Puisi

Puisi-puisi Masduri

Ahad, 18 November 2012 | 01:17 WIB

I’tikad Salah Kiblat

Suara-suara itu timbul tenggelam
Sepertinya terlalu lama mengapung dalam lautan
Hingga membentuk jari-jari tangan
Yang sulit dibinasakan

<>

Aku tersesat dalam bayangkara rindu
Mimpi-mimpi tanpa pasak yang kuat
Hingga bila saja terjungkal
Maka tunggulah tsunami
Meluluhlantakkan setiap kata yang dideret

Aku tidak siap menerima takdir
Terlalu dini bersastra 
Sementara satu puisipun tak aku bajak
Lagu-lagu kemerdekaan tumbang
Dipertengahan jalan
Digang-gang sempit
Tempat syetan berpesta pora 
Dengan sesajen tujuh purnama

Sebelum semuanya beku menjadi batu
Dan aku berengkarnasi jadi patung
Aku tak akan membiarkan Jin-Jin
Dedemit, Syetan dan Iblis
Menyeretku ke tepi Neraka
Denga tawa tanpa titik dan koma
Aku akan memutus ikat rantai
Yang dibalut pada lengan-lengan ketersesatan
Karena hampir saja aku tenggelam dalam kemusyrikan
Dengan i’tikad salah kiblat

Surabaya, 07 Maret 2011

Prasasti Do’a

Bengkak mata karena letih. Menyisir rumput-rumput sunyi. Terbangkan aku dalam bayang-bayang do’a. Yang dinisbatkan pada Cinta. Tak lagi lesuh beranak. Tinggalkan segala penat dalam dada. Menekuri kekeringan lalu. Istighfar menyulut bunyi jadi tangis. Tangis kesal mendalam, dari ketertiduran sepanjang masa, melebihi jauhnya jalan pulang.

Cinta telah menyulap lirik-lirik bantal menjadi pelangi di malam gelap. Menyusun prasasti pradaban do’a. Sehingga negasi rindu kembali terbangun bersama panjangnya sujud tobat dan duduknya segala mimpi yang dimintakan. Karena Tuhan melanggengkan cinta dalam percikan gerak-Nya, merestui belaian ketulusan.

Ingin kembali disambungkan aliran nada berbunyi mesra. Hasil panen belajar musikal masa klasik. Sebuah pertualangan hasrat, jelajahi rimba dan kelamnya kesesatan. Bila rindu memuncak jadi puisi, maka sujud dan do’a adalah bahasa cinta yang lahir dari nadi gerak getar hati.

Surabaya, 02 Februari 2011

 

Kebingungan Jalan Pulang

Air mengalir diriak-riak waktu tanpa nada. Mengajari diam bertapa dalam lidah. Tak sedukitpun, sebelum matahari tebit, ada kongkok ayam tanda siang telah berakhir. Segalanya bergerak ke arah sore, dengan petang menjemput tanpa baju. Bunyi-bunyi bintanag malam mulai tedengar dari paras wajahnya yang berselimut beku. Hingga membentuk bundaran kesaksian tanpa tiang yang tegak. Bahkan dirimu tenggelam dalam alunan suara  melodi-melodi penyesat jalan pulang.

Ketika jalan buntu membentuk batu-batu ginjal. Mengancam keberadaan yang sial. Tertidur dalam tikar tanpa alas. Kau berbatuk dengan dahak terengah-engah meminta komik buatan persaan. Kau memintaku keliling, pulang dengan buah-buah yang kita tanam sesilam abad lalu. Kau ingin memakannya. Ketika haus telah menusuk denyut jantung air bor penyubur tanaman. Memintal kembali susu sapi dari sujud bumi pertiwi.

Lahirnya cinta dari perasaan. Perasaan tak beduri. Perasaan tak bernoda. Persaan tak kotor. Persaan tak berbohong. Persaan tak bersembunyi. Lalu kenapa suara bising itu mengusik gendang telinga, ketika kereta itu hampir menebas pohon-pohon rindang. Tanaman gerak setiap nafas dan denyut nadi. Aku hampir tertabrak, dan kau juga terancam, karena terlalu lama berdiam dalam tatapan tanpa arah. 

Kebingungan jalan pulang. Berdesak-desakan dengan cinta tak bertuan. Hilir mudik kereta kencana. Membuat kau lupa jalan pulang yang aku persiapkan dari BMW tempat kau dilahirkan. Kau lahir dari senyum dan tangisku, jangan lupa jalan pulang. Karena sebenarnya sudah jelas di mana barat dan timur.  

Surabaya, 27 Februari 2011

Bata-Bata Cinta

Asap langit membekas jadi puisi. Berkembang biak jadi potongan sajak-sajak rindu dari percakapan perasaan yang tak terbatas. Arus rasa melintasi jalan udara kapal peziar. Meneggelamkan kekelaman paceklik sepi. Lalu lalang serangan dor-doran bintang gemintang. Kau jadikan pagar rindu. Membentengi segenap istana. Yang kita bangun dari bata-bata cinta.

Kini telah dewasa. Butir-butir benih menua bersama usia pekatnya rindu musim dingin. Kadang-kadang membuat kita lupa jalan tikungan. Bahwa sesatnya aspal. Tak pernah terlahirkan dari roh kudus. Namun begitu. Banyak ragam-ragam lagu disenandungkan lewat auramu. Ketika rindu bertahta dijalan-Nya.

Surabaya, 11 Maret 2011

 

Masduri, Lahir di Jadung Dungek Sumenep. Suka menulis Puisi, Cerpen, Artikel, Resensi. Semasa kecil ia menamatkan pendidikan dasarnya di MI Tarbiyatul Muta’allimin Jadung, dan melanjutkan di MTS & MA Nasy’atul Muta’allilmin Gapura. Sekarang sedang menempuh S1 di IAIN Sunan Ampel Surabaya jurusan Teologi dan Filsafat. Ia aktif di bergagai organisasi salah satunya, Bengkel Karya Pesantren Luhur Al-Husna, IKMAS, PB. IKON, UKPI, LPM Solidaritas, LPM Forma dan EDENSOR. Puisinya “Kalau Mereka” terilih sebagai juara pertama dalam lomba cipta puisi yang diadakan oleh Anjangsana Komunitas Srambi Sastra (AKSS) Ciputat 2012. E-mail masduri_as@yahoo.co.id, HP 081935177436 dan blogs www.masduri.wordpress.com.

Terkait

Puisi Lainnya

Lihat Semua