Pesantren

Al-Muhajirin Purwakarta Kembangkan Pesantren Milenial hingga Lansia

Senin, 23 September 2019 | 07:00 WIB

Al-Muhajirin Purwakarta Kembangkan Pesantren Milenial hingga Lansia

Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta (foto: Fb Pesantren Al-Muhajirin)

Lembaga pendidikan pesantren tidak terlepas dari akar sosial masyarakatnya. Pesantren dari masa ke masa semakin dibutuhkan masyarakat meskipun perkembangan zaman semakin canggih. Pesantren di berbagai daerah telah banyak mengembangkan lembaga pendidikan sesuai perkembangan zaman namun tidak tercerabut dengan akar sosial masyarakat dan tradisi keilmuannya.
 
Salah satu pengembangan pesantren berdasarkan kebutuhan masyarakat dilakukan oleh Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta, Jawa Barat. Pesantren asuhan Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Purwakarta KH Abun Bunyamin ini akan mengembangkan pesantren milenial dan pesantren lanjut usia (lansia).

Terkait pengembangan dua pesantren itu ditegaskan oleh KH Abun Bunyamin ketika memberikan sambutan dalam kegiatan Rapat Pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 2019 di Pesantren Al-Muhajirin 2 Ciseureuh, Purwakarta pada 20-22 September 2019. Kiai Abun menyadari bahwa kebutuhan pendidikan pesantren juga tidak hanya diingini oleh para orang tua untuk anak-anaknya, tetapi juga menjadi kebutuhan orang-orang yang telah lanjut usia.

Program pengembangan pesantren lansia oleh Kiai Abun Bunyamin berangkat dari prinsip mencari ilmu, uthlubul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi (tuntutlah ilmu dari ayunan/buaian hingga liang lahat). Ini prinsip mendasar bahwa mencari dan menuntut ilmu harus bersifat dawam atau berkelanjutan tanpa batas usia bahkan menjelang kematian menjemput.
 
Terkait pesantren yang mengembangkan pengajaran keilmuan untuk orang tua, hal ini juga umumnya dilakukan oleh pesantren di sejumlah daerah. Pesantren membukan ta’lim khusus untuk masyarakat sekitar yang umumnya para orang tua. Mereka berangkat dari rumah masing-masing dengan menenteng kitab yang diajarkan oleh sang kiai.
 
Adapun pesantren lansia di Purwakarta diupayakan agar orang-orang tua yang sudah lanjut usia bisa memanfaatkan fasilitas pesantren untuk memaksimalkan pengajaran ilmu setiap harinya dengan tetap mondok. Tidak hanya ngaji, keterampilan lain juga akan diusahakan pihak pesantren agar para orang tua tetap produktif menghasilkan karya dan produk yang bermanfaat untuk masyarakat.
 
Dedikasi Kiai Abun Bunyamin tidak hanya melekat untuk perjuangan NU, tetapi juga memiliki kesan mendalam bagi masyarakat Purwakarta. Bahkan, setelah tiga cabang Pesantren Al-Muhajirin yang dikembangkannya di Purwakarta, ia saat ini juga terus mengembangkan perguruan tinggi. Kunci yang ditekankan secara terus-menerus oleh KH Abun Bunyamin kepada para pendidik dan pengelola pendidikan di yayasannya ialah berpikir dinamis.
 
Prinsip dinamisme ini terkait dengan motto Pesantren Al-Muhajirin. Berpikir dinamis ialah konsep pemikiran yang baru harus digunakan dan yang lama jangan ditinggalkan. "Kalau tidak ada konsep dan inovasi baru, kita akan jenuh. Maka diskusi, membaca, seminar atau studi banding bisa kita lakukan agar semua yang berada di Al-Muhajirin bisa berpikir dinamis," kata Kiai Abun. Selain berpikir dinamis, motto pesantre yang didirikan pada 1993 ini juga menekankan akhlak salaf dan akidah Ahlussunnah wal Jamaah.
 
Kiai Abun terus menegaskan prinsip kelimuan Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah dalam setiap lembaga pendidikan yang didirikannya. Tidak lain dan tidak bukan, karena NU menurut kiai yang menamatkan program doktoral bidang tafsir di UIN Syarif Hidayatullah ialah nyawa. "NU bagi saya adalah nyawa," tegasnya.
 
Paham keagamaan, guru, staff, dan pegawai Yayasan Al-Muhajirin harus berakidah Aswaja. "Annahdliyah indikasinya ada tiga yaitu dalam akidah mengikuti pemikiran Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Al-Maturidi, dalam akhlak atau tasawuf mengikuti pemikiran Imam Al-Ghazali, dan dalam Ibadah mengikuti Imam Syafi’i dan amalan yang sudah menjadi tradisi di NU seperti tahlilan, yasinan, marhabaan, dan haulan," ujar Kiai Abun.
 
