Risalah Redaksi

Bersatu Melawan “Hoax”

Sabtu, 7 Januari 2017 | 14:47 WIB

Bersatu Melawan “Hoax”

Ilustrasi: Karen Roach/Shutterstock

Berita bohong, jika disebarkan berulang-ulang dan mencapai khalayak ramai dengan intensitas yang massif, bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran umum. Apalagi jika kampanye hoax yang disampaikan menyangkut hal-hal yang sifatnya berada dalam ranah abu-abu, akhirnya kebenarannya adalah kebenaran yang dikampanyekan tersebut. Inilah kesadaran baru dari para pemuka sosial media untuk memanfaatkan sosial media untuk menyampaikan kepentingannya, entah itu kepentingan ideologi kelompok, pendapat pribadi, atau sekedar bekerja sebagai buzzer untuk meraih imbalan materi sekedarnya, meskipun hal tersebut merugikan kepentingan publik. 

Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat supaya lebih kritis dalam bermedia sosial, para netizen NU baru-baru ini berkumpul di PBNU untuk menyatukan langkah guna menggalang kampanye antihoax. Kampenye ini berwujud dalam mengajak masyarakat untuk belajar bagaimana membedakan antara berita yang benar dan berita palsu. Berita benar pun, jika menimbulkan keresahan, isinya tidak perlu dibagi ulang di grup-grup sosial media yang diikutinya. Jika ada berita palsu, maka diharapkan mereka membantu mengklarifikasi hal yang sebenarnya seperti apa.   

Selama ini, masyarakat kurang yakin terhadap informasi yang disampaikan oleh media arus utama karena dianggap mencerminkan kepentingan kelompok tertentu. Bagi kelompok yang tidak suka pada pemerintah, media-media tertentu dianggap corong kebijakan pemerintah. Bagi kelompok Islam tertentu, media-media yang ada saat ini mencerminkan penetrasi ideologi sekuler atau kepentingan Barat di Indonesia. Karena itulah mereka mencari informasi alternatif melalui sosial media. Sayangnya, informasi yang beredar di sosial media tidak bisa diverifikasi kebenarannya karena sumbernya tidak jelas. Informasi yang disampaikan biasanya hanya menyebutkan dari grup sebelah, dari grup tetangga, dan ungkapan sejenisnya. 

Tiadanya kekritisan masyarakat dalam menerima informasi dari sosial media contohnya adalah menyangkut reklamasi di teluk Jakarta. Dalam info yang beredar dari grup-grup WA dengan sangat cepat itu, reklamasi yang luasnya 800 hektar akan dihuni oleh 50 juta orang China. Mereka tidak kritis atau mencoba melakukan perhitungan sederhana, bagaimana mungkin 50 juta orang hidup dalam lahan seluas 800 hektar sedangkan negeri Singapura saja yang luasnya 716 km persegi hanya dihuni oleh 5.5 juta penduduk. Jakarta, dengan luas 661.5 km persegi dihuni oleh 9.8 juta orang, itupun sudah sangat padat. Ketika ada sebuah informasi yang dinilainya sebagai sebuah ancaman atau menyentuh sisi emosional, maka mereka dengan cepat membagikan info tersebut tanpa melakukan upaya kritisi.

Informasi yang beredar di media sosial umumnya tidak dibaca dengan serius dan kritis. Masyarakat membaca sambil lalu untuk mengisi waktu luang saat menunggu sesuatu atau menghilangkan kebosanan. Tetapi karena publik pada umumnya tidak kritis, maka kehidupan sosial mengalami bencana karena informasi yang beredar dianggap sebagai sebuah kebenaran. Tradisi literasi Indonesia sangat rendah sebagaimana data dari UNESCO tahun 2012 yang menyebutkan hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang memiliki minat baca, artinya hanya 250 ribu orang dari 250 juta penduduk Indonesia yang rajin membaca. Di sisi lain, Indonesia merupakan negara yang paling cerewet dalam bermedia sosial. Jakarta dinisbatkan sebagai ibukota Twitter dunia karena dari situlah paling banyak tweet muncul di dunia. Dari dua indikator yang saling bertolak belakang ini, cerewet tetapi kurang berpengetahuan, tentu kita bisa sedikit membayangkan bagaimana kualitas informasi yang beredar di sosial media.  

Bagi media arus utama, ketidakpercayaan masyarakat ini harus menjadi catatan perbaikan bagaimana menyampaikan informasi secara berimbang dan akurat sehingga masyarakat mengetahui persoalan dari berbagai sudut pandang. Media-media besar di Indonesia kini dimiliki oleh kelompok-kelompok usaha tertentu yang orientasinya adalah mencari keuntungan. Tak jarang berita yang muncul hanya menonjolkan sensasi untuk menarik pembaca tanpa memperhitungkan akurasi. Masyarakat juga muak dengan penggunaan media untuk kepentingan politik pemiliknya. 

Terkait dengan kebijakan pemerintah melakukan pemblokiran situs-situs internet penyebar berita palsu, penyebar kebencian dan mendorong radikalisme harus disikapi dengan hati-hati terkait dengan mekanisme yang dilakukan. Kita tidak ingin media digunakan untuk memecah belah bangsa dengan memunculkan berita palsu atau menyebarkan kebencian kepada sesama anak bangsa serta mendorong radikalisme yang terbukti membuat kondisi di Timur Tengah hancur lebur. Ini menjadi pelajaran bagi kita untuk sedari awal memotong tumbuhnya potensi-potensi tersebut. Di sisi lain, jangan sampai pemerintah bertindak represif membungkam kebebasan berekspresi yang dilakukan dengan baik dan santun. 

Rencana Dewan Pers yang akan memberi tanda verifikasi atas media-media yang terpercaya dan media penyebar hoax juga akan membantu masyarakat membedakan atau memilih informasi yang muncul, tetapi perlu diatur mekanisme bagaimana media komunitas yang diakui publik atau media-media lokal, meskipun kecil dapat memperoleh verifikasi dengan mekanisme yang mudah, tidak seperti media komersial karena memang tujuannya berbeda.
 
Upaya-upaya tersebut merupakan bagian dari langkah bersama untuk melawan berita palsu yang sempat berjaya di Indonesia. Semua pihak, mulai dari pemerintah sebagai regulator, sektor bisnis sebagai penyedia layanan internet, komunitas-komunitas, dan pemangku kepentingan lainnya memiliki peran penting dalam mencegah munculnya ketidakpercayaan masyarakat akan informasi yang berasal dari internet. Dan yang paling penting adalah mendidik masyarakat agar kritis dalam membaca dan membagikan informasi. Jangan sampai dunia maya dipenuhi informasi yang tidak penting, tetapi juga informasi palsu. Akan banyak sekali energi yang terbuang sia-sia karena hal tersebut. (Mukafi Niam)