Risalah Redaksi

Bagi NU Kekuasaan Bukan Segala-galanya

Senin, 21 Juni 2004 | 09:39 WIB

Beberapa waktu lalu disebuah acara dialog interaktif salah satu stasiun  TV, seorang  pengamat politik dengan sinis menyatakan bahwa NU dianggap sebagai organisasi keagamaan yang tidak konsisten, dalam menjalankan misi keumatan, gagal mengemban misi pengembangan civil society. Menurutnya Khittah 1926 hanya strategi jangka pendek, untuk menaikan harga tawar dengan kekuatan Orde Baru yang super hegemonik. Ujungnya tetap sama mengejar kedudukan dan kekuasaan semata. Tuduhan itu terlontar, beberapa saat setelah kader-kader terbaik NU, seperti Hasyim Muzadi, Sholahudin Wahid, Yusuf Kalla dilamar oleh Capres lain, baik dari PDI Perjuangan, Golkar, maupun Demokrat. Bahkan salah satu kader NU Hamzah Haz memproklamirkan diri sebagai calon presiden berpasangan dengan Agum Gumelar.

Analisis itu sangat berkebalikan dengan  pernyataan Eros Jarot, Sang Juru Kemudi  PNBK, ia justru memuji langkah NU. Menurutnya formasi perebutan kekuasaan R1-R2 yang ada saat ini, adalah bagian dari  kecanggihan dan taktik terbuka NU menebar jaring-jaring kekuasaan untuk memperbesar  peluang terjadinya All NU Final. Final bagi orang NU menuju tangga kekuasaan. Bagi Eros, sebagai organisasi massa Islam terbesar, NU memang harus mampu memainkan instrumen kekuasaan, agar  tidak menjadi object semata. NU harus menjadi aktor sadar, yang mampu berselancar diatas ganasnya ombak lautan politik Indonesia.

<>

Lepas tepat tidaknya prediksi Eros soal All NU Final, Pengamat diatas lupa, bahwa  membaca NU sebagai realitas tunggal atau monolit adalah sesat. NU bukanlah realitas sesederhana dan sesimpel yang dibayangkan. Realitas NU adalah kompleks, rumit, heteregon, dan kaya dinamika. Fatal bila melihat NU dari sisi luarnya saja, lalu melakukan generalisasi permanen. Sebab NU memiliki dua entitas yang saling menunjang, entitas struktur (jammiyyah) serta kultur (jamaah). Entitas kultural sangat kaya, susah ditebak karena size komunitas dan derajat hetergonitasnya sangat besar. Keduanya memiliki sinergi dan keterhubungan yang saling melengkapi satu sama lain. Namun terkadang keduanya mengalami dinamika internal sendiri. Dengan demikian mengambil kesimpulan dengan hanya menganalisis perilaku politik struktural NU, seolah cerminan dan representasi perilaku politik warga NU, adalah kesimpulan tak berdasar dan dangkal.

Perlu juga diingat bahwa tidak semua warga NU berbondong-bondong  mengejar kekuasaan, masih banyak elemen NU menyaru kekuasaan.Mereka berpikiran bahwa kekuasaan bukanlah harga mati, seolah tanpa kekuasaan NU tak akan mampu berbuat apa-apa. Dengan demikian, tidak berdasar statemen yang berbunyi, NU tidak akan mendapatkan apa-apa apabila NU tidak berpartisipasi dalam kekuasaan pada Pemilu 2004 nanti, NU hanya akan berhenti sebagai donatur suara pemimpin non-NU dikursi kekuasaan, NU akan ketinggalan gerbong Perlu diingat bahwa kekuasan tidak semata-mata berbentuk fisik kekuasaan, kuasa bisa berangkat dari pengetahuan, seperti kata Habermas. Kekuasaan sangat bertumpu pada skala pengaruh,  mengandaikan adanya ketertundukan dan kepatuhan. NU bisa saja berkuasa sejauh peran dan kiprah politik NU dapat mempengaruhi dan diterima orang lain. Dengan kata lain tidak harus menduduki kursi kekuasaanpun NU tetap memiliki kuasa terhadap yang lain. Kekuasaan karena peran-peran strategis kebangsaan baik moral maupun intelektual mampu dijalankan secara konsisten dan konsekwen.

Kita menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa corak kekuasaan di negeri ini masih sangat elitis, bertahta pada menara gading, artinya akses masyarakat terhadap kekuasaan masih sangat terbatas dan berjauhan. Pengambilan keputusan masih didominir oleh segelintir orang penguasa,  masih terjadi kesenjangan elit dengan massanya. Malah terjadi ketimpangan relasi kekuasaan (power relation) yang akut. pola hubungan tidak setara. Fakta menunjukkan bahwa  belum ada perluasan partisipasi rakyat secara penuh, partisipasi masih sebatas mobilisasi yang ujung-ujungnya digerakkan elit juga. Disana-sini masih terjadi disfungsi peran kekuasaan baik dilegislatif maupun eksekutif, situasi ini diperparah lemahya peran penegak hukum. Dengan demikian pilihan transformasi perubahan tidak serta merta bertumpu pada kekuasaan saja, namun harus ada gerakan yang mengimbanginya. Yaitu gerakan sosial (social movement) berbasis pada kepentingan publik. Disinilah sesungguhnya peran NU

Sebesar apapun kekuasaan hanya salah satu bagian instrumen saja, masih banyak instrumen lain, yang bisa digunakan oleh NU di dalam mengembangkan misi ke-umat-an dan ke-bangsa-an ini. Dengan cara pandang itu maka jangan sampai hanya karena mengejar kekuasaan  warga NU terpecah ukkhuwah nahdlyiyah harus tetap dipertahankan. Jangan sampai tarikan kepentingan antara konstestan dari pemimpin NU, mengorbankan kelangsungan organisasi NU. Jangan sampai kapal NU pecah berkeping-keping karena perbedaan pendapat para nahkodanya. Khittah  1926 juga harus dipertahankan, karena dengan Khittahlah jaminan keberlangsungan organisasi NU bisa dijamin.

Warga dan para pemimpin NU perlu mengingat kembali perjuangan Almarhum KH Ali Maksum tahun 1983, didalam menyelamatkan institusi NU, beliau rela dengan Mobil Carry tuanya, menyulap jok belakangnya diganti dengan kasur tidur, berkeliling Jawa Tengah untuk melakukan lobi sekaligus  mensosialisasi Khitatah 1926 Sebelum Muktamar Situbondo. Perjalanan ini menunjukan kesungguhan Kyai Ali di dalam menyelamatkan NU, beliau