Pesantren untuk Generasi Milenial
 
Fenomena generasi milenial tidak menjadi kegelisahan bagi Kiai Abun Bunyamin. Dari realitas perkembangan generasi tersebut, ia justru ingin mengembangkan pesantren milenial, namun tetap berakhlak salaf dan berakidah Aswaja seperti motto tetap Pesantren Al-Muhajirin. Generasi milenial perlu ditampung dalam pendidikan pesantren, caranya dengan memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan mereka di era milenial yang serba digital.
 
Penguatan paham Ahlussunnah wal Jamaah di tanah Pasundan menjadi visi KH Abun Bunyamin lewat pendidikan pesantren yang berupaya mengintegrasikan ilmu umum dan ilmu agama berdasarkan kitab kuning karya ulama-ulama klasik. Pesantren Kiai Abun juga terus mengembangkan keterampilan para santri di bidang ekonomi. Saat ini di pesantrennya telah dikembangkan balai laithan kerja (BLK) untuk para santri.
 
Kiai Abun yang juga murid KH Ilyas Ruhiyat Cipasung, Rais Aam PBNU 1994-1999 mewakafkan seluruh perjuangannya untuk menegakkan dakwah NU, salah satunya lewat Pondok Pesantren Al-Muhajirin. Saat ini, Pesantren Al-Muhajirin telah mengembangkan metode bilingual (bahas Arab dan Inggris).
 
Pesantren Al-Muhajirin sekarang ini mempunyai sekitar 6.000 santri dan tak kurang dari 600 asatidz. Bahkan salah satu dari tiga pesantrennya tersebut menjadi lembaga pendidikan Islam favorit di Purwakarta. Visi bilingual pesantren yang menekankan santri mahir bahasa Arab dan bahasa Inggris agar mereka mampu menyesuaikan kondisi dan tantangan zaman milenial.
 
Selain sistem pendidikan berbasis salaf yang diterapkan oleh pesantren sebagai metode pembelajaran, pondok pesantren Al-Muhajirin juga berusaha mengembangkan pendidikan berbasis pengembangan kreativitas, intelektualitas, spiritualitas, dan bakat minat santri.
 
Integrasi pendidikan ini bertujuan untuk mengembangkan dan memperluas khazanah santri dalam menggali ilmu pengetahuan. Sampai saat ini, pondok pesantren Al-Muhajirin telah berhasil membudidayakan kemampuan tersebut untuk kepentingan banyak pihak.
 
Tentunya, integrasi ini tidak serta merta menjadi tujuan utama dalam proses belajar mengajar di Pondok Pesantren Al-Muhajirin. Meskipun pendidikan ini termasuk bagian dari usaha Pondok Pesantren Al-Muhajirin dalam mengembangkan visi misinya, namun pendidikan salaf (pengajian kitab kuning) tetap menjadi prioritas utama bagi santri Pondok Pesantren Al-Muhajirin.
 
Pak Abun, panggilan akrab di kalangan santrinya, tidak serta merta mulus dan sukses dalam membangun banyak kampus untuk menampung ribuan santri dan siswanya. Butuh waktu 20 tahun bagi Pak Abun untuk meraih sinar dakwah Islam tepercaya di Purwakarta.
 
Selama kurun waktu 10 tahun pertama pembangunan pondok pesantren atau tahun 1990 hingga 2.000, Pak Abun harus menghadapi teror sekelompok orang di Purwakarta. Mereka tidak senang dengan kehadiran pondok pesantren di daerah Kebon Kolot, Purwakarta. Ketidaksukaan mereka pun tak beralasan.
 
Teror berupa ancamana lisan, pelemparan ke bangunan pondok pesantren, hingga pembakaran bangunan santriwati. Tak hanya itu, Pak Abun juga secara langsung menerima ancaman pembunuhan agar menghentikan pembangunan pesantren. Pak Abun terus bergerak. Perlahan dan pasti, bangunan pondok pesantren berdiri di tanah luas di daerah Kebon Kolot, persis di belakang kantor Polres Purwakarta. Segala jenjang pendidikan Islam, mulai TK hingga SLTA, dan perguruan tinggi dilahirkan Kiai Abun.
 
Perjuangannya pendidikan pesantren yang dikembangkannya itu tidak terlepas dari peran para gurunya di Pesantren Cipasung Tasikmalaya. Ia menegaskan, pendidikan Pesantren yang diajarkan di Cipasung telah memberikan banyak hal bagi kehidupannya. Bahkan, lanjut Kiai Abun, tanpa Pesantren Cipasung, Pesantren Al-Muhajirin yang telah memiliki 6.000 lebih santri itu tidak akan berdiri kokoh sampai saat ini.
 
"Pesantren ini tidak ada apa-apanya kecuali karena Pesantren Cipasung," ujar Kiai Abun dalam kesempatan pembukaan Rapat Pleno PBNU. Kini Yayasan Al-Muhajirin dipimpin oleh salah seorang putri Kiai Abun yang bernama Hj Ifa Faizah Rohmah. Perempuan kelahiran Purwakarta, 20 Mei 1980 ini menamatkan program doktoralnya di Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
 
Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Kendi Setiawan