankan dengan berbagai langkah nyata dalam merespon dinamika pesantren dan santri yang sekarang didominasi generasi Y, Z, dan Alfa. Apalagi, saat ini pondok pesantren kebanyakan hanya dihuni kaum terdidik yang belajar di sekolah atau kampus. Sementara aktivitas di pondok hanya untuk “kos” saja. Maka kondisi yang demikian menjadikan santri jauh dari hakikat kemandirian. Mereka hidup di sana hanya sebatas “rasa pesantren” bukan “pesantren” sebenarnya.
Kemandirian itu tidak sekadar kemandirian belajar atau ngaji, namun juga belajar tentang kehidupan. Sebab, semua santri yang benar-benar mandiri pasti tidak sekadar bisa dan lihai membaca kitab kuning, namun juga bisa memasak, mencuci piring, menyapu, mengepel bahkan sampai mencangkul di sawah dan berbisnis.
Santri generasi Y, Z dan Alfa harus memaknai kehidupan pesantren bukan sekadar untuk “kos”, melainkan benar-benar untuk menjadi santri yang sebenarnya. Pengelola pondok juga harus membuat regulasi agar tidak ada santri yang hanya memanfaatkan pondok untuk tidur, tempat beristirahat, makan dan aktivitas domestik lainnya.
Pola ngaji di pondok harus menyesuaikan zaman. Langkahnya, menyesuaikan kondisi dan kecenderungan santri dengan tetap tidak meninggalkan budaya dan tradisi lama. Sebab, prinsip santri yang sejati yaitu al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah yang berarti memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.
Apa yang dilakukan santri generasi Y, Z dan Alfa tidak semuanya buruk, karena mereka membuka diri untuk modern dan digital. Akan tetapi, semua itu harus dibekali dengan etika dan pola pikir yang benar. Salah satunya tidak “diperbudak alat” modern, melainkan menjadikan gawai, laptop dan sejenisnya sebagai media untuk mengaji.
Kehebatan santri zaman dulu memang berbeda dengan sekarang. Jangankan santri tulen atau bermukin di pondok, “santri kalong” (tidak mukim) saja terbukti memiliki jiwa kemandirian tinggi. Contohkan saja santri-santrinya KH. Hasyim Aya’ri yang terbilang mustami’ (pendengar setia sang guru) dan hanya ngaji sekilas kepada beliau, mereka bisa menjadi sosok hebar seperti Jenderal Sudirman, Bung Tomo (Sutomo), dan lainnya. Maka mereka dalam sejarah pesantren disebut “santri jejer pandito” karena berguru langsung dengan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) tersebut.
Dari contoh ini, bisa disimpulkan santri yang hebat sangat dekat dan menitikberatkan keilmuwan dan ketakziman pada sang kiai, bukan pada gawai dan laptop. Kemandirian santri tidak boleh sekadar konsepsi, namun harus diimplementasikan dalam bukti nyata melalui aktivitas di pesantren dan masyarakat. Sebab, santri tulen akan menjadi pelopor dan menciptakan kehidupan dengan prinsip tawassut (moderat), tawazun (seimbang), ta’adul (adil) dan tasamuh (toleran) dan maju.
Yang namanya santri pasti mandiri. Jika tidak mandiri, pantas kah disebut santri?
Penulis adalah Kaprodi Pendidikan Guru MI (PGMI) STAINU Temanggung dan alumnus Pondok Pesantren Mamba’ul Huda Pati