PESANTREN TEGALREJO Magelang tempat KH Abdurrahman Wahid dulu nyantri, dan tempat kebudayaan rakyat Jawa dan tradisi-tradisi keagamaan Aswaja terpelihara dengan baik.
<>
Pesantren ini, didirikan pada September 1944 oleh Kiai Chudori (wafat 28 Agustus 1977) di daerah kaki gunung Merbabu, Tegalrejo, Magelang. Kini dengan jumlah santri lebih 2000. Pesantren ini merupakan salah satu pesantren terbesar di Jawa Tengah. Lahir dari keluarga penghulu di Tegalrejo, Kiai Chudori sejak kecil dididik untuk menjadi kiai. Setelah menyelesaikan sekolah dasarnya di HIS (Hollandsch Inlandsche School), pada 1923 ia dikirim ayahnya nyantri di Pesantren Payaman, Magelang, yang diasuh oleh Kiai Siroj.
Jarak 12 kilometer dari rumah tidak menghalanginya untuk memanggul perbekalan tiap bulan ke pondok ini. Setelah itu, ia mengembara sebagai santri kelana, dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Dari Pesantren Koripan asuhan Kiai Abdan, Pesantren Grabag pimpinan Kiai Rahmat hi tahun 1928. Setelah itu nyantri ke Pesantren Tebuireng, Jombang, selama empat tahun.
Di pesantren asuhan Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari ini, Kiai Chudori menemukan “tanah air spiritual”-nya. Berbagai disiplin keilmuan ditekuninya, mulai dari tata bahasa Arab, fiqih, hingga pendalaman tasawuf.
Kemudian beliau melanjutkan pengembaraannya menuntut ilmu ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri, pada tahun 1933, di bawah asuhan Kiai Chozin Muhajir. Di sini Kiai Chudori mendalami Kitab Ihya Ulumiddin karya Imam al-Ghazali. Empat tahun kemudian pindah ke Pesantren Sedayu, Jawa Timur, lau ke Pesantren Lasem, Jawa Tengah, di bawah asuhan KH Ma’shum dan KH Baidlowi.
Setelah menikah dengan putri Kiai Dalhar, pimpinan Pesantren Watu Congol, Muntilan, Magelang, dan setelah mujahadah meminta petunjuk Allah SWT, Kiai Chudori mendirikan pesantren di kampungnya sendiri. Santri pertamanya berjumlah 8 orang, semuanya dari desa-desa terdekat. Selama revolusi kemerdekaan, pesantren ini menjadi benteng perjuangan gerilyawan Republik. Kiai Chudori memberi izin kepada sebagian santri-santrinya untuk ikut bergerilya. Tapi akhirnya pihak Belanda menguasai Tegalrejo, dan bangunan pesantren terpaksa dibongkar. Sang kiai dan keluarganya mengungsi ke pedalaman.
Setelah perjuangan bersenjata dan revolusi berakhir, pesantren dibuka kembali, meski dengan modal seadanya. Berkat perjuangan dan kegigihan beliau, pesantren akhirnya dapat berkembang hingga mencapai jumlah santri 400-an orang pada tahun 1954.
Pada Pemilu 1955, Pesantren Tegalrejo memberi dukungan kepada Partai NU, meski Kiai Chudori sendiri tidak pernah aktif dalam partai para kiai tersebut. Alasannya, fokus kepada pengembangan pesantren dan pendalaman ajaran tasawuf. Sehingga, pesantren ini pernah menjadi tuan rumah penyelenggaraan Muktamar Jam’iyyah Thariqat Muktabarah yang berafiliasi pada NU pada tanggal 12-13 Oktober 1957.
Pasca muktamar yang dihadiri ribuan pimpinan tarekat dan peserta dari seluruh Indonesia ini, Pesantren Tegalrejo kian terkenal, hingga santrinya mencapai 1200-an orang. Di masa itulah, paruh akhir 1950-an, Gus Dur nyantri.
Ada kejadian menarik yang menunjukkan karakter tersendiri pesantren ini sampai dikenal hingga kini. Dan juga berbekas dalam pemikiran Gus Dur selama hayatnya hingga menyebut sang kiai sebagai kiai yang ngangeni (bikin kangen).
Sekitar tahun 1957-1958 muncul sedikit ketegangan antara komunitas pesantren dan masyarakat desa perihal penggunaan dana desa. Pihak pertama menghendaki dana tersebut untuk pembangunan perluasan masjid yang sudah tidak bisa menampung jamaah yang meluap.
