Opini MIFTAHUS SURUR*

Tragedi Pertanian dan Ancaman Krisis Pangan

Kamis, 28 Februari 2013 | 02:02 WIB

Krisis pangan. Begitulah kita mengidentifikasi persoalan penurunan kuantitas dan kualitas pangan sebagai kebutuhan mendasar manusia dewasa ini. 
<>
Selain karena kebijakan ekonomi-politik pangan yang tidak memihak pada penguatan sumberdaya pertanian, tekanan dari kekuatan global turut memberi andil bagi menguatnya krisis pangan itu. Sejak tahun 1970-an, dan ketika revolusi hijau mulai dilesakkan, pertanian nasional hanya didorong untuk memenuhi standar kuantitas dengan mengutamakan pertumbuhan produktifitas hasil pertanian. 

Waktu itu, alasan utamanya adalah untuk meningkatkan kebutuhan pangan nasional, kebutuhan ekspor, dan menggenjot daya saing pangan di tingat internasional. Untuk alasan itu pula, cara dan pola bertani harus diganti dengan metode yang serba baru, bibit baru, obat-obatan baru yang tidak lain merupakan produk dari perusahaan multinasional. 

Kini, ketika produktifitas hasil pertanian petani kita tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional serta kalah bersaing dengan negara-negara lain, para petani harus berhadapan pula mekanisme dan kebijakan pengendalian pangan global.

Perusahaan-perusahaan besar internasional yang beroperasi pada wilayah pangan seperti Monsanto, Pioneer, Syngenta, dan Dekalb, atau juga yang beroperasi di Indonesia seperti PT BISI, DuPont, dan Monagro bukan hanya menguasai pangan internasional dan nasional, melainkan juga turut mengendalikan kebijakan pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan pangan, salah-satunya melalui regulasi hak paten atau hak atas budidaya pangan. 

Munculnya berbagai kasus konflik, baik sosial maupun hukum antara petani dengan perusahaan-perusahaan besar tersebut yang secara umum dimenangkan oleh pihak korporasi menunjukkan adanya suatu arah perjalanan dunia pertanian kita sedang menuju liang-kuburnya. Kini, masyarakat petani dihadapkan pada dua persoalan yang cukup rumit, yaitu penurunan kuantitas dan kualitas tanah (lahan) pertanian akibat akusisi oleh korporasi serta pematenan benih sebagai hak penuh dari korporasi dimana kedua-duanya sama-sama akan membunuh petani dan kehidupan pertanian kita.

Runtuhnya Mitologi
Selain karena silang-sengkarut relasi global-lokal kebijakan pertanian tersebut, pergeseran dan perubahan orientasi pertanian juga beraras pada perubahan sudut pandang dan perilaku bertani. Masyarakat petani masa kini lebih cenderung memperlakukan benih dan tanaman sekedar benda-benda mati belaka. 

Dahulu kala, dan juga jamak cerita beredar dimana para petani masa lalu yang memperlakukan benih dan tanaman sebagai bagian dari kehidupan batin. Benih yang akan ditanam diletakkan pada tempat tertentu, disandingkan dengan sajian serta do’a dan mantra khusus. 

Ketika musim tanam dimulai, benih-benih yang terpelihara secara khusus itu pun ditebar dengan (a)cara khusus pula. Di hampir seluruh masyarakat pedesaan di tanah air selalu mengadakan acara dan upacara tertentu untuk menyambut dan merayakan masa tanam. Hal yang sama juga dilakukan ketika menyambut masa panen, perayaan atau pesta senantiasa digelar. Kebiasaan seperti tradisi wiwitan, seren taun, massempe, sisemba, partungkoan, kebo-keboan, dan yang lain secara turun-temurun seantiasa digelar dan sebagian besar masih dapat kita saksikan.

Sayangnya, alih-alih gelar pesta panen tersebut sebagai suatu bagian dari nadi kebudayaan lokal, yang kerap muncul adalah suatu perayaan tradisi yang berkelindan dengan menyusupnya kekuatan modernitas.

Benih-benih tanaman tidak lagi diperlakukan sebagai suatu sumberdaya kebudayaan yang mengandung suatu tata-nilai yang perlu diuri, melainkan hanya sekedar bibit yang dapat diperoleh di berbagai toko. Kepercayaan dan keyakinan tentang adanya kekuatan adiluhung yang melekat pada benih sehingga dengan itu harus diperlakukan secara mulia telah lenyap.

Kini, kehadiran bibit tanaman yang dikembang-biakkan melalui bioteknologi oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional serta dijajakan di toko-toko hingga ke pelosok pedesaan telah menjadi pilihan utama. Belum lagi jika berbicara mengenai jenis obat-obatan pertanian, sangat tampak bahwa petani dan pertanian kita tidak mampu beranjak dari wilayah itu. 

Mitologi tentang benih dan juga cara bertanam telah runtuh, berganti menjadi cara bertanam yang hanya perduli tentang produktifitas hasil panen.

