Risalah Redaksi

Bebas Menyeru Kejahatan

Selasa, 22 Juni 2010 | 07:49 WIB

Kebebasan untuk mendapatkan dan menyiarkan informasi yang diperjuangkan kelompok liberal telah berhasil mewarnai segala aspek kehidupan. Berbagai peristiwa baik positif maupun negatif mendapatkan porsi penyiaran seimbang, tetapi karena the bad news (kriminalitas) dianggap sebagai the good news (berita menarik), maka akhirnya berita buruk tentang kekerasan, pornografi dan segala bentuk kriminalitas menjadi berita dominan di media massa. Walaupun sudah lama disadari bahwa pemberitaan yang panjang lebar dan mendetil tentang modus operandi sebuah kriminalitas, sama dengan mendidik rakyat untuk meniru hal serupa, tetapi kenyataan itu diabaikan saja.

Berita tentang pornografi yang dilakukan beberapa artis  belakangan ini mendapatkan ekspos luar biasa, semua median koran dan televisi  termasuk internet menyiarkan sedemikian gencar. Tujuan eskpos seperti itu ada yang untuk menghancurkan reputasi seseorang, tetapi ada kalanya juga untuk mengangkat popularitas seseorang. Tetapi sekali lagi imbas yang diabaikan adalah mengajari pemirsa untuk melakukan kejahatan yang sama. Aspek ini yang luput dari perhatian media, yang lebih mengutamakan rating dan oplah serta popularitas juga.<>

Sementara itu di sisi lain para guru, budayawan dan tokoh agama gigih memperkenalkan norma dan mengajarkan moralitas pada masyarakat dengan tidak mengenal lelah, dan dana besar, Termasuk pemerintah melakukan hal sama dengan biaya yang tidak kalah besarnya. Tetapi kenyataan sosial, seruan untuk bertindak jahat jauh lebih besar, Maka tidak aneh kalau peniruan terhadap kejahatan juga menjadi besar. Kenyataan menjadi sangat kontradiktif, media yang digerakkan oleh kelompok liberal berhak mengespos informasi apapun tanpa batas, batas moral, batas norma bahkan tanpa batasan hukum. Sementara kalangan tokoh agama, para guru, mengajak hidup berdasarkan norma dan moralitas yang ketat.

Kebebasan memang berjalan tanpa tuntunan, sehingga bisa berbuat semaunya, anehnya pemerintah juga merasa tidak berwenang mengarahkan apalagi membatasi media, sementara rakyat menjadi korbannya. Maka di sini sebenarnya negara telah lalai untuk melindungi rakyatnya dari ancaman kejahatan moral. Seruan para ulama dan guru sering dianggap angin lalu. Bila kenyataan ini terus dibiarkan maka kehidupan masyarakat akan semakin semrawut, tidak saja kebajikan boleh diserukan, kejahatan pun mendapatkan hak yang sama. Kalau sudah begini caranya, maka kehidupan akan menjadi mahal harganya, karena menanggulangi kejahatan itu membutuhkan biaya yang sangat besar.

Pemerintah mestinya meninjau kembali persoalan ini, bagaimana menyelamatkan mental masyarakat dan bagaiamana membangun masyarakat yang beradab. Padahal kejahatan seseorang atau masyarakat itu tidak begitu saja bisa disembuhkan, atau dihapus tanpa mengakibatkan luka yang dalam, yang akibatnya bisa bergenerasi-generasi. Itupun kalau tidak telaten dan tidak cermat bisa tumbuh kembali. Karena itu dalam menjalankan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi perlu disertai tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial yang tinggi. Kebebasan bukanlah kebebasan untuk bisa berbuat semaunya tanpa batas norma dan moral. Kebebasan yang dibenarkan adalah memperjuangkan kebebasan dari keterbelakangan, ketertindasan dan kemiskinan.  Inilah tuntunan agama dan budaya kita (Abdul Mun’im DZ)