Sementara pihak masyarakat desa menghendaki dana itu untuk pembelian gamelan bagi pengembangan kesenian reog desa. Lurah tidak bisa memutuskan, persoalan ini akhirnya dibawa ke Kiai Chudori. Jawaban sang kiai cukup telak: kesenian reog diutamakan. Logika beliau, kalau kesenian itu maju, maka mereka akan menyemarakkan pesantren, dan juga akan memakmurkan mesjid. Dan ketika mesjid diperhatikan oleh mereka, tentu mereka akan berjuang untuk memperluas dan mengembangkannya pula. Pesan ini kemudian membekas pada pengasuh-pengasuh pesantren berikutnya. Dan dari sini kemudian Pesantren Tegalrejo dikenal sebagai pesantren pelindung kesenian rakyat.
Sepeninggal Kiai Chudori, pesantren kemudian diasuh oleh putra pertama beliau, Kiai Abdurrahman, dibantu Kiai Muhammad, putra kedua. Masing-masing mewakili jatidiri ayahnya, yang santri dan pecinta kebudayaan Jawa. Yang pertama memegang posisi formal kiai dan pemimpin NU, serta memberikan pengajian. Sementara Pak Muh (panggilan akrab Kiai Muhammad) lebih condong kepada penguatan tradisi Jawa. Menurutnya, kekuatan pesantren itu diperoleh dari satu kitab kecil tapi berpengaruh, Kitab al-Hikam, karya Ibnu Atha’illah al-Iskandari. Ini adalah modal untuk mengembangkan kebudayaan Jawa dari pesantren.
Kelompok-kelompok sasaran Pak Muh kebanyakan adalah orang-orang kejawen. Pentingnya kesenian rakyat itu ditunjukkan dalam perayaan khataman, pesta perpisahan bagi para santri yang sudah lulus. Dalam acara tersebut dipertunjukkan kesenian rakyat Jawa seperti jatilan, wayang, ketoprak, reog, dan sorengan.
Di samping pemutaran film Indonesia, orkes dangdut, serta pertunjukan keagamaan seperti badui, kubro dan samrah. Berbeda dengan kakaknya, Pak Muh tidak selalu diakui sebagai kiai. Dia lebih sering memakai celana dan kemeja dari pada sarung dan peci, kadang-kadang memakai jeans. Rumahnya penuh dengan gambar wayang. Pada tembok depan dekat pintu masuk ada gambar Werkudoro yang besar, orang kedua dari ksatria Pandawa yang lima. Beberapa santri menyebutkan bahwa Werkudoro merupakan simbol kedua dari lima rukun Islam. Di lingkungan pesantren, azimat Werkudara disebut “aji-aji ponconoko” (lima kekuatan). Ini berarti bahwa seseorang yang menjalankan shalat lima waktu, akan mendapatkan kekuatan spiritual.
Pesantren Tegalrejo kemudian dikenal luas bukan saja sebagai tempat pengembangan tradisi keilmuan Aswaja dan acara-acara keagamaan, tapi juga sebagai festival berbagai macam pertunjukan kesenian rakyat Jawa. Ini menunjukkan bagaimana pesantren menjadi basis bertemunya dua komunitas besar di Jawa, komunitas santri dan abangan, dimana kiai menempati posisi sentral dan strategis. Itu semua berkat kesaktian tradisi tasawuf Aswaja seperti dirintis dan diolah oleh Kiai Chudori. Kini Pesantren Tegalrejo diasuh oleh putra kelima sang pendiri, Kiai Yusuf Chudori. (Ahmad Baso)
Maraji: M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (2009), dan, Islam Faktual (1998); Mohamad Sobary, Jejak Guru Bangsa (2010).
Foto: Santri Tegalrejo sembayang berjamaah (blontankpoer.com)
Terpopuler
1
Khatib Tak Baca Shalawat pada Khutbah Kedua, Sahkah?
2
Meninggal Karena Kecelakaan Lalu Lintas, Apakah Syahid?
3
Masyarakat Adat Jalawastu Brebes, Disebut Sunda Wiwitan dan Baduy-nya Jawa Tengah
4
Hukum Quranic Song: Menggabungkan Musik dengan Ayat Al-Quran
5
Jalankan Arahan Prabowo, Menag akan Hemat Anggaran dengan Minimalisasi Perjalanan Dinas
6
Wacana AI untuk Anak SD, Praktisi IT dan Siber: Lebih Baik Dimulai saat SMP
Terkini
Lihat Semua