Kisah-kisah tentang pemuliaan petani terhadap benih dan juga cara bertanam hanya menjadi ingatan para generasi tua, jangankan untuk melakukan suatu invensi (penemuan dan kreatifitas baru atas tradisi yang sudah ada) terhadap cara-cara bertani di masa lalu, bahkan untuk sekedar mengingatnyapun tidak diperkenankan. Masyarakat petani masa kini terpaksa dan dipaksa untuk melupakan kepercayaan masa lalu yang dianggap sebagai mitos dan beralih memercayai kekuatan bioteknologi, suatu prakarsa ilmu pengetahuan dan teknologi pengembangbiakkan pangan melalui rekayasa genetika tanaman.

Para pemaksa ini lupa bahwa apapun bentuk kepercayaan itu bukanlah sekedar fantasi, melainkan suatu jantung dan denyut nadi kehidupan yang mampu menjawab hasrat batiniah dalam menentukan kebahagiaan dan penderitaan. 

Negara Absen 
Kondisi sedemikian rupa tidak terlepas dari absennya negara dalam melindungi kehidupan petani dan pertanian kita. Negara bukan hanya tidak mampu membendung kekuatan korporasi yang demikian kuat mengendalikan hak atas budidaya pangan, melainkan juga tidak mampu melindungi kreatifitas petani dalam berbagai aktifitas pertaniannya. 

Semakin hari dapat diketahui seberapa luas tanah pertanian yang berkurang akibat akusisi perusahaan besar dengan alasan pembangunan pabrik atau perluasan perkebunan. Sementara dari pihak negara bukan hanya tidak memiliki desain tentang perlindungan dan cara memajukan dunia pertanian, melainkan juga terlihat semakin larut dalam permainan perusahaan besar yang menguasai dan mengendalikan dunia. Bertambahnya jumlah impor bahan makanan pokok adalah contoh konkret dari gambaran itu. 

Bahkan belum lama ini, terdapat suatu forum nasional yang membincangkan tentang nasib pertanian kita. Salah satu hal yang dikemukakan dalam menjawab persoalan pertanian adalah dengan bioteknologi dimana negara didesak untuk memfasilitasinya. Tapi para penggagas di forum itu lupa untuk mempertanyakan siapa yang diberi wewenang untuk mengelola bioteknologi. 

Alih-alih masyarakat diberi kebebasan untuk mengembangbiakkan pola-pola pengelolaan pangan, justru perusahaan-perusahaan besarlah yang mendominasi bioteknologi. Didukung dengan adanya hak paten atas budidaya pangan, semakin benderang bahwa dunia pertanian nasional kita sedang menuju kepunahannya. 

Akibat dari dominasi bioteknologi oleh korporasi yang didukung kebijakan hak paten atas budi-daya pangan itulah, para petani di daerah Kediri, Jawa Timur seperti Tukirin, Suprapto, Budi Purwo Utomo, Jumidi, Dawam, Kusen, Slamet, Burhana Juwita, Mochamad Ali, dan Maman Nurrohman dijerat kasus hukum atas dakwaan “pencurian” hak paten tanaman jagung oleh PT.BISI . Juga akhir-akhir ini muncul berita hangat ketika Mr. Vernon H. Bowman, seorang petani Indiana, AS didakwa oleh Monsanto.Co dengan tuduhan telah menanam benih kedelai yang telah dipatenkan oleh perusahaan. Kasus yang terakhir ini sedang dalam proses pengadilan di Amerika Serikat. Banyak pihak menilai bahwa hasil dari perseteruan itu akan turut menentukan nasib dunia pangan global. 

Sementara di Indonesia, berbagai kasus hukum antara petani dengan perusahaan juga tidak kalah memprihatinkan. Alih-alih melindungi petani, negara justru mendukung pihak perusahaan melalui kebijakan hukum yang dibuatnya.

Absennya negara ini, baik karena tidak adanya suatu desain yang jelas tentang upaya perlindungan petani dan kedaulatan pangan, atau karena ketidakmampuan membendung kekuatan liberalisasi ekonomi-politik pangan global, atau juga karena hubungan peluk-mesra dengan korporasi transnasional jelas-jelas memperlihatkan bahwa negara bukan hanya tidak memiliki imajinasi tentang kemakmuran melainkan juga tidak punya keinginan untuk menjadikan petani dan pertanian sebagai penyangga stabilitas sosial, ekonomi dan politik. 

Dengan demikian, apa yang saat ini dikuatirkan dari krisis pangan pada dasarnya bukanlah suatu gerak takdir, melainkan suatu keyakinan baru yang dikondisikan oleh kekuasaan sosial dan ekonomi politik pangan yang ingin menasbihkan dirinya sebagai satu-satunya kekuatan dominan. Kini, kita semua sedang berada pada situasi itu. Mengenaskan, bukan?

 

Penulis adalah aktivis NU, peminat kajian-kajian antropologi