Pustaka

Kitab Tafsir Berbahasa Arab Terlengkap Pertama Karya Ulama Nusantara

Senin, 3 April 2017 | 10:15 WIB

Ini adalah halaman sampul dari kitab “Marâh Labîd li Kasyf Ma’na al-Qur’ân al-Majîd” atau yang dikenal juga dengan “al-Tafsîr al-Munîr” karangan seorang ulama besar dunia Islam di abad ke-19 M asal Nusantara, yaitu Syaikh Abû ‘Abd al-Mu’thî Muhammad Nawawî ibn ‘Umar al-Bantaî al-Jâwî tsumma al-Makkî (dikenal dengan Syaikh Nawawi Banten, w. 1316 H/ 1897 M).

Kitab “Marâh Labîd” atau “al-Tafsîr al-Munîr” terhitung sebagai kitab tafsir yang sangat istimewa, karena karya ini adalah karya tafsir al-Qur’an yang pertama yang ditulis dalam bahasa Arab secara lengkap oleh seorang ulama asal Nusantara. Selain itu, karya ini juga tercatat sebagai salah satu karya tafsir yang ditulis pada abad ke-19 M di dunia Islam (selain "Tafsîr al-Manâr" karangan Muhammad Abduh dari Mesir, w. 1323 H/ 1905 M).

Dalam kolofon, didapati informasi jika karya ini selesai ditulis di Makkah pada malam Rabu, 5 Rabiul Akhir tahun 1305 Hijri (bertepatan dengan 20 Desember 1887 Masehi). Syaikh Nawawi menulis di halaman terakhir karyanya ini;

وقد انتهى ما منّ الله به علينا من المعاني الميسّرة والألفاظ المسهّلة في خامس ربيع الآخر ليلة الأربعاء عام سنة 1305 ألف وثلاثمائة وخمسة على يد الفقير إلى الله تعالى محمد نووي غفر الله له ولوالديه، ولمشايخه، ولإخوانه المسلمين، وصلى الله عليه وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

(Dan aku telah menyelesaikan karya ini …. pada tanggal lima bulan Rabiul Akhir, malam Rabu, tahun 1305, Seribu Tiga Ratus Lima [Hijri] oleh seorang yang fakir kepada Allah, yaitu Muhammad Nawawi, semoga Allah memberikan pengampunan kepadanya dan kedua orang tuanya juga pada guru-gurunya ….).

Karya ini kemudian dicetak untuk pertamakalinya oleh al-Mathba’ah al-‘Utsmâniyyah (al-Amîriyyah) di Kairo beberapa bulan kemudian (1305 Hijri/ 1888 Masehi), dan mengalami cetak ulang berkali-kali hingga saat ini oleh pelbagai penerbit lainnya, baik di Timur Tengah ataupun di Nusantara.

Dalam kata pengantarnya, Syaikh Nawawi Banten mengatakan bahwa dirinya menulis kitab tafsir ini dikarenakan adanya dorongan dari salah seorang gurunya. Pada awalnya, beliau merasa segan untuk menuliskan sebuah karya tafsir, karena bidang ilmu ini terhitung berat. Namun kemudian, demi misi lestarinya sebuah tradisi penulisan ilmu pengetahuan, maka beliau pun mulai menuliskan karya tafsir ini. Syaikh Nawawi Banten menulis;

أما بعد، فيقول أحقر الورى محمد نووي: قد أمرني بعض الأعزة عندي أن أكتب تفسيرا للقرآن المجيد فترددت في ذلك زمانا طويلا خوفا من الدخول في قوله صلّى الله عليه وسلّم: «من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ. وفي قوله صلّى الله عليه وسلّم: «من قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار. فأجبتهم إلى ذلك للاقتداء بالسلف في تدوين العلم إبقاء على الخلق وليس على فعلي مزيد ولكن لكل زمان تجديد، وليكون ذلك عونا لي وللقاصرين مثلي

(Ammâ ba’du. Maka berkatalah hamba yang paling hina, Muhammad Nawawi namanya. Bahwa telah memerintahkan kepadaku sebahagian guru yang aku muliakan, agar aku menulis sebuah tafsir al-Qur’an. Aku mengurungkan untuk tidak memenuhi perintah itu selama bertahun-tahun lamanya, karena takut akan hadits Nabi yang mengatakan bahwa “barangsiapa yang menafsirkan al-Qur’an dengan pendapatnya, dan itu adalah benar, maka sejatinya ia telah melakukan kekeliruan”. Juga takut akan hadits Nabi lainnya, yang mengatakan bahwa “barangsiapa yang menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat (hawa nafsu)nya, maka hendaklah ia menyediakan tempat di neraka”. [Namun setelah itu,] aku pun menyanggupi permintaan tersebut, karena hendak mengikuti para generasi terdahulu yang salih dalam upaya melestarikan tradisi penulisan ilmu pengetahuan, agar ia tetap berkembang di antara manusia. Tidak ada sesuatu yang baru yang aku lakukan, namun setiap zaman mestilah terdapat pembaharuan. Dan hendaklah karya ini menjadi penolong bagiku, juga bagi orang-orang yangbodoh semisalku [guna memahami kandungan al-Qur’an]).

Dalam menulis karya ini, Syaikh Nawawi Banten pun merujuk kepada beberapa kitab tafsir, sebagaimana yang beliau sebutkan dalam kata pengantarnya. Beberapa rujukan tersebut adalah; (1) al-Futûhât al-Ilâhiyyah” atau yang dikenal dengan “Hâsyiah al-Jamal” karya Syaikh Sulaimân ibn ‘Umar al-Jamal (w. 1204 H/ 1789 M), (2) “Mafâtih al-Ghaib” atau yang dikenal dengan “al-Tafsîr al-Râzî” karangan Fakhr al-Dîn al-Râzî (w. 606 H/ 1209 M), (3) “al-Sirâj al-Munîr” karangan Syaikh Syams al-Dîn Muhammad al-Syarbînî (w. 977 H/ 1569 M), dan (4) “Tafsîr Abî Sa’ûd” atau “Irsyâd al-‘Aql al-Salîm” karya Abû Sa’ûd al-‘Imâdî (w. 982 H/ 1574 M).

Syaikh Nawawi Banten menulis;

وأخذته من الفتوحات الإلهية ومن مفاتيح الغيب ومن السراج المنير، ومن تنوير المقباس، ومن تفسير أبي السعود. وسميته مع الموافقة لتاريخه «مراح لبيد لكشف معنى قرآن مجيد» ، وعلى الكريم الفتّاح اعتمادي، وإليه تفويضي واستنادي

(Aku telah merujuk pada kitab-kitab tafsir seperti “al-Futûhât al-Ilâhiyyah”, “Mafâtih al-Ghaib”, “al-Sirâj al-Munîr”, “Tanwîr al-Miqbâs”, dan “Tafsîr Abû Su’ûd”. Aku menamai karyaku ini dengan nama yang sesuai dengan masanya,yaitu “Marâh Labîd li Kasyf Ma’nâ al-Qur’ân al-Majîd”. Kepada Allah yang Karim dan Fattah lah aku bersandar, kepadaNyalah aku menyerahkan segala urusan).

Dalam menulis karya tafsir ini, Syaikh Nawawi Banten cenderung menggunakan metode “tahlîlî” (analitik), yaitu mengkaji dan menafsirkan al-Qur’an berdasarkan sistematika urutan ayat dan surat. Syaikh Nawawi Banten juga menuliskan asbâb al-nuzûl, yaitu konteks dan kausa sebuah ayat diturunkan, menguraikan varian bacaan al-Qur’an (qirâ’ât) dan implikasi hukum yang ditimbulkan olehnya.

Pada konteks sejarah penulisan karya tafsir al-Qur’an ke-Islam Nusantaraa-an, karya ini sezaman (meski lebih senior) dengan karya-karya tafsir al-Qur’an yang ditulis oleh ulama Nusantara dengan menggunakan bahasa lokal, seperti tafsir “Nûr al-Ihsân” dalam bahasa Melayu karangan Syaikh Muhammad Sa’id Kedah, tafsir “Faidh al-Rahmân” berbahasa Jawa karangan Syaikh Soleh Darat, dan “Tafsir al-Qur’an” berbahasa Sunda karangan Haji Hasan Mustapa Garut. (Ahmad Ginanjar Sya'ban)