Hasibullah Satrawi
Kolomnis
Akhirnya gencatan senjata antara Hamas dengan Israel tercapai. Kepastian ini disampaikan secara terpisah oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Perdana Menteri Qatar, Syekh Muhammad bin Abdurrahman At-Thani pada 15 Januari sore waktu Doha, Qatar. Gencatan senjata fase pertama ini akan berlaku efektif per 19 Januari mendatang hingga 42 hari ke depan. Kemudian akan dilanjutkan dengan fase kedua dan fase ketiga (Aawsat.com, 15/01).
Beberapa hal yang disepakati dalam gencatan senjata tahap awal ini, di antaranya, pembebasan 33 sandera dari pihak Israel yang ditahan oleh Hamas. Mereka akan dibebaskan secara bertahap dalam kurun waktu 42 hari. Sementara pada masa yang sama, Israel akan melepaskan ratusan tahanan yang ditangkap setelah serangan 7 Oktober 2023 dan tidak terlibat dengan serangan tersebut. Israel juga sepakat untuk mulai menarik pasukannya dari Gaza, termasuk dari wilayah Rafah.
Beberapa hal sensitif yang belum disepakati dalam gencatan senjata fase pertama ini akan langsung dirundingkan sebelum masa gencatan senjata sekarang berakhir. Salah satunya terkait dengan pengelolaan Gaza pascaperang yang memantik perbedaan tajam. Tak hanya di antara Israel dengan Hamas, melainkan juga di antara Israel dan pemerintahan Amerika Serikat (AS), khususnya di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden.
Perundingan antara Hamas dengan Israel kali ini berlangsung di Doha dengan mediasi Qatar, Mesir, Amerika Serikat (AS) dan utusan khusus Presiden terpilih AS, Donald Trump. Keberadaan utusan khusus Donald Trump dalam perundingan kali ini harus mendapatkan perhatian dan pembahasan tersendiri. Mengingat ini salah satu pembeda utama antara perundingan sekarang dibanding perundingan-perundingan sebelumnya yang juga melibatkan para mediator sebagaimana di atas, termasuk AS. Namun perundingan yang ada selama ini acap berhenti di tengah jalan sekaligus membiarkan perang terus memakan korban.
Dalam pengamatan penulis, ada beberapa hal yang menjadi faktor dari keberhasilan gencatan senjata kali ini. Pertama, faktor Trump. Dalam konteks perang Hamas-Israel hari ini, Trump sebagai Presiden terpilih AS bisa dikatakan lebih berpengaruh dibanding Joe Biden sebagai Presiden AS yang sekarang sedang menjabat, minimal dalam konteks mendorong dan memaksa Netanyahu (sebagai Perdana Menteri Israel) untuk menerima gencatan senjata. Sejauh ini, pelbagai macam upaya gencatan senjata yang ada acap berhenti di tengah jalan karena adanya sikap yang tidak kooperatif dari Israel maupun Hamas. Padahal tekanan dari para mediator, khususnya AS, juga sudah sering dilakukan. Namun gencatan senjata tidak kunjung tercapai hingga hari ini.
Keberhasilan gencatan senjata kali ini tidak bisa dilepaskan dari peran Trump yang ditindaklanjuti oleh utusan khususnya, Steve Witkoff. Sejak masih menjadi Calon Presiden dari Partai Republik pada tahun 2024 lalu, Trump berkali-kali mengatakan bahwa Perang Gaza sudah terlalu banyak menimbulkan korban jiwa. Walaupun untuk kepentingan politik elektoral, Trump saat itu tidak terlalu mengkonkretkan sikap politiknya terkait perang Gaza. Namun pada akhirnya, Trump berhasil mendapatkan dukungan dari para pendukung Palestina di AS dibanding lawannya, Kamala Harris, yang dianggap membiarkan perang Gaza terus berkobar (walaupun kedua Capres AS ini sama-sama dilema dalam menghadapi perang Gaza). Hingga akhirnya Trump benar-benar berhasil menjadi pemenang Pilpres AS 2024. Dan dalam kapasitasnya sebagai Presiden terpilih, Trump telah menetapkan batas waktu terkait dengan perang Gaza; harus selesai sebelum Trump dilantik pada 20 Januari mendatang.
Seperti dalam waktu-waktu sebelumnya, upaya gencatan senjata yang dilakukan setelah Trump menjadi Presiden terpilih AS sempat terancam berhenti di tengah jalan. Bahkan pejabat Israel sempat menyatakan butuh waktu lebih panjang untuk menyepakati gencatan senjata dengan Hamas (maksudnya lebih lama dari batas waktu 20 Januari yang telah disampaikan oleh Trump).
Namun karena adanya tekanan yang sangat keras, kedua belah pihak (Hamas dan Israel) saat ini terus melanjutkan upaya gencatan senjata. Dalam konteks Hamas, Trump mengancam dengan ilustrasi “neraka” bila para sandera tidak dilepaskan. Sementara dalam konteks Israel, memang tidak ada ancaman yang diumbar ke media. Tapi pertemuan terakhir yang diberitakan “berlangsung panas” antara Steve dengan Netanyahu di Israel beberapa waktu lalu (11/01) membuat Israel mau melanjutkan proses gencatan senjata sampai sekarang.
