Ajie Najmuddin
Kolomnis
Sejak dulu, korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi masalah yang besar dan memprihatinkan di Indonesia. Bahkan, praktik korupsi di masa kini justru lebih meluas dan masif. Namun, layaknya dalam kisah-kisah heroik. Setiap kali ada kejahatan, ada pula pahlawan yang dengan gagah berani melawan kejahatan tersebut.
Di Indonesia, salah satu tokoh yang lantang dan konsisten dalam upaya melawan dan memberantas korupsi yakni KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Baik ketika ia berstatus sebagai tokoh agama, aktivis sosial, hingga ketika ia mengemban amanah sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) ke-4, ia tetap konsisten dalam penegakan antikorupsi.
Upaya yang dilakukan Gus Dur pun seringkali cukup dibilang ekstrem. Semisal ketika ia membubarkan Departemen Sosial (Depsos) di tahun 1999. Biasanya, apabila ada oknum yang terkait dengan tindak kejahatan korupsi di salah satu instansi, maka yang diperiksa hanya pelaku ataupun orang-orang yang bersangkutan dengan kasus tersebut. Namun, yang dilakukan Gus Dur ini memang agak lain.
Baca Juga
Gus Dur dan Moralitas Bangsa Antikorupsi
Dalam sebuah wawancara di acara televisi yang dipandu oleh Andy F Noya, tahun 2008 silam, Gus Dur menjawab pertanyaan yang dilontarkan terkait hal tersebut: Kalau mau membunuh tikus (koruptor), kan tidak perlu membakar lumbungnya (membubarkan lembaganya)?
"Karena tikusnya sudah menguasai lumbung," jawab Gus Dur dengan singkat dan lugas.
Semasa menjadi presiden, Gus Dur juga membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui PP No. 19 / 2000. Salah satu alasan pembentukan tim tersebut adalah karena jika harus menunggu terbentuknya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan terlalu lama, karena harus mempersiapkan kelembagaan, sumberdaya manusia dan lainnya. Oleh Gus Dur, Tim Gabungan tersebut ditempatkan sebagai embrio guna mempersiapkan dan menyegerakan pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut.
Namun, tentu saja perjalanan Gus Dur dalam memerangi korupsi tak selalu mulus. Di satu sisi, ia mendapatkan dukungan dari masyarakat yang mendambakan Indonesia yang bersih dari korupsi. Di sisi lain, ada pula kelompok yang merasa terancam dengan upaya pembersihan ini.
Virdika Rizky Utama (2022) dalam tulisannya di NU Online berjudul "Gus Dur Tak Pernah Terbukti Korupsi, Ia Layak Mendapat Keadilan Sejarah", ia mencatat justru karena sikap dan tindakan yang tegak lurus dengan konstitusi itulah Gus Dur dianggap tidak dapat diterima dalam politik praktis.
"Moral politiknya berada di luar diktum klasik yang dianut para politikus bahwa politik itu soal menerima dan berbagi. Gus Dur tak mengenal transaksi, apalagi transaksi politik yang mengharuskannya melanggar konstitusi dan mengorbankan kepentingan rakyat. Karena itu, hanya dalam hitungan bulan ia menjadi Presiden RI," (Virdika, 2022)
Benar saja, Gus Dur kemudian mendapatkan berbagai macam tuduhan terutama terkait korupsi, salah satu yang paling kencang ialah tudingan Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI atas dugaan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan Badan Urusan Logistik (Bulog) sebesar 4 juta dollar AS yang kemudian populer dengan sebutan Bulogate.
Bola liar terus bergulir dengan berbagai dinamika yang menyertai, hingga akhirnya, melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI yang dipimpin Amien Rais pada 23 Juli 2001, Gus Dur resmi dimakzulkan. MPR menarik mandat yang diberikan kepada Gus Dur dan menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai pengganti presiden.
Namun, belakangan tuduhan tersebut ternyata tak terbukti. Setelah puluhan tahun berselang, MPR resmi mencabut Ketetapan (TAP) MPR Nomor II Tahun 2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Kompas, 29 September 2024)
Keputusan ini disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam sidang akhir masa jabatan MPR periode 2019-2024 di Gedung Nusantara MPR. TAP MPR Nomor II/MPR/2001 berisi tentang pemberhentian Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia, juga menegaskan bahwa Gus Dus telah melanggar haluan negara tersebut, dinyatakan sudah tidak berlaku.
Keputusan ini tentu menjadi penegas akan konsistensi Gus Dur dalam upaya penegakan antikorupsi. Gus Dur tak terbukti bersalah. Ini tentu menjadi fakta sejarah yang perlu diluruskan. Di sisi lain, pemakzulan Gus Dur sebagai presiden, membuat masa jabatannya menjadi singkat (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001), sehingga gebrakan penanganan korupsi di masa era kepemimpinannya menjadi terhenti atau tersendat. Di tahun-tahun tersebut, pemerintahan Gus Dur juga cukup disibukkan dengan penyelesaian masalah-masalah yang mengarah kepada disintegrasi bangsa.
Ajie Najmuddin, penulis buku Menyambut Satu Abad NU 'Sejarah dan Refleksi Perjuangan Nahdlatul Ulama Surakarta dan Sekitarnya
Terpopuler
1
Susunan Lengkap Pengurus Besar PMII 2024-2027
2
Duduk Perkara Persoalan JATMAN: Munculnya PATMAN hingga Ikhtiar PBNU Mencari Solusi
3
KH Achmad Chalwani dan KH Ali Masykur Musa Pimpin JATMAN 2024-2029
4
Khutbah Jumat: 4 Amal Ibadah Penghantar Menuju Surganya Allah
5
Khutbah Jumat: Meniti Jalan Menuju Surga
6
Syekh Fadhil Al-Jailani Hadiri Kongres Ke-13 JATMAN di Boyolali
Terkini
Lihat Semua