Risalah Redaksi

Berpihak Pada yang Kuat

Rabu, 9 September 2009 | 19:01 WIB

Kurang apanya demokrasi dikembangkan di negeri ini? Justru karena demokrasi yang dipilih tidak tepat malah membelenggu rakyat sendiri, demokrasi hanya menjadi milik orang kaya. Untuk mendirikan sebuah partai misalnya dipersyaratkan memiliki deposito milyaran rupiah, persis persyaratan untuk mendirikan perusahaan. Untuk menjadi anggota DPR atau menjadi pimpinan eksekutif, juga dituntut memiliki modal besar agar mampu menyelenggarakan kampanye sendiri. Kader berkualitas tidak bisa dipilih sebagai pemimpin ketika tidak ditopang dana yang memadai.

Rentetan modal yang dipersyaratkan dalam kiprah politik nasional ini mengakibatkan politik berbiaya tinggi, akhirnya hanya pemilik modal yang bisa berpolitik. Dengan kenyataan ini maka bisa dilihat hampir seluruh produk politik baik perundang-undangan maupun kebijakan selalu berpihak pada yang kuat, terutama pemilik modal dan penguasa sendiri. Keberpihakan terhadap rakyat sendiri kalaupun ada hanya retorika, itu pun hanya dikobarkan saat kampanye untuk kemudian dikalahkan dengan isu efisiensi dan ekspansi modal.<>

Beberapa kasus yang muncul belakangan ini semakin memperkuat orientasi elitis dari pemerintrah dan Parlemen kita. Pengucuran dana trilyunan hanya untuk menyelamatkan bank tak dikenal seperti Bank Century atau pembiaran penunggakan pajak triliunan rupiah oleh Asian Agri. Sementara rakyat kecil selalu menjadi objek pengejaran bank dan dinas pajak ketika sedikit menunggak. Di sela beberapa peristiwa itu, diam-diam DPR meloloskan UU ketenagalistrikan yang lebih mengutamakan swasta, sehingga akan membebani rakyat dengan tarif yang tinggi.

Orientasi dan kebijakan politik nasional belakangan ini memang mengharuskan rakyat untuk lebih kreatif menghadapi berbagai kebijakan yang memberatkan tersebut. Pusat-pusat perdagangan rakyat di berbagai tempat, termasuk di pasar tradisional yang dikelola PD Pasar Jaya, posisi pedagang kecil semakin terpinggirkan oleh pemilik modal besar, sehingga terjadi monopoli penguasaan ekonomi oleh kelompok tertentu dan oleh ras tertentu.

Kebijakan yang rasial dari pemerintah yang dilakukan melalui diskriminasi ekonomi, dengan melakukan persaingan bebas (siapa yang kaya siapa yang dapat) sementara hanya orang tertentu saja yang diberi akses ke bank dan sektor usaha riil, membuat rakyat dan pengusaha kecil semakin tidak berdaya. Penyingkiran usaha kecil, baik atas nama ketertiban, keindahan dan kesehatan selalu dilakukan, sehingga semakin tidak ada peluang bagi rakyat dan usaha kecil.

Di sisi lain pengusaha besar diperbolehkan main di mana saja, di sektor apa saja sehingga sektor kecil juga diambil alih mereka secara sistematis. Pemerintah yang dipilih secara demokratis oleh rakyat ternyata tidak berani melindungi rakyatnya, dengan alasan persaingan bebas. Fungsi mengayomi, melindungi dan mensejahterakan rakyat sudah tidak ada dalam kesadaran para pemimpin kita, yang ada hanya keinginan mengayomi keluarga sendiri dan untuk meningkatkan kesejahteraan diri sendiri.
 
Dengan cara berpikir serta kesadaran semacam itulah kepemimpinan nasional ini digerakkan, sehingga rakyat kecil harus berjuang keras untuk bisa bertahan dari berbagai macam tekanan politik dan ekonomi. Rakyat sudah mulai sadar terhadap kenyataan ini, sehingga akan berusaha lebih cermat dalam mensiasati kehidupan yang dihadapi.

Maraknya kemiskinan di tengah meningkatnya GNP sudah lumrah terjadi, fenomena maraknya pengemis di jalanan mempertegas fenomena ini. Kebijakan pemerintah dan MUI yang hanya merasia dan mengharamkan pengmisan ini, hanya akan menertibkan sementara, tetapi  tidak akan menyelesaikan masalah yang sebenarnya, yaitu tentang tidak adanya keadilan sosial. Mereka terbelakang dan miskin bukan karena malas, atau kurang cerdik, tetapi karena didiskriminasi secara rasial melalui diskriminasi  ekonomi. Ini persoalan dasar yang mesti dibongkar untuk mengatasi problem ketidakadilan dan kemiskinan nasional yang terjadi. (Abdul Mun’im DZ)