Pustaka

Ide Pembaharuan Islam Tokoh-tokoh Kontemporer

Senin, 14 November 2011 | 04:40 WIB

Judul: Menafsirkan Tradisi dan Modernitas: Ide-ide Pembaharuan Islam
Penulis    : Wasid, dkk.
Penerbit: Pustaka Idea, Surabaya
Cetakan: I, Juli 2011
Tebal: 369 halaman
ISBN: 978-602-99387-1-5
Harga: Rp. 59.000
Peresensi: Abd. Basid

Ada banyak ragam seseorang dalam membaca realitas keagamaan dalam tiap fasenya. Ada yang berpegang teguh pada kekuasaan teks dan sebaliknya ada yang mengabaikannya. Penganut tipe yang pertama ini biasa disebut dengan kaum fundamentalis sedangkan yang kedua disebut kaum rasionalis.
<>
Kaum fundamentalis berkeyakinan bahwa dalam membaca dan memaknai sebuah realitas harus dikembalikan pada teks murni. Mereka mengajak seluruh masyarakat luas agar taat terhadap teks-teks Kitab Suci yang otentik dan tanpa kesalahan. Karenanya faham ini seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain, bahkan yang ada di lingkungan agamanya sendiri. Ciri mereka yang menganut faham ini di antaranya suka menolak perubahan, intoleransi, tertutup, kekakuan madzhab (aliran), keras, tunduk kepada turats (tradisi), kembali ke belakang, dan menentang pertumbuhan dan perkembangan.

Kebalikan dari fundamentalis adalah rasionalis. Kaum rasionalis beranggapan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Bagi mereka, sudah bukan saatnya kita “menuhankan” tradisi. Semuanya harus berubah. Zaman modern menuntut kita untuk berpikir logis dan empiris. Karenanya, bagi mereka, isu-isu problematika yang semakin pelik di berbagai sektor ini harus dibaca dengan logika. Ciri aliran ini adalah penolakannya terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat, atau kepercayaan yang sedang populer.

Dua aliran yang saling bertentangan di atas, cukup kuat jika dikatakan laksana Tom and Jarry yang tak pernah damai. Keduanya sama-sama perpegang teguh pada prinsipnya. Yang pertama anti modernis dan yang kedua anti turats (tradisi).

Selanjutnya, bagaimana kita sebagai insan yang sudah menerima dan mendapatkan hasil olah keduanya? Buku “Menafsirkan Tradisi dan Modernitas: Ide-ide Pembaruan Islam”, saya kira bisa menjadi jawaban dari problematika di atas. Buku ini mencoba membaca turats dan modernitas dengan analisa para tokoh kontemporer Islam yang ide-idenya dilandaskan pada pembaharuan Islam.

Sebut saja seperti Muhammad Syahrur, Thoha Husain, dan Asghar Ali Engineer. Muhammad Syahrur dengan teori limit-nya merespon keadaan zaman yang pelik ini (hal. 17-21). Baginya, dunia hukum Islam tidaklah terkungkung bak tahanan dalam perjara. Hukum Islam itu bebas bergerak selama dalam batas-batas yang ditentukan. Batasan itu adalah Nabi Muhammad, di mana ia merupakan inspirasi awal untuk melakukan sesuatu. Nabi Muhammad adalah penafsir pertama atas kondisi sosial dunia ini.

Thoha Husain dengan modal rasionalisme, tradisi ilmiah, dan kesejarahan menyikapi turast dan modernitas dengan arif. Baginya, turats tidak harus ditolak dan begitu juga modernitas. Dengan pemaduan turats dan modernitas, Thoha Husain mencoba membaca ulang turats agar lebih bermakna bagi kemanusiaan terkini (hal. 115-122).

Asghar Ali Engineer dengan teori teologi pembebasannya membaca keterbelakangan Islam dari Barat. Ia menggugat teologi klasik yang hanya berkutat pada pembebasan Tuhan dan menghadirkan teologi kepasrahan. Baginya, keterbelakangan dan ketertindasan umat Islam dikarenakan teologi yang tidak membebaskan. Untuk itu, ia menawarkan teologi pembabasan (hal. 336-338), di mana teologi itu tidak hanya untuk “membela” Tuhan, akan tetapi juga untuk “membela” manusia. Untuk hal ini, Asghar Ali Engineer meneliti turats untuk dicari nuansa pembebasannya dan mendialogkan dengan realitas kekinian.

Buku yang ditulis keroyokan oleh para pemikir dan intelektual strata tiga Pemikiran Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya ini layak untuk dibaca para akademisi dan intelektual keislaman secara umum. Topik buku ini, yang sampai mereka bawa ke dalam forum diskusi—yang mereka istilahkan Forum “20”—sebelum terbit semakin menambah nilai ketajaman analisis masing-masing penulisnya.

Sebagai catatan akhir, ada dua catatan saya perihal buku ini, yaitu pertama, mengingat buku ini merupakan kajian tokoh, seringkali ditemukan judul tulisan kurang mewakili isi tulisan. Lihat saja, seperti pada tulisan yang berjudul “Membendung Otoritarianisme, Mengusung Hermeneutika Negosiatif” (hal. 67). Tulisan dengan judul tersebut berisi kajian terhadap pemikiran tokoh Khaled Abou El-Fadl, namun judul itu kurang memberi informasi bahwa di dalamnya berisi pemikiran tokoh Khaled Abou El-Fadl. Bagi para pembaca yang sudah berkecipung lama dengan dunia pemikiran tokoh kontemporer, mungkin tidak asing bahwa teori Hermeutika Negosiatif adalah teori interpretasi Khaled Abou El-Fadl, namun belum tentu bagi pembaca yang baru (baca: pemula) berkecipung dalam dunia pemikiran kontemporer? Hal serupa juga bisa ditemukan pada halaman-halaman lain seperti halaman 23 (tentang pemikiran Hassan Hanafi), 43 (tentang pemikiran Muhammad Syahrur), 109 (tentagn pemikiran Thaha Husain), 123 (tentang pemikiran Sayyed Hussein Nasr), 219 (tentang pemikiran Baihaqi AK) dan 253 (tentang pemikiran Fatima Mernessi).

Kedua, buku ini terkesan buku foto copy-an, bukan cetakan asli, melihat lay out pinggirnya yang mepet dengan tepi buku sehingga seakan-akan terpotong karena mau dijilid dan ditambah lagi kertasnya yang buram.

* Sarjana theologi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya