Pustaka

Menuju Teologi yang Memihak Kaum Tertindas

Senin, 27 April 2009 | 15:28 WIB

Judul Buku : Dari Teologi Menuju Aksi; Membela yang Lemah, Menggempur Kesenjangan
Penulis : Abad Barduzzaman
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I (Pertama), April 2009
Tebal :  304 halaman
Peresensi : Humaidiy AS *)


Ketika Islam pertama kali turun, perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, serta budaya mayarakat sangat jauh berbeda dengan masa sekarang. Agar nilai-nilai Islam tetap hidup dan bermakna untuk memayungi hidup manusia, upaya pemberian jawaban terhadap persoalan kemanusiaan kontemporer mesti dilakukan. Gagasan-gagasan keadilan sosial, HAM, demokrasi, gender, inklusivisme dan lain sebagainya yang bisa menjawab persolalan itu, harus mendapatkan wadah dalam tradisi Islam.<>

Oleh karenanya, menempatkan agama dalam bentuknya yang kontekstual dalam dinamika prubahan sosial adalah sesuatu yang harus dilakukan terus-menerus. Sebab, agama pada dasarnya harus terus menemukan maknanya sepanjang zaman. Dan untuk menemukan makna yang berguna bagi perubahan sosial itu, maka penafsiran ulang dan penyegaran pemahaman keagamaan mutlak dilakukan. Pencarian makna baru dari ajaran Islam, adalah sebuah konsekuensi dari perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan.

Abad Badruzaman melalui buku berjudul “Dari Teologi Menuju Aksi; Membela yang Lemah, Menggempur Kesenjangan” mencoba untuk mengajak pembaca melakukan  revitalisasai spirit ajaran Islam sebagai ‘mercusuar utama” dalam pembelaan terhadap golongan lemah dan tertindasatau lebih  dikenal dengan kaum mustadha’afin. Menurut penulisnya, itulah sebabnya Musa, Isa dan Muhammad, misalnya, dicap sebagai pemberontak oleh penguasa dimana mereka hidup. Dari berbagai kisah tentang mereka kita dapat menyakiskan bagaimana Musa menjadi tokoh antagonis bagi Fir’aun yang lalim, Isa menjadi oposan bagi imprealis Byzantium dan Muhammad menjadi penghancur sendi-sendikesewenang-wenangan bangsawan Quraisy Mekah

Secara umum, kisah kaum mustadhafin dalam Al-Qur’an menghadirkan tiga kutub: pertama, kekuatan penindas (mustadh’ifin), kedua, kelompok yang tertindas dan lemah (mustadh’afin), dan ketiga, kekuatan pembebas dan pembela kaum penindas dalam membela kaum penindas. Yang terakhir adalah kekuatan yang dipimpin dan dipelopori oleh para nabi dan utusan Tuhan. Ini menunjukkan, sejak semula kehadirannya agama-agama besar dunia memang berwatakk subversif terhadap kekuasan yang ada disekitarnya. Karena memang demikianlah cita agama dirumuskan, mengubah tata nilai lama yang bobrok dan menindas dengan tata nilai baru yang humanis dan memihak kaum lemah. Dalam al-Qur’an, istilah mustadh’afin sendiri tidak hanya terbatas pada golongan orang yang tertindas dan lemah  secara ekonomi saja, tetapi juga sosial maupun politik (hal. 105).

Ajaran Islam memang dekat dengan keberpihakan terhadap kaum lemah dan tertindas (mustadh’afin). Bahkan banyak ayat-ayat yang berbicara tentang kaum mustadh’afin sekaligus berbicara dengan ibadah mahdhah (ibadah vertikal) semisal sholat, zakat, puasa, dan lain  sebagainya. Ini menunjukkan betapa sama pentingnya memperhatikan kaum lemah dan tertindas dengan kewajiban melaksanankan sholat, puasa, haji dan sebagainya. Banyak nabi-nabi yang diutus pun berasal dari kalangan rakyat jelata dan berkhotbah di kalangan rakyat jelata yang nota bene adalah pengikut pertama para nabi. Pergulatan eksistensi manusia memang sangat terkait dengan sesamanya.

Dalam kontek Indonesia, implikasi dari makin buramnya perekonomian bangsa ini jelas akan mempertajam kesenjangan sosial yang terjadi pada masyarakat kita. Orang yang mempunyai status the have akan semakin congkak dengan masyarakat yang statusnya the have not. Orang miskin akan semakin termarginalkan dalam pergulatan dunia global sekarang ini. Dengan kekuatan kapitalistiknya, sosok the have akan mengunci jalan-jalan pokok sistem perekonomian negeri ini.

Sementara itu, sosok the have not hanya akan menjadi pekerja murahan yang gajinya tidak dihargai secara layak atau bahkan mereka disia-siakan dan dijadikan objek saja dalam mengeksploitasi negara. Dala konteks para elite bangsa, orang miskin hanya dijadikan perbincangan dalam rapat-rapat yang diselenggarakan, baik anggota eksekutif maupun legislatif. Proyek untuk meninggalkan desa tertinggal dan mmberikan kredit buat rakyat miskin hanya akan habis di pertengahan jalan. Rakyat miskin selamanya akan berada di bawah hegemoni kaum elite dengan watak kapitalistik, materialistik dan hegemonistiknya.

Islam datang untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu ketidakadilan. Penyariatan zakat, anjuran infak dan sedekah misalnya, terbukti telah menghancurkazn sistem kapitalistik-materialistik bangsa Arab ketika itu. Islam tidaklah melarang orang menjadi kaya, karena kekayaan merupakan karunia Allah (QS. 16: 71). Dengan kekayaan, seseorang mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk berbuat baik. Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana antara yang the have dan the have not saling menolong (ta’awun). Sebab, orang kaya tidak akan mampu hidup tanpa adanya orang miskin. Maka hubungan keduanya adalah simbiosis, take and give. Spirit silam dengan demikian membangun kembali tatanan hubungan di antara keduanya agar terjadi keadilan.

Meskipun kaya-raya adalah sunnatullah, Islam mengecam mereka yang selalu menumpuk harta kekayaan, sedangkan disekelilingnya terhampar pemandangan orang miskin, fakir dan anak yatim yang bergelimpangan. Surat al-Ma’un merupakan contoh konkrit bahwa orang yang menolak ajaran keharusan menegakkan keadilan sosial sebagai pendusta agama. Taruhan yang sangat berani, karena Islam langsung menjustifikasi mereka sebagai seorang pendusta yang secara etika tidak lagi dipandang sebagai orang yang baik.

Harus diakui, tema-tema yang dibahas dalam buku ini sesungguhnya bukanlah tema yang bernas dan samasekali baru. Tema-tema serupa dapat kita temui dalam karya Asghar Ali Engineer yang lebih fenomenal dengan mengajukan pencerahan pemaknaan teologi pembebasan dalam Islam and Liberation Theology dan The Qur’an Women and Modern Sociaty. Hassan Hanafi dalam al-Yassar al-Islamy dan ats-Tsawrah yang menyatakan bahwa semangat pembebasan yang didengungkannya muncul karena modernisasi yang berjalan selama ini cenderung terkait dengan kekuasaan yang mentransformasikan tak lebih sebatas ritus keagamaan yang menekankan akhirat ataupun Farid Esack dalam al-Qur’an, Liberation abd Pluralism.

Demikian pula dapat kita temui dalam buah pemikiran pemikir-pemikir Indonesia semisal Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholis Madjid (cak Nur), Jalaluddin Rahmad, Amin Rais dalam berbagai konteks pembahasan. Namun, usaha penulis melalui buku ini setidaknya berupaya menegaskan visi tradisi profetik nabi-nabi Ibrahimiyah, yakni visi keberpihakan dan pembebasan mereka untuk kaum tertindas cukup berhasil dan layak untuk diapresiasi oleh masyarakat pembaca dalam rangka menumbuhkan kepedulian dan kesadaran kita atas nasib sesama.

*) Peresensi adalah Staf Pendidik pada MTs. Ali Maksum Ponpes Krapyak dan Aktivis Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS) Yogyakarta