Tentu ada banyak hal yang bisa menjelaskan kenapa Netanyahu lebih manut kepada Trump dibanding Presiden Joe Biden. Mulai dari karakter pribadi yang sama-sama cenderung keras hingga “warna politik kanan” yang menjadi latar belakang kedua belah pihak. Trump dan Joe Biden sama-sama mendukung Israel. Tapi cara kerja Trump akan lebih “membebaskan” Netanyahu dan memberikan kemenangan yang lebih total sekaligus strategis untuk Israel.
Hal ini tak berarti menihilkan peran dari para mediator lain, mulai dari pemerintahan Joe Biden, Mesir hingga Qatar. Namun keberadaan dan peran Trump bersama timnya (dalam perundingan) menjadi faktor “pendorong ekstra” bahkan memaksa bagi Hamas dan Israel untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata.
Kedua, keberhasilan Israel membunuh tokoh-tokoh perlawanan, baik dalam konteks Hamas (seperti Yahya Sinwar dan Ismail Haniyeh) atau dalam konteks Hizbullah di Lebanon (seperti Hassan Nasrallah, Fuad Shukr dan yang lainnya). Ditambah lagi dengan keberhasilan Israel menyerang fasilitas militer Iran sebagai komandan dari kelompok perlawanan.
Semua keberhasilan Israel sebagaimana di atas cukup bisa dijadikan sebagai “alasan sukses” untuk menerima gencatan senjata sekarang. Dalam konteks ini, faktor kedua ini bisa dikatakan lebih berpengaruh dibanding faktor pertama (dorongan luar). Terlebih lagi, faktor kedua dirasa lebih sempurna oleh Israel dengan keberhasilan melengserkan Bashar Al-Assad di Suriah yang selama ini menjadi “ekosistem” bagi kelompok perlawanan seperti Hamas dan Hizbullah.
Sejauh ini, sikap internal Israel masih belum bulat dalam menerima gencatan senjata yang telah diumumkan. Para politisi ultrakanan menyatakan tidak setuju atas kesepakatan yang ada. Menerima kesepakatan yang ada dianggap sebagai sikap menyerah terhadap Hamas. Bahkan Itamar Ben Ghvir sebagai Menteri Keamanan Nasional Israel mengancam akan memundurkan diri dari jabatannya bila kesepakatan ini dilanjutkan.
Sebagai Perdana Menteri, Netanyahu sejatinya tidak perlu gentar dengan ancaman kelompok kanan, termasuk sebagian menterinya. Mengingat kelompok oposisi telah memberikan jaminan akan menyelamatkan koalisi pemerintahan Netanyahu manakala ditinggalkan oleh kelompok ultrakanan. Bahkan jejak pendapat di Israel yang diadakan oleh salah satu media di negara tersebut (sebagaimana dikutip Aljazeera.net, 17/01) menyatakan lebih dari 61 persen penduduk Israel mendukung gencatan senjata ini. Persoalannya adalah, Netanyahu sendiri merupakan tokoh kanan yang cenderung menggunakan cara-cara keras seperti perang dalam menghadapi Palestina secara umum, khususnya kelompok perlawanan seperti Hamas.
Ketiga, kebutuhan Hamas untuk mereorganisasi diri. Sebagai kelompok perlawanan, Hamas telah membuktikan kehebatan dan kegigihannya. Walaupun dibombardir dengan pelbagai macam senjata berat, Hamas masih terus bertahan sampai di usia perang yang sudah memasuki bulan ke-16. Tidak hanya terus melawan Israel, sampai sekarang Hamas berhasil menahan kebanyakan sandera dan tak terjangkau oleh pelbagai macam alat canggih Israel
Namun demikian, melihat dampak perang yang menghancurkan Gaza dan menimbulkan lebih dari 46 ribu korban jiwa, Hamas membutuhkan waktu untuk melakukan reorganisasi diri. Inilah yang membuat Hamas belakangan bersikap lebih lunak menghadapi tuntutan-tuntutan Israel di meja perundingan. Terlebih lagi banyak tokoh Hamas yang telah gugur dalam perang yang berkobar sebagai akibat dari aksinya pada 7 Oktober 2023 lalu.
Di luar yang telah disampaikan, ada alasan lain yang mengharuskan Hamas untuk segera mengakhiri perang kali ini. Yaitu ketidaksiapan kelompok perlawanan untuk melakukan perang total dengan Israel, khususnya dengan “kondisi keropos” yang dialami Hizbullah. Dalam pengamatan penulis, kondisi Hizbullah yang ternyata keropos acap tak terbaca oleh Hamas ataupun kelompok perlawanan secara umum. Hingga akhirnya tokoh-tokoh Hizbullah sudah berhasil dibunuh oleh Israel hanya dalam kurun waktu lebih 10 hari (17 September serangan peger-27 September meninggalnya Hassan Nasrallah). Kondisi keropos Hizbullah tidak terlepas dari keberhasilan Israel menguasai sistem informasi kelompok militan yang berbasis di Lebanon itu.
Semoga gencatan senjata ini benar-benar terimplementasikan secara sempurna. Tidak hanya bersifat sementara, melainkan menjadi akhir dari perang yang ada. Dan yang paling penting, semoga kemerdekaan Palestina segera terwujud berdampingan secara damai dengan Israel.
Hasibullah Satrawi, pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam
Terpopuler
1
Ustadz Maulana di PBNU: Saya Terharu dan Berasa Pulang ke Rumah
2
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
3
Khutbah Jumat: Menggapai Ridha Allah dengan Berbuat Baik Kepada Sesama
4
Puluhan Alumni Ma’had Aly Lolos Seleksi CPNS 2024
5
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
6
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
Terkini
Lihat Semua