Kiai Cebolek adalah sebutan untuk seorang ulama besar yang bernama Syekh Ahmad al-Mutamakkin. Beliau disebut-sebut sebagai salah satu “Wali Allah” yang sangat berpengaruh pada zamannya. Beliau juga diterima oleh masyarakat karena menggunakan strategi yang arif, dengan menghormati khazanah tradisi lokal yang sudah mengakar. Kebijaksanaan, kearifan, dan kedalaman wawasan keilmuan serta spritualitas Kiai Cebolek ini yang menjadi modal penting dalam dakwah Islamnya di tanah Jawa.
Kiai Cebolek hidup sebagai ulama besar di kawasan Desa Cebolek atau kampung Cebolek, sekitar 30 kilometer arah utara kota Pati, Jawa Tengah. Dalam kajian sejarah sastra Jawa, nama daerah tersebut sudah diabadikan dalam sebuah serat (treatise) yang disebut Serat Cebolek. Sebuah kitab yang memuat kisah-kisah beraroma keagamaan dan kekuasaan yang melibatkan sosok Kiai Cebolek melawan kekuasaan kerajaan.
Dari Sebagian kalangan, ada yang beranggapan bahwa Kiai Cebolek mengajarkan Ilmu hakikat yang menyimpang dari Syari’at Islam. Bahkan derajat kontroversinya disamakan dengan kontroversi yang ditimbulkan oleh Syekh Siti Jenar. Kontroversi Kiai Cebolek merupakan salah satu dari contoh ketegangan yang sudah ada sejak lama antara Islam legalistik (eksoteris) dan tasawuf (esoteris). Hal itulah yang kemudian menjadi tema utama pembahasan dalam serat cibolek ini.
Buku yang berjudul “Suluk Kiai Cebolek: Dalam Konflik Keberagamaan dan Kearifan Lokal” karya Ubaidillah Achmad dan Yuliyatun Tajuddin ini mencoba mengurai kisah kontroversi dan kemasyhuran sosok Kiai Cebolek. Ada tiga hal yang mempengaruhi kemasyhuran Kiai Cebolek yaitu Pertama, Kiai Cebolek menguasai ilmu-ilmu keislaman (syari’ah), bidang kalam, bidang fiqih, dan bidang tasawuf. Kedua, Kiai Cebolek menguasai elemen-elemen kebudayaan lokal yang bersifat non-Islam, khususnya kisah pewayangan (kisah Bima dan Dewa Ruci), dan memanfaatkan tradisi lokal itu sebagai medium untuk menyampaikan ajaran Islam tanpa melanggar ketentuan syariat yang sudah dipahaminya. Ketiga, komitmen Kiai Cebolek pada gerakan kultural-kerakyatan dengan tidak terpengaruh bingar-bingar kekuasaan yang banyak menggoda para tokoh agama.
Terdapat sisi menarik dari buku ini, yaitu penulis telah mampu memaparkan kosmologi kesufian Kiai Cebolek yang membentuk simetrisitas relasi antara Allah, manusia, dan alam. Penulis telah menunjukkan temuannya, berupa suluk Kiai Cebolek yang tidak tersusun dalam puisi-puisi seperti suluk dalam teks kewalian sebelumnya, justru suluk Kiai Cebolek ditemukan dari ornamen-ornamen pada langit-langit Masjid Kajen Pati. Pada ornamen-ornamen ini terukir berbagai aneka alam lestari, misalnya, pohon, ular, burung, bulan, matahari, manusia, dan beberapa unsur kelestarian alam. Keseluruhan ornamen ini telah dikupas secara filosofis menjadi sebuah suluk kewalian yang bisa membentuk keseimbangan jiwa dan kepribadian yang baik yang lebih ramah terhadap lingkungan hidup.
Selain itu, dalam buku ini disinggung juga perspektif KH Abudarahman Wahid (Gus Dur) mengenai Kiai Cebolek, bahwa gerakan Kiai Cebolek diakui sebagai gerakan “Pribumusasi Islam”. Sehingga kita bisa menengok cara-cara konsep “Pribumusasi Islam” itu sendiri lewat pandangan Kiai Cebolek. Pribumisasi yang diterapkan oleh Kiai Cebolek merupakan sebuah fase kesadaran ide, yakni kesadaran atau realisasi tentang gagasan yang mampu membentuk sikap dan kepribadinan individu yang direalisasikan dalam keimanan dan amal perbuatan.
Dari apa yang telah dipaparkan, secara sederhana buku ini bukan sekedar utopia atau juga bukan sekedar definisi ideologis. Sebab dakwah yang dilakukan Kiai Cebolek yakni menembus langsung dalam jantung eksistensial manusia, yakni totalitas manusia sebagai “sebaik-baik ciptaan”. Melainkan dakwah yang menyentuh semua aspek mulai dari amal perbuatan, pemikiran, kejiwaan, dan rohani itu sendiri.
Pembangunan perspektif dakwah dari sosok Kiai Cebolek yang terkisah secara apik dalam buku ini, tentunya sangat cocok sekali bagi kalangan Muslim terutama di ranah Nusantara untuk membacanya. Mengenal dan meneladani beliau sebagai ulama besar yang menjunjung tinggi kearifan lokal serta amal perbuatan dan kerohanian melalui suluk-suluknya, pastilah sangat diharapkan. Namun, bagi sebagian kalangan mungkin saja ada yang menentang perspektif ini dengan alasan kontroversialnya Kiai Cebolek seperti halnya Syekh Siti Jenar.
Data buku
Judul Buku : Suluk Kiai Cebolek: Dalam Konflik Keberagaman dan Kearifan Lokal
Penulis : Ubaidillah Achmad dan Yuliyatun Tajuddin
Penerbit : Prenada
Tahun terbit : Cetakan ke-1 Februari 2014
Jumlah Hal : xvi + 300 halaman
Peresensi : Muhammad Fakhrur Riza, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab UIN Walisongo Semarang