Pustaka

Sintesis Spiritual Peradaban Jawa

Senin, 1 Juni 2009 | 03:21 WIB

Judul Buku : Politik Perhatian, Rasa dalam Kebudayaan Jawa
Penulis : Paul Stange
Penerbit : LKIS Yogyakarta
Cetakan : Maret 2009
Tebal : xxix+366 hal.
Perensi : Ahmad Shiddiq Rokib*


Sebagai “pewaris sah nilai-nilai spritual Jawa”, aliran kepercayaan sebenarnya menghadapi tantangan serius. Dari segi riil politik mereka dituntut untuk mendudukkan dirinya secara tepat di hadapan kekuasaan negara dan lalu lintas hubungan dengan kelompok-kelompok agama yang menggeliat memproklamirkan kebangkitan. Derasnya arus modernisasi yang membawa semangat hidup pragmatis dan konsumeris, juga memaksa mereka merekonstruksi dan melakukan revitalisme nilai-nilai spritual dan kebudayaan.<>

Buku Paul Stange ini, merupakan penyingkapan nilai-nilai Jawa yang menurutnya merupakan tradisi Tantrik yang sudah ada jauh sebelum kedatangan tradisi-tradisi agama india dan samatik. Dalam banyak hal, paul menegaskan kembali apa yang disebut “Agama Jawa” atau sering disebut Kejawen dengan segala nilai dan praktik spiritual-ritualnya. Jelas, dibutuhkan suatu energi intelektual yang besar untuk mengklarifikasi hal itu, lantaran Jawa yang kita kenali sekarang bersifat sinkritik. Jawa berkembang tidak dengan kekhasan yang terisolasi, tetapi dalam kombinasi dengan masukan kultural dari luar.

Nah, sementara penegasan agama Jawa senantiasa ingin menjernihkan, dengan cara memilah namun tidak berarti menentangkan, mana yang dianggap murni Jawa dan mana yang sekedar tempelan dari Jawa. Dan ini menjadi kontroversi ini sulit dipisahkan antara Jawa dan bukan Jawa. Misalnya, Jawa dan Islam, sering dianggap suatu “politik pengetahuan” yang ideologis, bahkan merambah ketegangan politik, bahkan pada level aliran kepercayaan.

Buku setebal 366 halaman ini terdiri dari tiga bagian dan terdiri dari beberapa bab, meskipun pada awalnya hanya esai yang berdiri sendiri semua sudah diolah kembali. Tidak hanya proses penterjemahan, tetapi pada pembaruan dan pengurutannya. Pada bagian satu, pendekatan secara etnografis dan tekanannya pada rasa, pengalaman dan antologi tunggal sebagai landasan teori maupun penerapan kejiwaan di Jawa.

Bagian kedua paul mencoba menelusuri perkembangan di dalam lingkungan kepercayaan sejak kemerdekaan, dan dengan sendirinya pada bagian ini beralih pada sejarah, tentu sejarah pada masa kini. Dan bagian ketiga dosen senior dalam program Asian Studies di Murdoch University, Perth, Australia Barat. Mengulas masalah politik penafsiran, terutama oleh ilmuwan Barat, namun pada hakikatnya sasarannya ilmu semata-mata.

Pada umumnya, ada kecenderungan untuk menafsirkan kepercayaan seolah-olah dapat dimengerti di dalam satu lapisan dari realitas-realitas pemikiran atau tindakan seperti yang ditawarkannya “praksis” (perpaduan antara teori dan praktik) sebagai landasan inti untuk memahami gejala-gejala agama dan kepercayaan. Dengan praksis sebagai landasan.

Meskipun antara judul dan sub judul buku ini tidak terdapat keterkaitan yang sangat erat, dan pada awalnya tampak kabur. Istilah “politik” menurut pengakuan paul tidak menyangkut lapangan pemerintahan (walapun pada ahirnya terkait) yaitu berkaitan dengan ilmu sosial dan sastra Barat.  Di dalam wacana itu, politik menyangkut antara lain, pola kekuasaan di dalam lingkungan keluarga, antara jenis kelamin, di dalam susunan wewenang dikantor atau pabrik  dan sampai pada beberapa kompetensi antara beberapa bentuk atau jenis wacana.

Sedangkan penggunaan istilah “perhatian” dan bukan (umpamanya) “meditasi” karena jangkauannya luas, tidak terbatas pada lingkup latihan kejiwaan saja. Dengan demikian, menunjukan adanya permainan serta pengarahan  perhatian, tidak hanya di dalam lapangan kepercayaan tertentu, seakan-akan merupakan masalah lingkungan tertentu saja, tetapi di dalam  dan melalui kebudayaan secara umum sebagai masalah yang menyangkut semua orang. Setiap kebudayaan menitikberatkan lapangan tertentu dengan cara tertentu pula (247 hal).

Dari itu, Paul Stange sendiri bisa dikatakan merupakan salah seorang pengamat Jawa mancanegara, yang turut menyemarakkan jagad perhatian terhadap Jawa yang menjadi fenomena intelektual tahun 1970-an. Tidak sekedar pengamat, Paul Stange bahkan, seperti diakuinya penganut nilai-nilai jawa. Jawa, sebagai sebuah peradaban, bertahan dengan sintesis spiritualnya terhadap peradaban dunia : Hindhu-Budha dan Islam. Tetapi, mengapa gagap menghadapi penetrasi Barat? Upaya memilah Jawa dan non-Jawa selalu saja merupakan perististiwa politik.

Dan itu selalu ada yang ter(di)singkir(kan). Jawa yang takluk? Lalu siapa pula yang berhak mewakili Hindhu-Budha, aliran kepercayaan, koegrafer Sardono atau Bagong, Gus Dur dan pesantrennya, kraton Mataram atau lembaga Javanologi? Mungkin tak seorang pun dari mereka karena Jawa telah menjadi masa silam dan hanya ada dalam imajinasi. Semakin ia dikaji untuk masa kini, semakin kita menelusuri masa silamnya.

Untuk itu, membaca buku ini dengan sendirinya kita berhadapan dengan seorang yang di satu sisi murni scholar (seorang yang berjarak terhadap Jawa), namun sekaligus disisi lain menjadi “orang dalam” yang menganut dan menghayati nilai-nilai yang diteropong tersebut. Sehingga buku ini layak dibaca siapapun yang menaruh perhatian pada kebudayaan Nusantara khususnya Jawa. Baik, budayawan, akademisi dan masyakat umum, karena lewat suatu teropong etnografisnya yang dikombinasikan dengan penelusuran leterarnya, buku ini makin lebih hidup. Waallahu a’lam bisshawab.

*) Peresensi adalah Staf Departemen Pengkajian dan Penelitian Pondok Budaya Ikon Surabaya