Pustaka

Pelecehan terhadap Amaliah Warga NU

Ahad, 2 Maret 2008 | 23:00 WIB

Judul Buku: Membongkar Kebohongan Buku; Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik (H. Mahrus Ali)
Penulis: Tim Bahtsul Masail PCNU Jember
Penerbit: Khalista Surabaya
Cetakan: I, Januari 2008
Tebal: xi+ 254 halaman
Peresensi: Ach. Tirmidzi Munahwan

Buku yang berjudul "Membongkar Kebohongan Buku; Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir" ini, merupakan jawaban dari buku yang ditulis H Mahrus Ali yang berjudul, "Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik". Tulisan Mahrus, ternyata mempunyai banyak kejanggalan dan kebohongan, bahkan meresahkan kaum muslimin, khususnya bagi warga Nahdliyyin (sebutan untuk warga NU). Tim Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Cabang NU Jember merasa bertanggung jawab untuk meluruskan adanya kejanggalan dan kebohongan buku tersebut.<>

Dalam bukunya, Mahrus mengatakan bahwa tawassul dan istighosah termasuk perbuatan bid'ah (mengada-ada dalam beribadah), syirik (menyekutukan Tuhan). Bahkan, ia mengkafirkan. Dan, ibadah-ibadah lainnya, seperti, membaca sholawat pada Nabi dan membaca zikir setelah salat lima waktu termasuk perbuatan bid'ah. Padahal, bacaan-bacaan itu telah menjadi tradisi khususnya di kalangan Nahdliyyin. Pertanyaannya, apakah Mahrus sudah menemukan dalil yang kuat dalam Al-Quran dan Al-Hadist, bahwa ber-tawassul, istighosah, membaca sholawat pada Nabi, dan membaca zikir termasuk perbuatan bid'ah, kufur, syirik, dan menyesatkan?

Karena itu, dalam buku ini, dijelaskan, ber-tawassul dan ber-istighosah, hukumnya adalah boleh, baik ketika seorang nabi atau wali itu masih hidup atau sudah meninggal. Namun, hal itu harus disertai dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan bahaya dan memberikan manfaat secara hakiki, kecuali Allah. Sedangkan, para nabi dan wali hanyalah sebagai sebab atas dikabulkannya doa dan permohonan seseorang.

Adapun kebolehan ber-tawassul dan ber-istighosah kepada para nabi dan para wali, baik ketika mereka masih hidup maupun yang telah meninggal, hukumnya sudah disepakati seluruh ulama salaf yang saleh sejak generasi Sahabat sampai generasi para ulama terkemuka pada abad pertengahan. Ada 12 ulama besar terkemuka, yang semuanya sepakat membolehkan ber-tawassul dan ber-istighosah. Di antaranya, Al- Imam Sufyan bin Uyainah (Guru Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hambal), Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi'I, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Abu Ali al-Khallal, Al-Hafizh Ibn Khuzaimah, tiga hafizh (al-Thabarani, Abu al-Syaikh dan Abu Bakar Ibn al-Muqri'), Ibrahim al-Harbi, Al-Hafizh Abu Ali al-Naisaburi, Al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, dan Abu al-Khair al-Aqqtha'.

Tidak hanya ulama di atas yang membolehkannya. Al-Quran yang merupakan sumber primer pengambilan hukum Islam justru menganjurkan ber-tawassul dan ber-istighosah. Seperti yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 35, yang artinya, "Hai, orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya". (QS. Al-Maidah:35). Jadi, dapat kita simpulkan bahwa ber-tawassul dan ber-istighosah dengan para Nabi dan para wali yang sudah meninggal tidak bertentangan dengan ajaran yang telah dijelaskan dalam Al-Quran dan Al-Hadits.

Adapun penolakan Mahrus, dalam bukunya, terhadap doa-doa, tawassul dan istighosah, dengan dipertentangkan dengan ayat-ayat Al-Quran, adalah berakar pada dua hal. Pertama, Mahrus tidak merujuk pada kitab-kitab tafsir yang mu'tabar (dapat dipertanggungjawabkan) yang ditulis para huffazh, seperti, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Qurthubi, dan lain-lain. Kedua, Mahrus tidak memahami maksud ayat-ayat Al-Quran yang diajukan untuk menentang doa-doa tawassul dan istighosah. Ia tidak dapat meletakkan ayat-ayat Al-Quran pada tempat yang sebenarnya (hal. 59-60).

Selain itu, Mahrus mengaku sebagai mantan kiai NU, padahal dia tidak pernah tercatat sebagai anggota dan aktivis NU, apalagi tokoh atau kiai NU, sebagaimana keterangan dari Pengurus Ranting NU Sidomukti, Kebomas, Gresik—tempat kelahirannya. Juga, keterangan dari pengurus Majelis Wakil Cabang NU Waru, Sidoarjo—tempat Mahrus saat ini tinggal.

Dalam bukunya, "Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir", Mahrus telah menyinggung dan melakukan pelecehan terhadap kaum muslimin, khususnya warga NU. Karena ia mau merubah, bahkan melarang amaliah yang sudah menjadi tradisi kalangan pesantren dan warga NU.

Buku ini sangat penting untuk dimiliki dan dibaca kaum muslimin, warga NU pada umumnya. Agar umat Islam, warga NU, hati-hati dan tidak gampang terpengaruh tulisan-tulisan yang saat ini sering menyudutkan terhadap amaliah yang sudah menjadi kebijakan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Semoga buku ini bermanfaat bagi umat Islam, khususnya bagi warga NU.

Peresensi adalah Warga NU asal Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur