Meruntuhkan Indonesia
Pada mulanya para filsuf mengatakan bahawa pengetahuan sebagai kebijaksanaan (wisdom), tetapi dalam kenyataannya pengetahuan juga merupakan sebuah kekuasaan (power). Tetap pengetahuan selalu bisa menyembunyikan kepentingan politis dan ideologis dibaliknya, dengan diselubungi oleh jubah akademis. Pandangan itu valid sebelum muncul teori kritis yang membongkar interes ideologi dibalik wacana ilmu pengetahuan. Karena itu pada mulanya teori ktitis tidak dianggap ilmiah, sebab mengakui adanya interes (kepentingan), padahal dalil ilmu pengetahuan positivis tidak mengenal (menyembunyikan) interes dibalik teori mereka, sehingga berani mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu netral nilai dan steril dari idelogi politik.
Telaah yang dilakukan Simon Philpot, dalam bukunya Rethinking Indonesia: Post Colonial Theory, Authoritarianism and Identity, terhadap kajian Indonesia ini, memang menggunakan perspektif teori kritis. Ia mencoba menyorot bagaimana para Indonesianis (ahli tentang Indonesia) itu merumuskan pemikirannaya, sejak dari membangun asumsi hingga merumuskan teori dan metodologi pengetahuan. Hal itu dilakuakn sebab ia melihat bahwa selama ini kajian Indonesia menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok. Pemikiran para Indonesianis tersebut semakin mencolok biasnya ketika dilihat dari perspektif teori orientalisme Edward Said yang sangat terkenal itu.
Bagaimana kepentingan pragmatis mempenga
Sabtu, 17 Juni 2006 | 10:44 WIB